28 Agustus, 2009

KRITERIA DAN PROSEDUR ANALITIS DALAM MEMBUAT KEPUTUSAN MENGENAI INVESTASI YANG DIUSULKAN

Disusun oleh :
SWANRO PIUS.P.NAINGGOLAN
CHRISNA HADI BASKORO

Hasil yang paling dari menerima atau menolak usulan-usulan yang terutama berdasarkan pada bagaimana pentingnya usulan itu ialah bahwa rencana pengangguran modal tampaknya berubah menjadi suatu kontes kepribadian. Bagian terbesar dari uang modal-pengeluaran akan pergi ke Kepala-kepala divisi yang paling pandai bicara dan paling ngotot dalam mengajukannya daripada kepada mereka yang telah mempergunakan waktu dan usaha untuk membuat perkiraan perkiraan yang obyektif mengenai nilai ekonomis proyek itu.
Hasilnya adalah bahwa semua proyek muncul untuk dibahas dalam suasana terburu-buru dan darurat, dengan ruang lingkup yang penuh dengan seni membujuk dan menasihati। Tidak hanya proyek yang kelayakan ekonomisnya meragukan akan diajukan supaya diterima, tetapi juga proporsi investasi yang besar yang bisa menghasilkan penghematan besar dan keuntungan tinggi mungkin ditunda untuk waktu yang tidak tertentu।


Meskipun investasi dalam bentuk aset fisik terlihat di dalam keadaan sebenarnya yang dijelaskan secara singkat, konsep yang diberikan dapat diterapkan secara luas untuk segala macam pengambilan keputusan. Dalam hal ini, kita melihat lebih khusus pada konsep yang relevan keputusan untuk jenis investasi yang begitu sering diperlukan jika terdapat alternatif teknik.

I. Kriteria Keputusan
Jelasnya, kriteria itu harus digunakan pada perbedaan dalam konsekuensi yang diperoleh dari pilihan di antara alternatif yang berlainan।

Dengan referensi pada usulan untuk investasi alternatif dalam bentuk aset fisik, telah dinyatakan bahwa konsekuensi dari sebuah pilihan harus dinyatakan sejauh yang dapat dilakukan dalam bentuk aliran dana (atau angka-angka moneter lainnya) pada titik waktu yang dinyatakan। Disarankan dalam hal ini bahwa harus selalu ada kriteria primer yang diterapkan pada angka-angka moneter itu. Dalam berhubungan dengan jenis-jenis usulan tertentu, bisa juga lebih disukai untuk mempunyai satu atau lebih kreiteria tambahan atau sekunder yang diterapkan pada angka-angka moneter tersebut.

Dinyatakan diatas bahwa tidak semua konsekuensi keputusan yang prospektif mengenai investasi dalam aset fisik dapat disederhanakan menjadi bentuk angka moneter. Bobot sering perlu untuk diberikan pada kata yang tak dapat di sederhanakan itu. Hal itu menyebabkan bahwa bisa terdapat kriteria sekunder untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perbedaan-perbedaan dalam konsekuensi perkiraan yang belum dinyatakan dalam angka-angka moneter.

I.1. Kriteria Primer
Kriteria primer yang digunakan dalam sebuah pilihan diantara alternatif usul-usul investasi dalam aset fisik harus dipilih dengan tujuan untuk membuat penggunaan terbaik dari sumber daya yang terbatas। Apakah kita berpikir mengenai sebuah individu, keluarga, kegiatan bisnis, atau sebuah unit pemerintah seperti sebuah kota, negara bagian, atau bangsa, biasanya benar bahwa pada setiap saat terdapat keterbatasan sumber daya yang ada yang dapat diberikan untuk investasi dalam bentuk aset fisik.

Sumber-sumber daya yang terbatas itu bisa berbagai macam, seperti tanah, buruh, atau bahan-bahan। Tetapi karena pasar memberikan pada kita penilaian uang terhadap kebanyakan sumber-sumber itu, biasanya beralasan untuk menyatakan pembatasan keseluruhan dalam bentuk uang.

Dalam mengevaluasi investasi yang diusulkan, pertanyaan yang harus dinyatakan apakah investasi itu cukup produktif, segala sesuatunya dipertimbangkan. “Cukup produktif” bisa ditafsirkan sebagai menghasilkan suatu pengembalian modal yang memadai jika dibandingkan dengan satu atau lebih alternatif yang disebutkan.
Paper ini akan mengasumsikan bahwa sebuah keputusan dapat dan telah dibuat pada tingkat suku bunga minimum yang menguntungkan untuk setiap keadaan dan bahwa keputusan ini adalah dasar untuk kriteria primer yang digunakan untuk keputusan investasi।

Kita akan melihat bahwa kita perlu untuk menggunakan matematika mengenai bunga majemuk untuk mengunakan kriteria primer yang berdasarkan pada tingkat bunga minimum yang menguntungkan. Empat cara yang berhubungan dengan I* (tingkat bunga) yang berlainan untuk melaksanakan kriteria ini adalah:
1. Aliran dana tahunan uniform ekivalen (Equivalent Uniform Annual Cash flow), dengan tingkat bunga minimum menguntungkan I* yang ditentukan sebelumnya sebagai tingkat suku bunga.
2. Nilai sekarang (Present Worth), dengan tingkat bunga minimum yang menguntungkan I* yang telah ditentukan sebelumnya sebagai tingkat suku bunga.
3. Tingkat pengembalian prospektif (rate of return) dengan tingkat bunga yang dihitung dan dibandingkan dengan tingkat bunga minimum I* yang telah ditentukan sebelumnya.
4. Rasio manfaat-ongkos (Benefit – Cost Ratio), dengan tingkat bunga minimum menguntungkan I* yang telah ditentukan sebelumnya digunakan sebagai tingkat suku bunga.

Ditunjukan pada cara-cara diatas bahwa dengan satu input yang sama, maka keempat metode itu mengarah kepada sebuah kesimpulan yang sama yaitu apakah kriteria primer telah dipenuhi atau belum.
Dimana pajak pendapatan dipungut, pajak semacam itu cenderung mengurangi tingkat suku bunga dari investasi di aset-aset fisik। Namun, Undang-undang dan peraturan pajak pendapatan jenis investasi tertentu dibandingkan dengan jenis lainnya; untuk berbagai alasan yang berhubungan dengan hal-hal teknis dari pajak pendapatan; tingkat bunga setelah pajak pajak bukan merupakan persentase yang tetap dari bunga sebelum pajak.

Secara prinsip, diperoleh bahwa konsekuensi pajak pendapatan dari investasi yang diusulkan harus diperkirakan, dan bahwa tingkat suku bunga minimum menguntungkan yang ditetapkan pada industri swasta haruslah tingkat suku bunga setelah pajak dan bukan tingkat suku bunga sebelum pajak.
Penggunaan tingkat bunga minimum yang menguntungkan setelah pajak digambarkan dalam contoh yang dimulai dengan menggunakan asumsi-asumsi tertentu yang disederhanakan mengenai hubungan antara aliran dana sebelum pajak dan setelah pajak.

Pembahasan mengenai kerumitan kritis dari cara-cara dimana pajak pendapatan mempengaruhi keuntungan-keuntungan relatif dari investasi yang diusulkan ditunda. Sebagai contoh, dengan menggunakan tingkat bunga minimum yang menguntungkan setelah-pajak, kriteria primer bisa dinyatakan dengan aturan keputusan sebagai “meminimumkan ongkos untuk memperoleh sejumlah tertentu barang atau jasa.”

I.2. Kriteria Sekunder
Perkiraan-perkiraan yang paling telitipun dari konsekuensi moneter dalam memilih alternatif yang berlainan ternyata hampir pasti tidak tepat. Sering berguna untuk seorang pengambil keputusan menggunakan kriteria sekunder yang mencerminkan tidak adanya kepastian yang berhubungan dengan semua perkiraan-perkiraan di masa yang akan datang.

Keputusan-keputusan diantara alternatif investasi harus memberikan bobot untuk setiap perbedaan dalam konsekuensi yang belum disederhanakan ke dalam bentuk uang maupun dalam konsekuensi yang telah dinyatakan dalam bentuk uang।

Dicetakan kedua dari Engineering Economics-nya, yang diterbitkan tahun 1923, Profesor J।C.L. Fish menggunakan frasa “data yang tak dapat disederhanakan dari persoalan investasi” untuk digunakan pada perbedaan-perbedaan prospektif diantara alternatif yang tidak disederhanakan menjadi penerimaan-penerimaan dan pembayaran-pembayaran yang diperkirakan untuk maksud-maksud analisa. Kata-kata lain yang telah digunakan untuk perbedaan non-moneter seperti itu adalah “faktor-faktor penilaian” , “tak terduga’ , dan “tak dapat dilihat”.

Tak ada kata lain atau frasa pendek yang dengan sendirinya membawa ide yang tepat dari suatu yang relevan dalam keputusan tertentu tetapi belum dinayatakan dalam bentuk uang karena sesuatu hal atau yang lainnya। Seiring tidak banyak dipercaya oleh seorang analisis bahwa perbedaan yang dipertanyakan akhirnya tidak akan mempengaruhi penerimaan dan pembayaran karena dia tidak mempunyai dasar kepuasan untuk memperkirakan berapa banyak pengaruhnya pada aliran dana dan kapan pengaruhnya pada aliran dana dan kapan pengaruh ini akan terjadi.

Didalam buku ini kita telah memilih untuk menggunakan hal-hal yang dapat disederhanakan atau data yang tak dapat disederhanakan di dalam pengertian teknik khusus dari perbedaan-perbedaan yang relevan terhadap konsekuensi yang diharapkan dari sebuah keputusan yang belum disederhanakan ke dalam bentuk uang।

Ada dua alasan untuk pemilihan, satu alasan bersifat historis, ialah bahwa pemakaian ini mulai sejak tahun 1923। Alasan lain ialah bahwa kata atau frasa itu tidak umum digunakan dalam pembicaraan sehari-hari dan oleh sebab itu mempunyai arti populer yang berbeda yang bisa menjadi sebab salah taksirannya.
Hal-hal yang tidak dapat disederhanakan mungkin memainkan bagian yang sangat besar di dalam keputusan-keputusan investasi pribadi। Sebagai contoh, pertimbangkan pilihan antara memiliki sebuah rumah atau menyewa. Jelas bahwa banyak aspek persoalan yang harus ditaksir dalam bentuk uang sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan yang tepat.

Namun, hal-hal selera pribadi yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk uang harus diberikan bobot yang tepat di dalam keputusan semacam ini। Jadi kebanggaan memiliki rumah bisa menjadi kepentingan utama bagi sebuah keluarga dan merupakan persoalan pelengkap biasa bagi yang lain.

Untuk alasan yang dibicarakan, hal-hal yang tidak dapat disederhanakan kecil dapat juga diberi bobot yang besar di banyak keputusan oleh pemerintah.

