24 Agustus, 2009

Kedai Namboru Juminten Nadeak

Kedai Namboru Juminten Nadeak, pukul 5-an sore hari selepas kerja ada janji ketemu dengan beberapa teman. Keda Namboru yang satu ini memang jadi semacam tempat pertemuan rutin bagi komunitas kami. Tak disangka ketemu dengan Benhard Simanjuntak, manusia aneh bin gila. Aneh akan kekuatan semangatnya dan gila dengan cita-citanya untuk satu dunia yang lebih beradab.

Dua Gelas Gopi Berjuta Resah
Sambil menunggu, Benhard memesan dua gelas kopi. dua gelas kopi sejuta mimpi, demikian bang Benh memulai pembicaraan. Dimulai diri situasi kerja yang kian hari kian menjemukan. Tak ada satu yang baru, semua tetap sama, samar perlahan menuju gelap. Satu persatu yang kita miliki mulai hilang. Kini adakah yang bertanya, kenapa hidup masih seperti ini? "Kadang kita hanya dihargai sebatas waktu dan tenaga!" cetus Benhard.

Bayangkan kerja yang dibebankan terkadang memaksa kita harus menuangkan segala isi kepala, demi sebuah tututan besar, target. Mulai dari productivity yang tinggi, efisiensi hingga kepada peningkatan kualitas. Ini semua menjadi beban kerja yang selalu dan hampir tiap hari menjadi titik pencapaian yang diharapkan perusahaan.

Namun, disisi lain terkadang segala pencapaian tidak memiliki imabas yang sama terhadap sebuah pencapaian. Bertanyalah, berapa besar sudah peningkatan produktivitas yang tercapai? berapa banyak sudah penghematan yang terjadi? Atau seberapa besar usaha yang telah dilakukan untuk mencapai titik kualitas tertinggi? Adakah hal yang istimewa datang kepada kita saat semua pencapaian itu telah menjadi sebuah kenyataan?

Ya sebuah kenyataan memang datang, pahit. Semkin lama kita hidup di dalam rumah (PT) yang kita tinggali ini semakin banyak hal aneh yang kita jumpai, kejanggalan. Masih ingat pertama beberapa tahun lalu dengan bingkisan ulang tahun? Atau mungkin masih ingat dengan lapangan sepakbola yang dibelakang rumah kita ini? satu persatu hilang, tak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Mungkin efisiensi. Tapi efisiensi yang sungguh keterlaluan, dimana sisi media motivasi semacam itu ditarik demi satu dewa tua bernama efisiensi.

Itu hanya satu dua cupilikan kilas balik yang kita jumpai di rumah kita kini. Sebuah dewa lama berwajah baru. Ntah ini akan berhenti disini atau masih lanjut. Dan jika harus dilanjutkan hal apa lagi dari yang sekarang akan menghilang. Mungkin serapan pagi akan di hapus, mungkin parcel tahunan atau jangan - jangan ada hal ekstrim yang bisa juga dicabut, seperti aturan overtime untuk malam hari.

Hal ini sudah terjadi dengan saudara tiri kita (karyawan dari Global dan Petra- red) yang bekerja di rumah kita ini. Malam hari mereka hanya mendapatkan kurang dari 50% dari yang seharusnya mereka dapatkan diwaktu kerja lembur di malam hari.

Memang kita yang menjadi anak kandung masih merasakan hal yang normal, 4 jam untuk malam. Tapi siapa yang bisa menerka mereka yang diatas akan juga memperlakukan anak setengah kandung itu pun akan dijatuhi dengan aturan yang sama dengan sadara kita anak tiri itu.

Pada akhirnya bagiku semua yang menjadi visi mereka (perusahaan) hanya sebuah mimpi yang membawa kita terlena akan kemirisan hidup. Rumah kita ini tak lebih melihat penghuninya sebagai bilangan angka. Manusia dengan nomor. Hingga akhirnya setiap kepala kita hanya akan dihargai dengan angka-angka mati. Ada Rp5800, Rp.8000 atau ada sedikit diatas Rp.10000, per jam. Kita ada dimana? Manusia dengan harga perjam berapakah kita sekarang? Sungguh memalukan sebuah rumah besar seperti yang kita tinggali hanya memaknai penghuninya dengan bilangan-bilangan mati, miskin motivasi dan juga kompetisi.

Mungkin ada yang berfikir, tapi mudah mudahan bukan dari komunitas kita (SPMI-red) bahwa manusaia dengan kerja keras menghasilkan 20 juta barang dengan kualitas terbaik mendapatkan reward yang sama dengan manusia yang duduk tenang seolah tak melihat masalah.

Lantas untuk apa bekerja keras? "Sebuah pemikiran yang dibentuk oleh sistem yang bodoh yang dirancang oleh manusia-manusia aneh yang tak mengerti apa sesungguhnya arti dari manusia sebagai ciptaan tersempurna dari sang Ilahi. Ntahlah mereka mengerti dengan apa yang mereka lakukan dan akan mereka lakukan." tandas Benhard Simanjuntak sambil memanggil Namboru Juminten Nadeak yang sedang menyanyikan Sinanggar tullo dengan gaya sinden. Salam melihat. (disarikan: Pius Nainggolan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!