10 April, 2010

Paskah


Setelah Maria menemukan makam itu kosong dan kemudian ia melihat Yesus berdiri di belakangnya dan ia berseru, ”Rabuni!”, dan sejak Sang Guru menampakkan diri di depan beberapa murid yang berkumpul di ruang tertutup, dan kemudian menampakkan diri lagi beberapa kali, agama Kristen merayakan Paskah sebagai hari kebangkitan kembali: tubuh yang telah mati disalib itu bangkit dari kubur. Ia kekal.


Orang-orang Arab Kristen di Nazareth terkadang menyebut Paskah sebagai , ’Îd al-Qiyâmah, ”Pe­rayaan Kebangkitan Kembali”.

Tapi Yesus yang bangkit kembali itu tak berada di bumi untuk seterusnya. Ia telah berpamit kepada Maria: ”sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu”. Dalam salah satu kitab disebut, 40 hari setelah penampakan pertama itu, tubuh Yesus naik ke surga. Pa­lestina pun senyap. Saya bayangkan para murid yang tak banyak itu hidup dengan harapan-harapan yang tak jarang guncang.

Namun sebenarnya di situ pula akhir tak terjadi. Hegel pernah me­ngatakan bahwa ”kebangkitan kembali adalah universalisasi dari penyaliban”. Jika sakit dan kematian di Golgotha itu ditafsirkan sebagai tauladan dari pengorbanan diri secara habis-habisan untuk orang lain yang dekat dan jauh, untuk siapa saja yang dikenal dan tak dikenal, jika penyaliban itu dianggap contoh bahwa sengsara dan kematian mampu untuk ditanggungkan tanpa benci dan dendam (meskipun dengan kepedihan dan kesunyian yang menusuk), maka penyaliban itu sendiri sudah merupa­kan kebangkitan kembali. Itu juga momen yang universal: sang korban bisa menggugah bahkan mereka yang tak berada di sekitar kejadian itu, berabad-abad kemudian, termasuk mereka yang bukan Kristen.

Mungkin itu sebabnya, disebutkan dalam kisah dan sejarah, para murid tetap setia, dan pengikut bertambah meluas. Keyakinan yang dilahirkan dari ajaran baru yang kemudian membedakan diri dari doktrin Yahudi itu—ajaran justru yang pada dasarnya berdasar hampir sepenuhnya pada kata dan laku Yesus, bukan pada hukum yang tersusun lengkap—malah semakin kuat ketika Yesus tak ada lagi.

Agaknya itulah sebabnya, yang terjadi di hari Paskah, ketika para murid melihat Sang Guru bangkit dari kematian, bukanlah cuma sebuah kejadian penghibur buat yang berkabung.

Ada satu bagian yang menarik dalam The Monstro­sity of Christ: sebuah tukar pikiran antara John Millbank dan Slavoj Zizek. Zizek, yang mengambil posisi sebagai seorang atheis yang menawarkan sebuah ”theologi materialis”, menunjukkan bahwa kebangkitan kembali Kristus tak terjadi dengan lenyapnya tubuh dari makam. ”Tubuhnya yang disiksa tetap selamanya sebagai pengingat yang bersifat zat,” kata Zizek. Tapi sementara jasadnya demikian, Kristus ”bangkit kembali dalam kebersamaan orang-orang yang mukmin”, the collective of believers.

Zizek mengambil contoh lain. Ada sebuah lagu dari tahun 1925 tentang Joe Hill, seorang aktivis buruh Amerika yang mati dibunuh. Penyanyi Joan Baez pernah melagukannya:

I dreamed I saw Joe Hill last night

Alive as you and or me.

Says I, ”But Joe, you’re ten years dead”

”I never died,” says he.


”The copper bosses killed you, Joe.

They shot you, Joe,” says I.

”Takes more than guns to kill a man”.

Says Joe, ”I didn’t die.”


And standing there as big as life,

And smiling with his eyes.

Joe says, ”What they forgot to kill

Went on to organize.”


”Joe Hill ain’t dead,” he says to me,

”Joe Hill ain’t never died.

Where working men are out on strike,

Joe Hill is at their side.”


Joe Hill tak pernah mati, tapi bukan sebagai sosok yang ada di luar ruang dan waktu para buruh itu. ”Ia hidup di sini, persis dalam jiwa para pekerja yang mengingatnya dan melanjutkan perjuangannya,” kata Zizek.

Dengan kata lain, ”pahlawan tak mati-mati”, seperti kata H.R. Bandaharo—tapi bukan sebagai patung yang dipuja kapan saja di mana saja, melainkan sebagai yang hadir dalam laku yang konkret. Bagi Zizek, kesalahan para pengikut Kristus ialah ketika mereka terjatuh ke dalam ”reifikasi” (katakanlah: pemberhalaan) dan melupakan kata-kata Yesus yang terkenal: ”Jika akan ada kasih di antara kalian berdua, aku akan ada di sana.”

Kasih, dalam konteks ini, adalah laku yang menempuh hidup dengan tubuh yang lemah, yang kadang-kadang kesakitan atau tergoda, tapi tiap kali bisa mengatasi diri karena laku itu tak hanya untuk diri sendiri. Di situlah kebangkitan kembali akan selalu berupa kebangkitan, bukan pengulangan.

Goenawan Mohamad, Senin, 05 April 2010
http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/2010/04/05/mbm.20100405.CTP133202.id.html