II. Segi Pandangan Sistem
Sering terdapat efek-efek samping yang cenderung diabaikan jika keputusan-keputusan individu dibuat. Untuk mempertimbangkan efek-efek samping rencana semacam itu dengan memadai, mungkin perlu untuk memeriksa antar hubungan diantara sejumlah keputusan setiap keputusan individu bisa dibuat.

Persoalan dasarnya di sini ialah apakah segi pandangan yang terlalu sempit yang diambil dari alternatif yang sedang dibandingkan. Jika efek-efek samping dari sebuah keputusan tidak cukup penting mungkin sebuah studi tentang mereka tidak akan mengubah keputusan mungkin diperlukan untuk memberikan sebuah dasar untuk penilaian mengenai apakah efek-efek samping itu tidak penting.

Pada studi kasus kita dapat lihat pengambilan suatu keputusan, dalam suatu perusahaan listrik yang sudah berjalan 20 tahun berencana memaksimalkan keuntungan dengan jalan menambah energi. Proyek tersebut telah terdapat dua alternatif dalam memperbaharui sumber daya listrik, alternatif pertama disebutkan untuk membeli dan memasang pembangkit listrik yang baru, sedangkan alternatif kedua menyebutkan untuk mengefektifkan pembangkit listrik yang lama dengan jalan meng- elektrifikasi peralatan tersebut.
Ketika perkiraan dana untuk kedua alternatif ini dihitung , terbukti bahwa mengefektikan pembangkit listrik yang lama dananya lebih murah dari pada beli yang baru ,tetapi yang menjadi permasalahan adalah biaya perawatan, apakah jika menggunakan pembangkit yang lama akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar daripada pembangkit listrik yang baru.

Analisa dibuat dalam biaya perawatan, ternyata dengan membeli pembangkit listrik yang baru biaya perawatannya lebih murah, karena pada tahun pertama dan kedua masih mendapat garansi dari perusahaan sedangkan pada pembangkit yang lama karena sudah lama diperlukan biaya perawatan yang lebih.

Kriteria kedua dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk, jika tiap tahun penduduk bertambah , maka akan lebih efektif jika membeli pembangkit listrik yang baru, karena dengan membeli yang baru perusahaan itu akan memiliki dua pembangkit listrik, dan dengan begitu dapat melayani konsumen dengan mudah, tetapi memerlukan tambahan tempat untuk pembangkit yang baru dan menambah pekerja.sedangkan jika perusahaan itu mengelektrifikasi pembangkit listrik yang lama akan mengurangi jumlah karyawan dan dapat menghemat pengeluaran.

Dalam hal tenaga kerja , jika membeli pembangkit listrik yang baru maka akan diperlukan operator yang baru juga, sedangkan pada pembangkit yang lama kita tidak perlu operator yang baru.

Dalam pengambilan keputusan, akhirnya diperlukan beberapa orang (kelompok) untuk membuat keputusan. Pilihan diantara alternatif investasi harus berdasarkan pada kriteria primer yang dipilih. Dalam kasus harus ada kriteria sekunder dalam menyederhanakan pilihan-pilihan yang ada.dalam contoh diatas analisa memihak pada alternatif membeli pembangkit istrik yang baru.

Kesimpulan
Keputusan- keputusan harus berdasarkan kepada konsekuensi yang diharapkan dari alternatif ,semua konsekuensi ini akan terjadi masa depan। Dalam membandingkan alternatif- alternatif lebih disukai membuat konsekuensi- konsekuensi sesuai satu sama lainnya selama masih dapat dilaksanakan. Yaitu konsekuensi itu harus dinyatakan dalam angka dan satuan -satuan yang sama harus digunakan pada angka- angka ini. Dalam keputusan ekonomi satuan uang merupakan Satu- satunya satuan yang memenuhi spesifikasi sebelumnya.

Daftar Pustaka
1. EL। Grant,W।G. Ireson, R.S. Leavenworth,1993, Dasar-Dasar Ekonomi Teknik, edisi 1, PT Melton Putra, Jakarta,hal 20-25.
2. J.C.L. Fish, 1923, engineering economics,jilid 2.
3. M. joyowiyono,1983 , ekonomi teknik (engineering economics),jilid 2.

25 Agustus, 2009

Muda-Mudi Nainggolan Mengisi Tujuah Belasan

Batu Aji, Minggu 16 Agustus 2009, Muda-Mudi Toga Nainggolan dan Bere Se-Barelang mengadakan rapat final untuk perayaan kemerdekaan. Rencana tempat akan dilaksanakan ditepian selat Malaka. Kawasan pantai Sekupang berjarak kira-kira 15km dari Batam Center, pusat kota. Perayaan kemerdekaan Negeri yang bernama Indonesia, panitia merencanakan telah merencanakan berbagai acara. Mulai dari acara liturgi semacam rekoleksi hingga ke berbagai aneka permainan. Seminggu sebelumnya, panitia telah melakukan survey tempat, untuk memastikan berbagai peralatan pendukung. Mulai dari tenda, listrik hingga ke properti perlombaan. Konsumsi dan hadiah perlombaan dikerjakan senin dinihari.

Pukul 4.00 WIB sore hari Teguh Nainggolan, Ketua pelaksana perayaan dan rekoleksi menginformasikan tentang persiapan konsumsi dimulai, senin pukul 2.00 WIB pagi. Manusia kurus dari tanah Sibolga ini bertanya tentang persiapan bumbu dan daging. Jujur aku juga tidak tahu. Kusarankan dia bertanya kepada Ito Sariani Br. Nainggolan, Bendahara BPH dan juga appara Botax, penanggungjawab pembelian daging. Tak berapa lama, kurang dari 15 menit telepon kembali masuk. Teguh sudah mulai terlihat mengeluh. Botax ternyata belum mendapatkan daging. Sementara Sariani belum juga belanja bumbu.

"Gimana ni appara" Teguh dengan nada mengeluh.
"Tidak apa-apa pra, tapi pinahan sama ayamnya lagi dicari kan?"
"Ya, cuma udah malam. Gimana kalo ndak ada, plan B?"
"Serba lima ribu"
"Ok, pra, ntar dikabari lagi" jawab Teguh sambil menutup pembicaraan.

Tidak ada lagi telepon, tak ada kabar. Ada dua kemungkinan semuanya sudah beres atau masih sibuk mencari. Jam 7.00 malam, Putri 7 Blok P No. 13, rumah Ito Sedia Br. Nainggolan. Tempat mempersiapkan lauk dan membungkus kado. Sudah rame. Didapur ito-ito Br. Nainggolan sudah sibuk. Ada yang didepan kompor, menggiling bumbu, menguliti bawang. Para amang boru (bere), tangannya penuh darah, mengeksekusi pinahan dan ayam.

Sementara para appara sedang sibuk diskusi, pimpinan Teguh. Semakin kuperhatikan topik pembicaraan sekitar rencana keberangkatan dan acara.

Botak melaporkan jumlah peserta yang daftar hingga malam itu.
"Udah baguslah, 60 orang sudah daftar" tanggap Teguh
"Tapi mungkin besok akan tambah lagi, biasa!" jawab Botax Nainggolan
"Tumben, otik" Timpal Ruddin Nainggolan
"Tidak masalah, mudah-mudahan besok nambah. Penting sekarang kita persiapkan acara" saran Agus Nainggolan.

Malam itu mereka mendiskusikan acara termasuk rencana berangkat dari dua titik, pertama, Simpang Putri 7, Batu Aji dan Mall Panbil, Mukakuning. Ditemani kopi khas buatan Br. Nainggolan diskusi ini berlangsung hingga pukul 23.30 WIB. Namun, satu persatu terlihat mulai tertidur. Alex dan Agus sudah memperdengarkan suara aneh. Mendengkur!

Mendengar suara aneh makin keras, Teguh membangunkan Agus, membantu Ito Leli Br. Nainggolan memasak nasi di Kandang Ayam (aneh ya, ini nama tempat bos). Wajah mabok, seperti habis minum tuak sepuluh gelas.

"Apa,...! udah jam berapa ini?" Agus tampang bingung
"Dua belas, Kekandang ayam" Teguh
Agus masih terlihat setengah sadar, menggaruk kepala.
"Jaketku mana?"
Dasar ngantuk, dia lupa kalau tak memakai jaket. Semua diam, dan memeriksa semua jaket diatas lantai. Tak ada yang cocok.
"Apa tadi aku ndak bawa ya?" Agus, wajah dah mulai sehat.
"Kayaknya tadi tak pake appara" Jawab Ricardo Nainggolan

Sepertinya dia sudah yakin datang tak memakai jaket. Sambil berdiri, dia menanyakan makanan.
"Dang adong" Ito Valen, Hetty, Teguh serentak.
"Sudahlah, male-malelah aku memasak disana ya" Agus
"Olo...!" hampir semua yang tinggal disana menjawab.
Dia pergi pergi munuju Kandang Ayam bersama amang boru Gultom.

***

Setengah jam setelah Agus berangkat jam dinding yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 1.15 WIB. Botax meminta Ito Valen memisahkan bumbu sangsang dan ayam rendang. Dapur rumah sangat sempit. Maklum tipe 30 bos.
Dapur berukuran 2m x 3m terlihat sangat sempit. Botax menyarankan agar sangsang dimasak di halaman rumah. Satu persatu peralatan mulai dipindah. Mulai dari kompor minyak tanah, belanga (penggorengan) panci dll

"Boha, ngaboi tamulai (udah bisa dimulai)?" Botax.
"Baru tengah dua, sebaiknya mulai jam dua saja" Teguh
"Baen majo Kopi i muse Ito Naburju" Botax sambil melihat Valen
"Holan na kopi-on"jawab Valen, sambil berjalan menuju dapur.
Dari pintu depan terlihat Valen mempersiapkan kopi. Salute buat Ito Valen, walaupun kesal dia tetap saja menyuguhkan kopi.

Kurang dari sepuluh menit kopi datang dari dapur, wajah Valen tersenyum. Ntah apa yang membuatnya tersenyum. Mungkin senyum gondok!

"Ima nian Ibotokkon, naburjuon" Teguh
"Olo..., "Valen sambil ketawa kecil.

***
Penantian setengah jam bersama kopi dan juga bermacam cigarette. Ntah kenapa sebuah topik pembicaraan muncul Tentang kepatuhan kepada orang tua. Budi Nainggolan alias pulsa mulai mengeluarkan perenungan panjangnya. Bercerita tentang orang tua dan masa kelamnya. Dia bercerita tentang kehidupan mapan keluarganya namun berbalik 180 derajat karena kelakuannya.
"Jatuh bangkrut, miskin appara" Pulsa
Terdiam sejenak. Dia menarik napas panjang, seprti mencoba mengingat sesuatu. Sehabis SMP dia sudah pindah sekolah ke Medan, masuk STM. Disanalah kehidpan yang lebih parah dilakoninya. Berbagai macam cerita dikarang untuk satu tujuan uang. Mengakali orang tua. Mulai dari sambilan menarik becak, namun melakukan dengan setengah hati. Tak berapa lama, becak dijual. Duitnya? Habis ntah kemana.

Tapi terkadang tak semua demikian.
"Kadang ada juga orangtua yang berlebihan" timpal Botax
"Benar mungkin ada, tapi tak ada orang tua yang senang melihat kemunduran anaknya" Pulsa
"Ya, tapi kacaunya kadang terlalu memaksa" Botax
"Aku cuma berangkat dari pengalamanku, kadang aku berfikir janga-jangan hidup seperti ini da hubungannya dengan masa lalu dengan kedua orang tua" jelas Pulsa.

Belum Pulsa melanjutkan ceritanya, Valen datang.
"Loh, cerita terus, kapan masaknya?"
"Ambil Minyak itu Kurus" perintah Botax ke Kurus Nainggolan.
Botax menyalakan kompor minyak dan meletakkan belanga (penggorengan) diatasnya. Tuangkan minyak goreng sampai habis.
"To, mana minyak gorengnya" Valen
"Udah habis, dipakai semua" Botax
"Terus masak rendangnya?"
"Waduh.., pakai minyak ayam aja to"

Dasar anak muda, cepat menemukan jalan pintas. tak ada akar rotan pun jadi. Tak ada minyak goreng minyak ayam pun jadi.
Valen menuju kedapur dengan majah mengkerut. Marah ni..ye...
Satu persatu bumbu dimasukkan Botax hingga daging. Goyang kiri-goyang kanan. Celup jari dikit, rasakan.

"Masih kurang, coba dulu Kurus apanya yang kurang" Botax
Celup lagi
"Udah enak" Kurus
"Sude do diho tabo, ayo Pulsa" Botax
"Kurang garam, sama daun salam" Pulsa
Botax langsung kedapur, dia bawa air dan daun jeruk. Ternyata lagi-lagi jalan pintas. Tak ada daun salam daun jeruk pun jadi. Gila sulit membayangkan rasanya, masakan sangsang "tipe jalan pintas" maked by Mr. Botax.

Aduk lagi.. Aduk lagi..

Agak lama juga, membolak-balik hingga jam sudah menunjukkan pukul 4.00 WIB. Ayam tetangga Ito Sedia sudah berkeliaran. Tanda matahari sudah dekat.

Sentuhan terakhir. memisahkan daging namargota (pakai darah) dan tak margota (tak pakai darah). Dari caranya pencapuran terlihat Botax memang ahlinya. Salute buat appara Botax. Selesai, masakan siap dibungkus. Dan tidur menunggu jam berangkat, pukul 8.00WIB. Tidur, nyeyak, jangan lupa bangun!

***

Pukul 6.30 WIB Teguh Nainggolan sudah tak ada di rumah. Yang terlihat hanya Ito Valen.
"teguh dimana to" Rosaldi Nainggolan
"Bergerilya, meminjam toples sama panci. Makanya bangun yang cepat" Valen
"Ito Hetty mana?"
"Dah pulang ke Piayu, koordinir yang berangkat dari sana"
"O, o..." Rosaldi rebahan lagi

Melihat Rosaldi mau melanjutkan tidur, Ito Valen langsung bersuara.
"Ayo,.. bangun semua"

Semua terbangun. Wajah masih pucat. Maklum kurang tidur. Sebagian pulang untuk mandi sekalian menyiapkan bus. Dan yang lain mengingatkan anggota yang hendak berangkat.

Teguh datang dengan dua buah toples dan satu panci.
"Dapat dari mana appara" Rosaldi
"Biasa calon parumaen" teguh, wajah tersipu. Senyumnya pagi itu melebihi cerahnya cahaya mentari.

***
Bus sudah tiba tepat waktu pukul 7.45 WIB. Belum ada Nainggolan yang terlihat kecuali yang bertugas memasak semalam.
"Gila, tudia be do" Teguh
Kesepakatan sebelumnya bus harus berangkat pukul 8.00 WIB, teng. Karena bus yang sama harus mengangkut carteran lain jam 9.00 WIB. Mulai panik! Semua manusia didekat bus memencet handphone. Menanyakan keberadaan anggota.

"Kami dah di Panbil Mall to, 30-an orang" Ito Fitri Br. Nainggolan
"Ok, siap disana, bentar lagi bus menjemput" teguh Nainggolan.
"Bengkong ada tiga orang pra, tapi langsung ketempat" Gordon

Hingga pukul 8.30 di Putri tujuh baru 20-an orang. Supir bus sudah mulai tegang.
"Paling lambat 15 menit lagi harus berangkat" Supir bus.
"Ok, tulang" Teguh
Tak lama jemputan Panbill tiba. Gabung dengan bus Putri tujuh. Selang lima menit nainggolan dari Piayu, rombongan ito Hetty juga tiba bareng dengan Ito dari dormitory. Semua kumpul dalam satu bus. Tidak muat, sebagian akhirnya menggunakan sepeda motor. Meluncur menuju Tanjung Pinggir Sekupang, singgah di kandang ayam, jemput nasi.

***

Tanjung Pinggir 10.30 WIB, cerah. Singapura terlihat dekat. Gedung pencakar langitnya terlihat bahagia saat rombongan Nainggolan memandang kemolekan bentuknya.

Sambil berjalan menuju bibir pantai, sebagian Br. Nainggolan memasang aksi. Berfoto dengan backgroud Selat Malaka berhiaskan Singapura. Bergaya layaknya model. Lenggok kiri-lenggok kanan.

***

Acara liturgi mulai 10.30 WIB. Diisi dengan doa dan nyanyian pujian. Semua terlihat bahagia. Rasa capek satu malam serasa hilang lepas ditelan selat Malaka. Ito Irma Br. Nainggolan membawakan renungan. Salute buat Ito Irma, masih muda sudah mau berbagi dan belajar membawa renungan. Ito dan appara yang lain ditunggu gilirannya!

Liturgi ini berlangsung singkat, kurang dari satu jam. Selanjutnya sambutan ketua panitia. Teguh maju kedepan. Memulai sambutan dengan sapaan syalom!

Teguh memulai sambutannya dengan curhat tentang perjalanan kepanitiaan. Dia meminta maaf untk semua kekurangan. Dan yang paling menarik, Teguh mengungkapkan tentang rencana pesta Muda-Mudi Toga Nainggolan dan Bere Se-barelang 2010.
"Ini baru latihan, tahun 2010, kita akan mendesain Pesta Naposo yang jauh lebih besar dari perayaan ini dan juga Pesat naposo sebelumnya!" Teguh
Semua tepuk tangan. Siang itu wajah semua Nainggolan's terlihat berapi-api. Darah empat lima seperti tampak membahana dalam tubuhnya. Darah yang siap membanjiri Singapura dan Malasia, yang tampak di depan mata. Merdeka! Optimis, full..
"Saya bangga semua semangat, pertahankan!" Teguh mengakhiri sambutannya.

Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Waktunya menikmati hidangan spesial khas appara Botax. Sangsang ala "jalan pintas" dan rendang ala Valen. Diiringi suara merdu Nainggolan Trio dan hembusan angin spoi-spoi tiga negara. Gila! menyenangkan. Hembusan angin tiga negara ditepian laut selat Malaka, mengubah rasa sangsang Botax ala "jalan pintas" menjadi senikmati sangsang terbaik ala Siltor. Sementara rendang ala Valen berubah lebih nikmat melebihi rendang rumah makan Pada Sederhana yang terkenal itu. Luar biasa!!

Untuk semua yang belum pernah menikmati makan di tepian selat Malaka diiringi Nainggolan trio. Menyesal anda tak pernah menikmatinya.

***

Kenyang sudah perut, sulit untuk bergerak. Seolah lambung tak lagi punya ruang kosong. Perut Azis Nainggolan sudah terlihat menonjol kedepan. Sementara Gordon Nainggolan terlihat berusaha menahan ngantuk, bawaan dari daging pinahan yang tertelan. Semua terlihat tenang mendengar Nainggolan Trio. Ntah menikmati, mungkin juga tapi sepertin ya tak sepenuhnya. Efek Pinahan sudah menjalar. Bosur!!

Hampir setengah jam waktunya untuk kembali mengajak perut yang membengkak untuk kompromi. Masih ada sedikit rasa sesak. Tapi Teguh terlihat sudah mempersiapkan acara selanjutnya bersama Valen dan Dasalon Nainggolan.

***

"Ayo semua kumpul melingkar" Dasalon dengan pengeras suara.
"Hitung sampai sepuluh yang tak ikut dalam lingkaran akan di denda" lanjut Teguh.
"Ayo, Pisang kesini kalian" seru Saut Nainggolan, memanggil sebagian yang masih dibibir pantai.

Lingkaran sudah terbentuk. Saling berpegangan tangan. Lihatkiri -lihat kanan. Lingkaran sudah terlihat rapi. Untuk membagi kelompok menjadi lima. Valen meminta semua untuk menyebut angka berurutan, mulai dari satu hingga lima- berulang.
"Mulai dari, Saut Nainggolan" Valen

Saut mulai berhitung dan dilanjutkan terus hingga semua menyebut angka. Terbentuklah lima kelompok. Now, time for game!!

Permainan pertama, setiap kelompok diminta untuk membuat yel-yel kemerdekaan. Yel terbaik akan menjadi pemenang. Semua kelompok saling mendekat. Sebagian ada yang curi-curi dengar, mau nyontek ide. Dasar Batak muda. Juara satu dimenangkan kelompok Pulsa Nainggolan. Berhak mendapatkan hadiah satu kaleng roti 2 kaleng Khong Guan tambah dua bungkus Kopiko. Mantap! Juara dua, Kelompok Fitri Br. Nainggolan, mendapatkan Satu kaleng bungkus roti Biscuits, satu bungkus Oreo dan Kopiko. Menggiurkan!! Juara tiga, kelompok Lucca Nainggolan, dapat Oero satu bungkus saja. Kacian!! Kelompok Pius Nainggolan tak dapat. Kacau!

Permainan berikutnya mengisi air dalam balon dan dilanjutkan dengan mangultong (menghembus pra!) sampai bulat besar. Gerimis mulai turun. Gelora kemerdekaan dari anak muda Nainggolan tak gentar. Maju terus pantang mundur. Semangat empat lima memang sudah tertanam kuat didalam dada, generasi muda Nainggolan. Jangankan gerimis, hujan batu sekalipun takkan membuatnya mundur. Merayakan kemerdekaan adalah penghormatan bagi mereka yang berjuang mati-matian bagi tumpah darah. Merdeka! sekali lagi bos, Merdeka! Barisan diatur, dari tepi pantai memanjang. Yang paling dekat dengan pantai mengisi air kedalam balon. Barisan kedua dan seterusnya mangultong (Akka sibalga butuha ma dison) hingga bulat besar. Dan barisan terakhir mengikat dan mengantarkannya ke tempat yang sudah disiapkan.

Tak jauh dari dugaan, kelompok Saut Nainggolan menjadi juara. Maklum badannya besar, butuha (perut) pun bolon! Juara dua Kelompok Pesta Br. Nainggolan, Ketiga Kelompok Azis Nainggolan. Semua berhak mendapatkan hadiah yang sama seperti sebelumnya. Kelompok Pius Nainggolan kembali KO. Mulai curiga!

Permainan terakhir, memberi makan pisang. Setiap kelompok akan berjalan mundur sambil mengacungkan pisang ke arah belakang. Dan seorang teman sudah menunggu sambil; membri arahan. Ada yang jalan mundur hingga ke tepi pantai. Ntah begu apa yang mengarahkan! Perlombaan ini di menangkan kelompok Azis Nainggolan. Wajar, raja pisang dari hita-an. Urutan kedua Kelompok Pulsa Nainggolan dan kelompok Lucca nainggolan urutan ketiga. Hadiah, sama lagi. Tak mengapa yang penting nilai semaraknya Bung! Kelompok Pius Nainggolan kalah lagi. Memang tak berbakat!!

Habis sudah permainan, selanjutnya acara terakhir. Aksi nyanyi bebas. Semua Naposo Nainggolan mengekspresikan keindahan suara masing-masing. Ada yang menyanyikan lagu dangdut, Pop, Luar Negeri, yang pasti tak ketinggalan lagu Batak. Acara ini berlangsung hingga pukul 5 sore. Waktu yang disepakati untuk kembali pulang. Maklum sebagian dari Ito dan appara ada yang masuk kerja malam. Batam Bung!!!

semua berkemas. Satu persatu alat musik diangkat kembali menuju parkiran bus. Termos, panci, dan perlatan lainnya di cek satu persatu. Takut ada yang ketinggalan. Maklum barang pinjaman.

Semua sudah di tumpuk di parkiran, tapi bus belum juga datang. Alex Nainggolan koordinator bus terlihat sibuk. Angkat telpon, gaya preman terminal Amplas. Sibuk!

" Barelang macet appara" Alex lapor kepada Teguh.

Semua duduk tenang, menanti bus. Sebagian wajah sudah terlihat lemas, sedikit mengantuk. Ada yang tidur-tiduran diatas rumput di bawah pohon. Menikmati angin sore. Pukul 18.30 WIB bus tiba. Semua bergerak cepat menaikkan semua perabot dan peralatan. Bus berangkat pulang dengan kepuasan akan sebuah kebrsamaan. Merdeka Indonesia. Merdeka Nainggolan.

24 Agustus, 2009

Berita Miris

Berita miris sering menjadi titik tolak yang membawa manusia untuk kembali berfikir akan makna hidup. Nafas bukan lagi sekedar aliran udara yang bersirkulasi dalam tubuh. Jiwa tak hanya sebuah makna kosong tanpa arti. Rasionalitas telah terjungkal oleh belenggu kenyataan yang jauh dari alam pikiran. Ipat, seorang teman baru yang belum lama bergabung dalam satu korps kerja, Panasonic. Dia terbaring lemah tak berdaya.

Ini bukan berita pertama yang kualami setelah mengijakkan kaki di bumi Batam. Beberapa bulan lalu orang tua teman satu rekrutan dari Jogja, Ima mantan trainer MTC, meninggal dunia, akibat serangan Jantung. Setelah itu datang kabar seorang teman, Manungkol juga tergelak dipinggir jalan setalah ditabrak lari. Tak berapa lama nafas terkahir juga menyela, meninggal dirumah sakit Otorita. Hanya beselang beberapa bulan kembali, seorang teman terbaring di rumah sakit.

Buatku atau kita, doa adalah sarana yang paling ujung yang bisa kita serahkan, selain memberi sesuatu yang sekiranya dapat membantu dalam hal yang bersifat dunia. Seorang teman berkata akan ada semcam sumbangan bersama anak-anak Panasonic. Sebuah berita baik yang kembali menyadarkan kita akan kekuatan hati. Demi sesama, teman, sahabat atau apapun itu. Kadang berita miris datang kepada orang-orang dekat kita, akan membawa kita pada sebuah titik, merenung kembali akan makna hidup.

Hidup, Jalan Tuhan Pilihan Milik Manusia
Hidup tak jarang dimaknai sebagai keberadaan fisik. Pendapat ini setidaknya diamini oleh para penganut faham meterialis. Dimana hidup adalah dunia, tanpa ada setelahnya. Namun untuk konteks kita dengan sudut pandang religiusitas, menempatkan hidup seperti dua titik, kosong dan ada. Kosong saat kita tak mengisinya dengan berbagai makna positif dan hidup jika melakukan hal yang sebaliknya, berbuat sesuatu untuk orang lain.

Entah menagapa aku kembaliteringat dengan seorang teman. Bukan berita kematian, bukan pula berita kepedihan. Tapi berita kegigihan yang penuh heroisme. Seorang teman yang mengantarkan pikiranku balik ke tahun 2003, saat dimana pundak masih ringan dan kepala masih ganas. Benhard Simanjuntak, Bang Ben demikian teman-teman menyapanya. Benhard, manusia tak biasa yang ditempatkan luar biasa oleh manusia yang tak paham apa yang ada dalam pikiranya. Bagaimana tidak, dia yang coba beridiri didepan dan menghalau tirani habis ditindas untuk sebuah alasan yang tak jelas. Tapi aku masih yakin dengan dunia ide ala aristoteles. Badan bisa dibelenggu tapi hati dan pikiran siapa yang bisa menghalau. Hanya orang bodoh yang mencoba mencegah sebuah cita-cita, perjuangan atau pemikiran sekalipun dengan menggunakan pembelengguan.

Sorry jika sedikit sentimentil.

Namun kala kekuatan hati terkadang juga membutuhkan pertimbangan rasionalitas. Teman, menyumbang dengan hati adalah kebaikan. Tapi ada hal lain yang kita lupakan saat kita harus merenung akan arti hidup yang sesungguhnya. Perjuanagn. Perjuangan melawan penyakit, melawan kematian (dalam prespektif pecegahan tanpa mengurangi kehendak yang Kuasa) dengan alam berfikir kita. Perjuangan untuk mengubah keadaan kita saat semua keyataan miris itu tiba.

Kini kehidupan memberikan manusia akan akal pikiran selain perasaan. Ini adalah anugrah terbesar dan terlengkap yang pemberian Ilahi bagi ciptaanya. Perasaan, kita sudah menunjukkannya lewat kerelaan berbagi dengan sesama. Akal pikiran (rasionalitas) menjadi senjata ampuh, jaminan bagi manusia untuk dapat tetap bertahan hidup untuk melawan kemungkin akan bahaya bagi kehidupannya.

Bagimu, bagi kita, sudahkah berfikir akan jaminan yang lebih baik untuk kehidupan kita? Berita miris ini datang menyapa kita sekarang lewat seorang sahabat. Setelahnya kita tak tahu. Saat semacam inilah akal pikiran saatnya kembali menyatu dengan perasaan. Membangun sebuah sistem yang memebrikan kita akan jaminan dalam mempertahankan hidup yang lebih baik. Jika sakit kita bisa berobat dengan layak. Jika ada bagian keluarga utama kita mengalami musibah, ada jaminan untuk dapat memebri penghormatan yang layak.

Pernah berfikir akan hal ini. Moga dan saya yakin. Namun sudahkah atau akankah itu akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Mungkin tak tepat untuk bertanya pada rumput yang bergoyang, saat kepala kita masih mungkin untuk digoyang memikirkannya. Satu hal yang ingin kusampaikan, Tuhan memiliki semua jalan, mati dan hidup. Namun jangan lupa, manusia diberi pilihan akan penggunaan jalan itu. Berlari diatas jalan kehidupan atau merangkak dijalur kematian. Ini adalah pilihan dari yang Ilahi. Satu pilihan terbesar yang memungkinkan manusia dengan sang pencipta hidup dalam suasana demokrasi. Dengan juri paling adil sang Ilahi.
(PIUS: Catatan: manusia dengan manusia)

Kedai Namboru Juminten Nadeak

Kedai Namboru Juminten Nadeak, pukul 5-an sore hari selepas kerja ada janji ketemu dengan beberapa teman. Keda Namboru yang satu ini memang jadi semacam tempat pertemuan rutin bagi komunitas kami. Tak disangka ketemu dengan Benhard Simanjuntak, manusia aneh bin gila. Aneh akan kekuatan semangatnya dan gila dengan cita-citanya untuk satu dunia yang lebih beradab.

Dua Gelas Gopi Berjuta Resah
Sambil menunggu, Benhard memesan dua gelas kopi. dua gelas kopi sejuta mimpi, demikian bang Benh memulai pembicaraan. Dimulai diri situasi kerja yang kian hari kian menjemukan. Tak ada satu yang baru, semua tetap sama, samar perlahan menuju gelap. Satu persatu yang kita miliki mulai hilang. Kini adakah yang bertanya, kenapa hidup masih seperti ini? "Kadang kita hanya dihargai sebatas waktu dan tenaga!" cetus Benhard.

Bayangkan kerja yang dibebankan terkadang memaksa kita harus menuangkan segala isi kepala, demi sebuah tututan besar, target. Mulai dari productivity yang tinggi, efisiensi hingga kepada peningkatan kualitas. Ini semua menjadi beban kerja yang selalu dan hampir tiap hari menjadi titik pencapaian yang diharapkan perusahaan.

Namun, disisi lain terkadang segala pencapaian tidak memiliki imabas yang sama terhadap sebuah pencapaian. Bertanyalah, berapa besar sudah peningkatan produktivitas yang tercapai? berapa banyak sudah penghematan yang terjadi? Atau seberapa besar usaha yang telah dilakukan untuk mencapai titik kualitas tertinggi? Adakah hal yang istimewa datang kepada kita saat semua pencapaian itu telah menjadi sebuah kenyataan?

Ya sebuah kenyataan memang datang, pahit. Semkin lama kita hidup di dalam rumah (PT) yang kita tinggali ini semakin banyak hal aneh yang kita jumpai, kejanggalan. Masih ingat pertama beberapa tahun lalu dengan bingkisan ulang tahun? Atau mungkin masih ingat dengan lapangan sepakbola yang dibelakang rumah kita ini? satu persatu hilang, tak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Mungkin efisiensi. Tapi efisiensi yang sungguh keterlaluan, dimana sisi media motivasi semacam itu ditarik demi satu dewa tua bernama efisiensi.

Itu hanya satu dua cupilikan kilas balik yang kita jumpai di rumah kita kini. Sebuah dewa lama berwajah baru. Ntah ini akan berhenti disini atau masih lanjut. Dan jika harus dilanjutkan hal apa lagi dari yang sekarang akan menghilang. Mungkin serapan pagi akan di hapus, mungkin parcel tahunan atau jangan - jangan ada hal ekstrim yang bisa juga dicabut, seperti aturan overtime untuk malam hari.

Hal ini sudah terjadi dengan saudara tiri kita (karyawan dari Global dan Petra- red) yang bekerja di rumah kita ini. Malam hari mereka hanya mendapatkan kurang dari 50% dari yang seharusnya mereka dapatkan diwaktu kerja lembur di malam hari.

Memang kita yang menjadi anak kandung masih merasakan hal yang normal, 4 jam untuk malam. Tapi siapa yang bisa menerka mereka yang diatas akan juga memperlakukan anak setengah kandung itu pun akan dijatuhi dengan aturan yang sama dengan sadara kita anak tiri itu.

Pada akhirnya bagiku semua yang menjadi visi mereka (perusahaan) hanya sebuah mimpi yang membawa kita terlena akan kemirisan hidup. Rumah kita ini tak lebih melihat penghuninya sebagai bilangan angka. Manusia dengan nomor. Hingga akhirnya setiap kepala kita hanya akan dihargai dengan angka-angka mati. Ada Rp5800, Rp.8000 atau ada sedikit diatas Rp.10000, per jam. Kita ada dimana? Manusia dengan harga perjam berapakah kita sekarang? Sungguh memalukan sebuah rumah besar seperti yang kita tinggali hanya memaknai penghuninya dengan bilangan-bilangan mati, miskin motivasi dan juga kompetisi.

Mungkin ada yang berfikir, tapi mudah mudahan bukan dari komunitas kita (SPMI-red) bahwa manusaia dengan kerja keras menghasilkan 20 juta barang dengan kualitas terbaik mendapatkan reward yang sama dengan manusia yang duduk tenang seolah tak melihat masalah.

Lantas untuk apa bekerja keras? "Sebuah pemikiran yang dibentuk oleh sistem yang bodoh yang dirancang oleh manusia-manusia aneh yang tak mengerti apa sesungguhnya arti dari manusia sebagai ciptaan tersempurna dari sang Ilahi. Ntahlah mereka mengerti dengan apa yang mereka lakukan dan akan mereka lakukan." tandas Benhard Simanjuntak sambil memanggil Namboru Juminten Nadeak yang sedang menyanyikan Sinanggar tullo dengan gaya sinden. Salam melihat. (disarikan: Pius Nainggolan)

22 Agustus, 2009

Refleksi:

Berita miris sering menjadi titik tolak yang membawa manusia untuk kembali berfikir akan makna hidup. Nafas bukan lagi sekedar aliran udara yang bersirkulasi dalam tubuh. Jiwa tak hanya sebuah makna kosong tanpa arti. Rasionalitas telah terjungkal oleh belenggu kenyataan yang jauh dari alam pikiran. Ipat, teman yang belum lama bergabung dalam satu korps kerja, Panasonic. Dia terbaring lemah tak berdaya.

Ini bukan berita pertama yang kualami setelah mengijakkan kaki di bumi Batam. Beberapa bulan lalu orang tua teman satu rekrutan dari Jogja, Ima meninggal dunia. Setelah itu datang kabar seorang teman, Manungkol juga tergelak dipinggir jalan setalah ditabrak lari. Tak berapa lama nafas terkahir juga menyela, meninggal dirumah sakit Otorita. Berita miris datang kepada orang-orang dekat kita, sebuah titik kecil bagi sang pencipta yang mampu membawa kira merenung kembali akan makna hidup.

Hidup, Jalan milik Tuhan, Berbagi jalan untuk Manusia.
Hidup tak jarang dimaknai sebagai keberadaan fisik. Pendapat ini setidaknya diamini oleh para penganut faham meterialis. Hidup adalah dunia, tanpa ada sebelum dan setelahnya. Berbeda dengan kehidupan kita, hidup adalah sebuah rangkaian dari yang sebelumnya (Tuhan/Kebaikan) dan akan berujung pada setelahnya, Tuhan (abadi atauau kematian kekal. Sebagian orang menempatkan hidup seperti dua titik, kosong dan ada. Kosong saat kita tak mengisinya dengan berbagai makna psoitif dan hidup jika melakukan hal yang sebaliknya, berbuat sesuatu untuk orang lain.

Refleksi, perenungan adalah saat dimana manusai mengosongkan segala pikiran dan mengisinya kembali setelah melakukan pembedahan kritis dari setiap perjalanan hidupnya. Kematian dari manusia tercinta atau pun belenggu yang menimpa teman-teman dekat, kadang menjadi medium yang sering membawa manusia pada situasi perenungan. Kematian seorang orang tercinta kadang membawa kita pada ke-ada-an kita. Ini yang terlihat saat sahabat kita tertipa berita duka, kita saling berbagi memberi atau saling mengulurkan tangan. Refleks sosial dari hati terhadap sesama.

Berbagi, dalam bahasa sederhana dapat kita arikan memberikan sebagian dari yang kita punya untuk sesama. Namun sering konsep berbagi dipahami dalam arti materil. Inilah yang tampak dari kita saat ada hal yang mengganjal. Tak perlu dipungkiri semanagt seluruh komunitas pekerja Panasonic saat memberikan donasi duka. Tapi sayang sebagai komunitas pekerja yang sangat besar kita kadang terlupa akan sebuah sebab yang mendasar. Apa arti sesungguhnya donasi yang selama ini terlah berjalan? Pertanyaan sederhana yang mungkin bisa membawa kita pada sebuah alam sadar.

Pertanyaan sederhana ini sesungguhnya muncul atas sebuah refleksi. Saat dimana seorang teman terbaring di rumah sakit tapi tak punya kempuan membeli obat yang lebih baik demi keselamatan jiwanya. Atau mungkin sebuah berita duka datang dan butuh untuk kembali, namun harus berfikir seribu kali, ongkos dari mana? Ini adalah sebuah realitas yang membawa kita pada sebuah arti donasi, berbagi saling merasakan.
Namun pernahkah kita merenung, beban yang kita alami juga seharusnya merupakan beban dari sebuah raksasa yang lebih besar dan tentunya bukan kita? Disinilah kita lupa bahwa kita tak pernah berbagi dengan sungguh-sungguh memikirkan kenapa kita menjadi sangat penting untuk berfikir akan subuah donasi yang sungguh mulia itu. Akhir kata, jika ada waktu marilah sedikit merenung dan coba mencari siapa yang seharusnya menjadi donatur kita saat dalam kemalangan, kedukaan? Kalo pun aku harus menjawab, aku hanya bisa mengatakan donsiku hanyalah receh kecil bagi ‘sesuatu’ yang pada dasarnya harus menjadi penyumbang kita. “ciptaan terbesar’ yang berubah jadi raksasa berwajah manis.

Sebuah kesadaran baru, dimana kita perlu untuk berbagi dalam banyak hal, terutama ide, cita-cita atau mungkin juga keluahan. Ini akan mebawa kita pada dunia yang sesungguhnya. Dunia dimana ruang-ruang jalur saraf dan hati menjadi saling menyatu untuk satu tujuan, dunia dimana kita mengingjakkan kaki yang bernama berbagi. Salam teman.

Sonny Boy, Man for the Poor?,Please women for who

Sobat, hari ini berita duka datang menyapa. Setelah dua bulan lalu, kabar duka ini menghampiri keluargaku, kini dia pun kembali mendatangi keluarga seorang teman, Minggu lalu, (15/07/07) ayahanda Ima, teman satu rekrut dari Jogja, dipanggil menghadap Ilahi. Kematian memang selalu datang seperti kibasan angin. Baru dua bulan lalu, sang ayah datang melihat kondisi Ima, sekalian untuk berlibur. Dua minggu mereka manfaatkan untuk berpuas kegembiraan, mengunjungi negeri Singa hingga Kuala Lumpur. Kegembiraan, sebuah kenangan yang akhirnya ditutup dengan kabar tak terduga. Serangan jantung telah membuatnya tak kuat bertahan, kematian.
Bukan sebuah duka yang ingin kubagi Sonny Boy. Saat suara kematian berdenting di telinga, sungguh hanya satu yang menyelusuri seluruh urat - urat saraf, refleksi. Sebuah perenungan tentang hidup, bagaimana seharusnya manusia hidup, saat kematian telah menjadi kepastian. Ntahlah, kamu pernah merasakan bisikan itu, bisikan sebuah lagu dengan nada-nada mengerikan. Sonny Boy, bisikan itu sebelumnya telah menyapa Bapakku, suara itu membisikkan sebuah kalimat. “ Minggu 13 May 2007, saat mentari dipuncak langit, sang Ilahi ingin bertemu dan berjamu anggur mulia.” bisik malaikat pejemput nyawa diiringi hentakan nada surgawi. Tak ada yang tau, giliran bisikan itu akan datang kapan ketelinga siapa pun yang masih menghembuskan napas kehidupan, sobat. Bagaimana denganmu Sonny Boy, sudah siap dengan bisikan surgawi?
Sorry, bukan maksud mengajakmu memasuki ruang-ruang teologi, sobat. Sungguh mengerti akan pendapatmu jika menyinggung ranah itu. Karena aku selalu ingat dengan kalimatmu itu. “Jika semuanya harus melewati jalur filsafat yang satu itu, marilah kita mengucapkan kata amin.” Memang, tapi biar bagaimana pun, itu adalah sebuah pengharapan, bukan sesuatu akhir, tapi jalan menemukan jutaan alternatif akan hidup. Untuk itu aku tak mau mengatakan amin. Gimana Sonny Boy, tak masalah bukan?
Cerita lamamu saat dibawah pohon mangga di depan Pusgiwa, saat-saat api heroik masih membakar dadamu. Sebuah mimpi akan negeri indah, damai dan sejahtera. Saat dimana, kepalamu tak hentinya setiap hari menjejali sejuta pertanyaan tentang penderitaan. Sungguh saat yang menyenangkan kala mentari sudah makin mendekat ke tepian barat. Secangkir kopi dengan bungkusan rokok kretek telah terletak diatas meja kayu bundar. Cerita, diskusi panjang menjadi begitu menarik. Tema semakin tak terbatas, bahkan tawa pun tak jarang mengiringi. Sungguh saat yang indah. Walaupun tak jarang suara kerasmu memekik bak ayam jantan, tiba-tiba mengeluarkan nada protes. Dasar Sonny Boy!!. Kepalamu memang selalu ingin berdiskusi, berdebat tentang kemelaratan.
Saat ini, sudah hampir satu setengah tahun lebih, suasana bawah pohon menghilang sobat. Disini tak ada perbincangan yang menarik, tak ada lagi kopi yang diaduk dengan indahnya diskusi. Kopi hanyalah obat penjaga mata menanti jam menunjuk pukul 10 .00 malam. Sorry, tolong jangan keluarkan kalimat saktimu itu. Aku tahu, kalau jam segitu bencong belum tidur. Mungkin karena itu, karena aku bukan bencong makanya tidur jam segitu. Haa.. aku ingat sedikit dengan orang – orang tua itu. Ketika mereka dengan bangga menamai komunitasnya dengan komunitas banci! Gila, dasar orang tua tak tau diri, udah lulus begitu lama, tapi juga masih tak tahu malu menamai komunitasnya dengan sebutan itu. Memang kata mereka itu bentuk resistensi. Sayang kami disini tak memiliki keberanian itu. Sayang!
Resistensi sobat! Diskusi, meluangkan waktu disaat yang lain sibuk dengan musik pop, cerita sinetron, romantisme film, berduaan atau apapun itu. Menurutku juga bagian dari resistensi itu. Resistensi, upaya mempertahankan diri dari lingkungan yang cendrung keluar dari jalur yang diinginkan. Disaat dunia menawarkan segala hal dengan kemungkinannya, maka manusia juga dituntut untuk memilah segala kemungkinan tersebut. Ada dengan jalan menghidarinya secara frontal, berlari keluar batas lingkaran. Sebagian ada yang tetap berada didalam lingkaran dan berusaha kuat untuk tetap mengasah identitasnya. Ada yang memang bertarung didalam lingkaran itu, berusaha mengubahnya.
Aku teringat dengan film, Gie Sonny Boy. Saat rezim orde lama hampir tumbang oleh penderitaan rakyat. Beberapa kekuatan muda yang berjuang didalamnya diberi pilihan yang sama. Berada diluar lingkaran kekuasaan, bak Ho Gie. Atau masuk dalam lingkaran seperti Akbar Tanjung. Keduanya adalah pilihan. Ahh, memang benar katamu hidup memang pilihan, sobat. Tetapi pilihan juga menuntut konsistensi sobat, sepakat? Aku yakin kamu akan sepakat, karena pilihanmu membusuk di bangku tanah Jogja ditepian kali Code sudah jadi kenyataan yang berbunyi. Salut, sekaligus miris buatmu. Walaupun demikian tak ada yang memaksamu, memang itulah pilihan.
Sekarang setelah lebih dari setahun tinggal di Batam. Moga pikiran dan anganmu tak membayangkan gedung megah dengan luncuran air mancur. Batam, tak lebih maju dari Medan sobat. Bahkan Semarang kotanya si Ucok manusia batak logat jawa pun masih jauh lebih maju dan megah dari kota ini. Megah, tidak hanya dalam konteks fisik, tapi juga rohnya. Bagiku, kota ini hampir mirip dengan bangunan – bangunan mati. Mati, oleh manusia yang memang hanya dikondisikan untuk bergerak bak roda pedati, yang mati itu. Akses apapun sangat sulit, sulit bukan karena tak ada. Sulit karena memang semuanya diukur dengan uang.
Evander, teman kuliah dulu di kota Gudeg. Mungkin kamu tak kenal dengannya. Manusia yang terlihat cool, namun pikirannya ternyata penuh gejolak, pemberontak. Dunia kerja baginya bukan kali pertama dalam hidupnya. “Kalo tahu kayak gini saya tak mau ke Batam. Apaan ini!” tandasnya dengan logat Batak. Sebuah perlawanan, gejolak, sayang semua hanya ada dalam alam pikir dan bibir. Cukup besar harapan, teman - teman dengan dasar pendidikan yang lumayan. Sorry aku menyebutnya demikian, karena demikianlah kami diperlakukan disini, sobat. Sonny Boy, dulu kita sering menyebutnya dengan kaum intelektuil, terpelajar. Bahkan dalam sebuah tema khusus diskusi alam sadar, dengan satu teko teh kampung, intelektuil menjadi ulasan panjang.
Intelektuil, selain kemampuan dasar formalistik pendidikan yang melekat, juga memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungannya. Intelektuil, juga dapat difahami sebagai kaum yang memiliki kemapuan untuk mempertimbangkan baik –buruk, dan menjadi motor perubahan untuk mencapai kesejahtraan, keadilan bagi lingkungannya. Dan, masyarakat memandang mahasiswa, alumninya masuk dalam golongan ini. Sebenarnya, tak perlu diperdebatkan, karena sejalan dengan tri dharma perguruan tinggi, dimana manusia itu bermetafora.
Sorry aku teringat dengan sentilan kecil si Wiwit Black saat minum tempura Pakualaman, saat melihat gemerlapnya lampu, dan ramainya meja billyard di seberang pintu masuk itu. “ Man for the poor, women for me, peta inteletual sudah lebih mendekat pada yang kedua.”
Di Batam ini Sonny Boy, hanya sedikit manusia yang merupakan keluaran tembok tembok penjara pendidikan tinggi. Walaupun hanya sedikit, sayangnya penjara perguruan tinggi ternyata tak cukup kuat merubahnya menjadi manusia edan, manusia gila. Edan akan perubahan, gila akan penindasan. Semuanya, ikut sobat. Ikut dengan seperti alur air sungai Asahan yang tak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya untuk menghidupkan turbin PLTA Siguragura. Ntahlah hidup yang mereka berikan untuk apa. Kata mereka itu demi ke-pasti-an. Tapi, sorry, bagiku itu hanya “mimpi kepastian”. Bagaimana denganmu, Sonny Boy?



“Cogito Ergo Sum”

Salam sobat, hari ini aku pulang jam 7.00 WIB. Over time, ada pekerjaan baru dari bos. Jam dua kurang lima menit meneger memanggil. “ Tolong kamu kasih data stock di Singapura untuk KPT, kapan harus keluar ke Customer?, lengkap dengan winding spec untuk semua modelnya!” perintahnya. Tak lama setelah perintah turun, bunyi bel pertanda istirahat pukul dua sudah saatnya. Pikir-pikir sejenak. “Langsung dikerjakan? Merokok? Atau langsung dikerjakan?, Merokok!” otakku ternayata lebih memilih kebiasaan sesat itu. Ntahlah, sepertinya asap rokok pelan-pelan telah menyatu dengan sarafku. Tapi kini yang menggembirakan, rokokku udah berubah friend. Sekarang, Djarum 76 yang penuh sesak seperti katamu dulu kini telah kuganti dengan yang lebih soft, U Mild. Walaupun kata dokter itu sama, tapi kata paru-paruku itu lebih ringan. Sorry, boy aku tidak sedang mengiklankan sesuatu. Walaupun dalam keseharian, aku telah menjadi pengiklannya yang paling baik. Membawa bungkusan itu setiap hari, mendaptkannya pun lewat kepingan uang rupiah. Sorry, ini serius. Aku tahu kamu sangat tidak suka dengan kebiasaan buruk ini.

Lima belas menit, sebatang rokok telah habis terbakar. Kerjaan saatnya kerja kembali, membuatkan laporan sesuai dengan harapan bos. Ternyata satu jam tak sampai kerjaan itu telah selesai. Tapi ya sudahlah, semua itu kukatakan hanya sekedar katabalece saja. Soalnya, aku takut memulai langsung pada intinya. Seperti biasa, rasa ngantuk selalu terlihat di matamu saat ceritaku sudah pada soal yang satu ini.
Setahun lebih sudah aku bekerja pada perusaan ini. Tapi, sayang aku tak melihat sedikitpun jiwaku bisa menyatu dengannya. Bahkan tubuhku pun seperti berada pada awang langit minus dua. Gila, saat – saat dimana jiwa dan tubh bersama berontak terhadap tanah yang sama, rumah yang sama.

Aku teringat dua minggu lalu. Aku duduk di area smoking bersama dengan seorang teman, Tido. Dia tiga tahun lebih lama bekerja dibandingkan denganku. Dengar-dengar dia termasuk orang yang mendapat promosi paling cepat dalam soal jabatan. Tapi apa yang dia katakan. Malas, jenuh, dan segala macam jenis keluh – kesahnya. “Aku mungkin bukan apa – apa pak, tapi yang paling parah adalah mereka yang jadi operator itu. Apalagi yang perempuan.” cetusnya halus. Satu demi satu cerita selama pengalamannya pun muncul. Sorry teman, cerita ini terjadi pukul 4.15 WIB saat menunggu orang yang lagi puch card habis dari antrian panjang yang sungguh menggerahkan.

Tak lama ada seorang teman kerja yang datang, Nino senior operator, maintenance. Cuma lima menit dia ikut mendengar, sudah langsung angkat bicara. Sempat heran juga, karena jarang manusia disini mau terlibat dalam sebuah diskusi serius macam ini. Rupanya dia tertarik karena ada pengalaman pahit dalam hidupnya sesuai dengan tema diskusi bawah kipas itu.

Satu tahun lalu, Lini istriku PQE dari line 4FXDT melahirkan. Sungguh penuh dengan cobaan, Lini harus melaluinya dengan operasi cesar. Saat kalimat operasi keluar dari mulut sang dokter, Lini sudah berfikir tentang lembaran uang yang harus keluar. “Sembilan juta adalah harga yang paling minim untuk menjalani operasi cesar itu pak!” tandasnya. Sungguh pilihan sulit yang ditawarkan si dokter.

“Uang!” Dia tak punya uang sebanyak 9 juta rupiah pak.” cetusnya.
Tak ada ampun, tidak untuk negosiasi. Ada uang ada anak! “Kalo tak ada uang, anak ditahan! Itulah kalimat yang dilontarkan suster bagian administrasi.” Tandasnya dengan suara agak menurun. Tak banyak pikir tak banyak pertimbangan. Tak memungkinkan pula untuk tawar-menawar. “Jika cesar merupakan sebuah pilihan dari alternatif melahirkan normal, pasti Lini akan memilih normal.” keluhnya. “Namun, Cesar bagi kita yang hidup dengan seadanya, tentu bukanlah pilahan tapi keterpaksaan.” tambahnya.


Tak lain dan tak bukan, jawabannya hanya satu ya untuk cesar. “Malam itu juga, pukul 8.00 WIB, kesepakatan mampu bayar dengan nilai total Rp 9 juta terpaksa kutandatangani. Tak ada pilihan yang mudah, semuanya sulit” cetusnya dengan suara melemah. Untung seribu untung, operasi berjalan lancar. Bayiku lahir dengan selamat, juga Lini istriku yang terkasih. Sungguh sulit terbayangkan jika, yang terjadi sebaliknya. Aku teriak begitu keras, jauh lebih keras dari teriakan tangis bayiku, semua melihat kearahku. Ntahlah mereka pikir aku ini apa. Gila? Tapi biar saja, sekarang aku sudah jadi bapak!

Semua kulupakan begitu saja, semua hilang. Yang ada dalam pikiran hanya wajah keringat istriku tersayang, dan kulit halus bayiku yang tidur nyeyak. Sampai-sampai aku tertidur pulas diatas kursi kayu disamping Lina.

Bunyi pintu pagi itu akhirnya menyadarkaku kembali. Membalikkan bola mataku. Dinding yang semalam berwarna putih bersih mengkilat, kini mulai terlihat buram dengan bintik - bintik kuning. Saat itu juga baru terasa ruangan ini hanya kelas tiga rumah sakit pemerintah. Panas sudah mulai datang.

“Selamat pagi pak Nino, saya mau memeriksa tensi ibu.” pintanya.
Tak begitu lama, semua urusan suster selesai. Tapi yang tak kuduga, kedatangannya ternyata membawa kabar lain.
“Sebelum jam sembilan, tolong membereskan segala persayaratan administrasinya ya pak.” kata suster sebelum meninggalkan ruangan.

Kamar itu tak lagi kabur, kini sudah mendekati gelap. Putar otak, cari uang, karena sekarang uang yang ada dikantong adanya baru Rp 5 juta. Itu pun sudah bongkar semua tabungan. Tanya kiri tanya kanan, mana tahu ada tetangga, teman kerja, mana tau punya uang simpanan. Lebih dari seminggu anak itu harus tinggal di rumah sakit kelas tiga tanpa orang tua.

***

Cerita ini bukan fiksi teman, ini kenyataan. Realitas orang kecil yang hidup di dunia industri yang maha dahsayat. Dahsyat dengan gelimpangan uang yang sedang bergerak didalamnya. Ratusan juta, bahkan miliaran dihasilkan dari sana setiap harinya. Tapi lihat sisi lainnya, bahkan untuk melahirkan seorang anak pun sangat sulit bagi sebagian orang kecil yang hidup didalamnya. Uang itu memang milik mereka yang punya segundak uang alias kaum kapital, namun yang memutarnya adalah energi manusia kecil yang ada didalamnya. Aku tahu kamu akan berkilah, sobat. Itulah kekuatan kapital!

Aku tahu akan arti pentingnya kapital. Tapi, aku juga ingat diskusi bawah pohon persis di depan Persma dulu. Kapital, tentunya tidaklah selalu sama dengan kapitalisme. Kekuatan arus modal tidak melulu harus diarahakan pada faham yang bersifat kapitalis, bukan?

Belum lama ini, aku membaca buku titipan permanen Ucok untukku. Wacana, buku jurnal terbitan Insist, tematisnya tentang teori pembangunan. Sungguh tulisan Amrtya Sen menjadi sebuah inspirasi baru memandang kekuatan kapital, setelah lima tahun melihatnya dari sudut kiri jembatan ambruk. Kapital tidak selalu berarti kanan, dia juga memiliki kecendrungan untuk berada pada garis kiri, seperti tempatku kini. Saat itu teringat juga aku dengan kalimat Cak Nun, kalau ada kemauan maka orang paling mudah masuk surga adalah mereka yang paling kaya (kaum kapital). Tapi, sekaligus juga mereka menjadi orang yang paling potensial menjadi penghuni neraka tingkat tujuh belas.

Dalam penelitian yang dilakukan Sen di beberapa negara miskin, temuanya negara kaya (memiliki potensi besar: alam) tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahtraan warganya. Sering justru terjadi sebaliknya. Ada beberapa negara yang jika dilihat dari potensi alamnya cukup besar, namun kehidupan rakyatnya sebagian besar berada dibawah garis kemiskinan. Indonesia merupakan contoh paling cocok dalam kaca mata kita. Hampir semua elemen negeri ini sepakat, jika negerinya memiliki kekayaan alam dan budaya yang maha dahsyat. Koes plus mengatakannya dengan “ bukan lautan tapi kolam susu”, Mesy, melantunkannya: tanam salak tumbuh salak, tanam durian tumbuh duarian,.... semua ada disini.” Sepertinya kamu pun pernah mendengarnya, bukan? Atau jangan – jangan lagu ini termasuk lagu favorit semasa kecilmu, Sonny boy.

Tapi, sudahlah aku ingin kembali dengan cerita pahit mereka yang ada disini. Sorry, maksudku kami. Sobat, kamu tentu pernah dengar dengan faham paling mutakhir yang satu ini. Faham ‘putus asa’ atau ‘prinsip ya sudah-lah!’.

Sebulan yang lalu, saat ada teman - teman dari section Lima Kaki mengajak jalan-jalan ke pantai, ada seorang teman, Bexsky, belum lama bergabung ketempatku bekerja. Karyawan tempatku kerja sebagian besar operator, cewek, sebelumnya sudahj pernah kuberitahu, ingat? Saat perempuan-perempuan cantik itu sedang asyik bermain, Bersky duduk diam sambil memandang jauh ke pantai. Belum terlalu kenal, saat duduk, dia menyapa. “Sepertinya mereka sangat menikmati hidupnya.” ucapnya. Hidup penuh dengan tekanan saat bekerja mampu mereka tinggalkan saat waktu berkerja telah usai. Kerja ya kerja, senang ya senang, dua situasi yang dapat mereka pisahkan dengan baik. Padahal, jika dibandingkan dengan kemampuan hidup, kondisi mereka sangat rentan dengan tekanan. Jika sekarang masih bisa bekerja, tiga bulan, setahun, atau dua tahun kedepan akan bekrja di mana? Uang akan datang dari mana? Inilah yang muncul di pikiran saat mereka sedang menari dengan luwes diiringi hentakan suara ombak laut lepas, Barelang.

Tak lama, lama kulontarkan pertanyaan. Saat seperti ini, dengan alam pikiran penuh gejolak semacam itu. “Apa yang harusnya dilakukan?” Dia lama terdiam, sepertinya menanggapi pertanyaan ini dengan serius. Serius entah kenapa, belum jelas. Sebab ini hanya obrolan pinggir pantai yang tak terekam oleh apapun, dan tanpa kekuatan apapun.

Sebenarnya situasi ini bukanlah pemandangan baru. “Ini hanyalah bentuk lain namun sama dari sekian banyak bayangan akibat pantulan dari sebuah lensa kolonialisme yang sedang beridri kokoh.” ungkapnya. Ada bayangan kolonialisme yang tampil vulgar, seperti penjajahan jaman dulu. Kini bayangan itu muncul sangat halus dengan wujud yang berbeda. Ada lewat perang militer, ada lewat sanksi ekonomi, ada yang lewat pendidikan, hiburan. Sungguh, banyangan lensa itu menjadi bermacam-macam. Tapi, yang jelas bayangan itu cuma memberikan satu makna, penderitaan.

Jawaban yang sungguh tak kuduga. Tak kusangka akan sejauh itu. Setelah semua ini, Sonny Boy aku ingin sekedar bertukar pikiran. Jika dalam suasana sudah begitu rumit seperti sekarang ini, apa yang seharusnya menjadi jalan keluar. Tentunya aku hanya minta tolong, jangan sarankan untuk memberontak secara frontal, dan massif. Sama seperti cara mengusir penjajah tempo duloe. Aku tunggu jawabanmu sobat. Sorry, jika semua ini mengganggumu, memaksamu untuk berfikir. Kukatakan ini semua karena kuingat tulisan dibaju hitammu, Cogito Ergo Sum. (Sebuah Catatan: manusia dengan manusia)

19 Agustus, 2009

Satu Hati Dalam Satu Tradisi Menuju Kebersamaan Naposo

Sabtu, 15-16 Agustus 2009, BatuAji, bergema dengan suara musik ber-irama gondang, dua Pesta Naposo sedang berlangsung di dua tempat yang saling berhadap-hadapan. Di kafe Martabe, Naposo Siraja Oloan, sementara Naposo Tondibangarna mengambil tempat lapangan terbuka Simpang Second.

Berhadapan dengan dua pesta gondang dalam hari yang sama cendrung sangat menyulitkan. Mulai dari pengumpulan dana atau tok-tok ripe, pengaturan waktu hingga tenaga. Mengumpulkan uang untuk dua pesta sekaligus cendrung akan lebih besar. Walau memang tak ada aturan yang mematok besaran sumbangan. Belum lagi dampak krisis global masih terasa. Beberapa ito kita yang kerja di PT dan biasanya sangat aktif untuk ikut acara manortor, beberapa bulan belakangan ini sedikit mengurangi mobilitasnya. Maklum!

Sejak seminggu yang lalu beberapa teman mengusulkan agar Naposo Nainggolan menghadiri undangan dalam satu hari. Karena itu, kira-kira pukul 8.00 Wib Appara Gordon, humas Naposo Nainggolan sudah diminta agar mendaftarkan tor-tor untuk nomor urut yang lebih awal. Takut dengan pengalaman sebelumnya, daftar pada urutan buncit. Akibatnya pulang nortor jam tangan sudah menunjuk pukul 00.30 Wib, dini hari. Kasihan!

Gordon mendaftarkan Naposo Nainggolan nomor urut satu pada Pesta Tondibangarna dan nomor urut 3 pada Pesta Siraja Oloan. Wau... pembuka dipestanya tulangi.

***

Pukul 6 sore sesuai kesepakatan semua Naposo Nainggolan akan berkumpul di Putri 7, sebelum berangkat manortor. Satu persatu datang, dengan wajah-wajah cantik dan segar. Biasalah, boru Nainggolan, bung!

Suara Gondang yang punya hajatan sudah mulai terdengar. Ntah Gondang siapa yang sedang berkumandang, kurang jelas. Mungkin karena irama dan juga suara musik Gondang dimana-mana sama. Tapi pesannya selalu sama. Roma hamu Manortor!!

Sebagian dari ito-ito Br. Nainggolan sudah ikut -ikutan bergoyang. Sudah tak tahan mau nortor. pinggul sudah mulai bergerak kekiri dan kekanan. Tumit kaki sudah naik-turun. Padahal lokasinya masih sekitar 200 meter dari lokasi pesta. Gordon mulai sibuk memungut tok-tok ripe. "Lehon-Lehon Bou, antan uang pagodanghu, adong dua pesta sadarion. Secukupna tapi godang itu yang penting" cetus Gordong dengan bahu yang bergoyang, hipnotis Gondang!

Kurang dari setengah jam duit sudah terkumpul, Rp. 18.5000 dari 40-an orang. Kurang jauh dari kebutuhan. Dana minimal untuk nortor belakangan ini sangat mahal. Persembahan untuk mengisi pohon bambu, setidaknya butuh uang sebesar Rp.200.000 belum lagi olop-olop. Huhhh...

Bendahara BPH, Sariani alias bou hepeng sudah mengkerutkan dahi. "Pengeluaran torus,... Bangkrut nama hita" cetusnya. Bendahara yang satu ini memang sangat berhati-hati sedikit sulit mengeluarkan uang kas. Tapi apa mau dikata, setiap kegiatan nortor atau bayar adat juga tanggung jawab BPH. Sebelumnya BPH sudah melakukan rapat dan memutuskan mengalokasikan dana Rp. 1200.000. Jumlah uang yang sanagt besar.

Belakangan ini Pesta Naposo rada sedikit menyulitkan. Hampir setiap pesta sekarang selalu menyuguhkan lelang, harganya pun kadang tak ketulungan. Rata-rata lelang dibuka dengan harga Rp.300.000 rupiah. Artinya harga barang ini minimal demikian, tapi pasti akan selalu naik. Walaupun sedikit dari harga dasar.
***
Pukul 7.30 Malam minggu. Sesuai nomor urut pendaftaran, Naposo Nainggolan jalan bareng dari Putri 7 menuju Simpang Second. Sayang, saat mendekat ke lokasi ternyata suara gondang yang terdengar tadi hanya dari Pesta Siraja Oloan. Tondibangarna belum memulai acara Gondang. Dengar info dari Rudy alias Ruddin Nainggolan, Litbangnya Naposo Nainggolan Batam (kadang diplesetkan jadi Lobbang ruddin) disana masih ibadah. "Pesta kayaknya masih lama itu appara" Ruddin melapor.

Mendengar info ini, kami ngobrol sebentar untuk menentukan mau melanjutkan ke Simpang Second atau ke Siarajaoloan ayang di kafe Martabe terlebih dahulu. "Kita kafe martabe aja dulu to" seru boru Nainggolan semuanya mirip suara Elfa's Choirs.

Balik haluan, menuju ke sebrang, kafe Martabe Batu Aju. Siraja Oloan sudah memulai Gondang untuk urutan undangan yang pertama. Nainggolan no tiga. Tinggal menunggu satu marga lagi. Tidak lama duduk disana, panitia menawarkan agar Nainggolan maju ke nomor dua menggantikan Manurung yang belum siap. Good News. Bergerak cepat, menyusun duit ke bambu (Batak: bulu). Duit ditempatkan di setiap tangkai bambu, terlihat seperti daun. Ada yang menyebutnya pohon duit. Terangkai sudah dengan baik. Uang Rp.50.000 bertengger pada ujung paling tinggi.

Tak lama panitia mengumumkan Toga Nainggolan bersiap-siap. Pertanda tor-tor yang berlangsung, Naimarata sudah akan berakhir. Naposo nainggolan mulai berbaris, dan memakai ulos yang dibagikan panitia. Semua boru Nainggolan terlihat tambah anggun menggunakan ulos batak yang bergantung di bahu. Wajah mereka terlihat penuh semangat. Sungguh menggambarkan semangat dan kegembiraan.

Budi Nainggolan alias Pulsa memegang pohon duit yang akan dipersembahkan sebagai silua untuk panitia. Dia berada di barisan paling depan. Aksi akan dimulai.

Naimarata meminta (batak: mamitta) gondang penutup (hasahatan). Gondang jenis ini hanya berlangsung sebentar, kurang dari tiga menit. Naimarata mengakhiri tor-tor mereka.

Akhirnya ber-aksi. Gondang panomu-nomuon (menundang) dibunyikan. Barisan Nainggolan mulai bergoyang, bergerak maju, membentuk formasi melingkar. Diiringi dengan tor-tor yang begitu menggoda. Gila, boru Nainggolan memang sungguh mahir melenggokan tangan dan juga gerak langkah kakinya. Anggun.

Tak ketinggalan dengan semua appara Nainggolan. Gerakan tor-tornya terlihat berwibawa. Seperti Raja Adat. Pulsa Nainggolan menggerakkan pohon duit berayun-ayun. Formasi hamper terbentuk. Setelah formasi melingkar terbentuk, segera gondong mulai pelan pertanda akan gondang panomu-nomuon selesai.

Gordon yang juga salah satu raja parhata (pembicara) Nainggolan maju ketengah lingkaran. Dia memegang mikropon, hendak mamitta gondang mula-mula. Sorry friends, sampai sekarang aku ndak tahu uppasa yang dia gunakan. Tapi dia membuka umpasa. "Amang pargossi baen ma Gondang Mula-Mula i" pitta Gordon. Gondang pun mulai, pertanda Naposo Nainggolan sudah resmi manortor dan memulai prosesi adat. Gondang mula mula juga tidak lama, cuma sekitar tiga menit.

Sesudah Gondang Mula-mula selesai, Gordon kembali meminta gondang selanjutnya. Gondang somba-somba. Gondang ini diwujudkan untuk menghormati Tuhan yang maha kuasa, yang punya hajatan dan sekalian orang yang hadir dalam perayaan pesta itu. Gondang ini termasuk yang menenangkan jiwa. Alunan suaranya seolah membawa kita ke langit. Sungguh sebuah gondang kehormatan bagi sang pencipta dan seluruh manusia ciptaannya. Gondang mulai, iramanya agak pelan namun terdengar sangat dalam. Semua panortor menyembah kesegala sudut, berputar 360 derajat. Gondang ini sedikit lebih lama, sekitar empat menit.

Gondang durasi pendek selesai, kini memasuki gondang yang ditunggu-tunggu. Mangolopi. Disini semua orang memiliki kesempatan untuk memberi atau menyumbang baik berupa materimaupun immateri, semisal doa atau pasu-pasu lewat ulos. Namun untuk pesta muda -mudi biasanya menempatkan sesi gondang ini menjadi waktu saling memberi. Karena pasu-pasu biasanya datang dari natua-tua. Gondang semakin panas, ito-ito dan appara mulai menunjukkan kebolehan masing-masing. Uang bertebaran.

Pesta Br. Nainggolan, ito yang satu ini terlihat masuk ketengah. Dia menghindar dari tim tor-tor penjemput uang dari panitia yang sedang berusaha meminta duit olop-olopnya. Sedikit bergoyang, melenggokkan pinggul. Menari sambil menurunkan badan, tangan melambai keudara sambil meliukkan pergelangan. Pelan dan akhirnya posisi penari jongkok.Tarian yang sangat sulit, butuh tenaga ekstra, kadang lutut tak kuat menahan berat tubuh. Huhh... tapi ito-ito Br. Nainggolan, hebat. Semua bisa melakukan. Cuantik banget.. Salute buat ito Pesta Br. Nainggolan, Salute buat seluruh Boru Nainggolan.

Gondang olop-olop semakin panas, tim tor-tor penjemput uang dari panitia semakin bergerak lincah untuk mendapatkan seluruh olop-olop yang ada ditangan Naposo Nainggolan. Apalagi pohon duit yang dipegang appara Pulsa Nainggolan belum juga terlihat akan diserahkan. Ada empat orang yang khusus menjemput pohon duit. Berbagai cara dilakukan, mulai dari mengurung appara Pulsa dengan tarian gandengan tangan. Pulsa tetap bisa meloloskan diri. MC panitia mulai berbicara, agar semua Naposo Nainggolan bisa memberikan dengan cepat. "Lehon hamu ma amang, lehon, lehon..." pinta MC.

Tak berapa lama setelah panitia memberikan aba-aba meminta agar Naposo Nainggolan mempercepat proses, pohon duit diserahkan. Pulsa akhirnya menyerah, dengan kerendahan hati. Pohon duit telah dijemput panitia, otomatis satu-persatu yang lain juga turut menyerahkan olop-olop dari tangan masing-masing. Gondang olop-olop usai.Kaki sudah mulai terasa pegal. Sial, tak ada parumaen....

Tinggal dua Gondang lagi. Gordon kembali maju ketengah untuk mamitta gondang selanjutnya. Gondang husip-husip (bisik-bisik). Yang paling ditunggu-tunggu semua yang hadir. Maklum gondang ini dasarnya ditujukan sebagai medium bagi muda-mudi untuk saling mengenal. Bahasa gaulnya ajang cari jodoh. Gordon mamitta, dan mengajak seluruh panitian Siraja Oloan juga ikut gabung ketengah m,anortor bersama. Gila, benar-benar saatnya mencari yang sedang dicari, calon parumen bos! Gondang mulai, semua Naposo serentak maju ketengah.

Semua saling menunjukkan gaya tor-tor terbaiknya. Tak ada yang mau kalah. Maklum, ada yang diincar. Mana tau ada calon parumaen atau calon amang boru yang sedang melirik, tersipu. Salute buat kekompakan tor-tor Naposo Nainggolan. Menggoyang kekiri-goyang kekanan. Sebagian ada yang sedang asyik menari berdua. Ito kita, Pesta Br. Nainggolan sedang asyik menari dengan seorang cowok (sorry gaul dikit ya..) Ntah siapa, tak kenal, yang jelas bukan appara atau amang boru dalam kumpulan. Siapa dia?

Semakin lama, tarian mereka semakin santai. Saling lempar senyum. Bahaya..., siapakah gerangan ini laki-laki! Dilihat dari cara nortor-nya cocok juga jadi calon amang boru. Taufik Kiemas bilang, chemistry-nya dah terlihat. Disisi lain ito Sariani juga tak mau ketinggalan. Sariani sedang asyik disudut kiri. Ketinggalan, dari tadi mata menuju sudut biru. "Ai ido calon amang boru i" Agus Nainggolan Wakil Ketua BPH menanyakan tentang siapa laki-laki yang sedang menari dengan Sariani.

Yang sedikit menyedihkan, appara, Marga Nainggolan, anak ni bapa na. Tak ada tanda-tanda kalo sedang melakukan tarian serius pemikat jiwa. Apa memang calon parumaen incaran tak ada yang nongol. Sebagian memang menari dengan beberapa mahluk hawa, cuma tak terlihat tarian jiwa. Senyum, ketawa dan gerakan tubuh hanya memberi sinyal, pertemanan. Tapi, mereka tetap menari dengan riang. Kuciwa tak ada calon parumaen tapi pertunjukan tetap harus meriah. Salute, buat semua kebesaran hati appara Nainggolan.

Hampir setengah jam, Gondang husip-husip berlangsung. Terlihat sebagian sudah mulai memegang lutut sambil memandang ketengah, melihat mereka yang tetap kuat menari. Ntah, pargossi (pemain musik) yang sudah tidak kuat atau ada permintaan panitia, musik lambat laun pelan dan berhenti. Gondang husip-husip pun usai.

Gondang terakhir siap di request. Seperti diduga sebelumnya, panitia meminta waktu sebentar untuk lelang. Satu case minuman soda dan satu ekor ikan Mas Naniarsik. Dibuka dengan harga Rp.300.000. Gordon melirik kearah Pius Nainggolan, Ketua BPH. Lewat kode tangan, pertanda oloppon ma (langsung diterima). Habis lelang diserahkan. Dilanjutkan dengan gondang hasahatan (akhir). Gondang ini hanya berlangsung sekitar 3 menit. Dan diakhiri dengan kata: Horas. Horas.. Horas... Mengakhiri Gondang Naposo Nainggolan di ulaon ni Raja Siraja Oloan.

Jam sudah menunjukkan pukul 9।45 WIB malam. Selanjutnya Naposo Nainggolan menuju Gondang Tondibangarna. Naposo Parna sedang beraksi, dan setelahnya Naposo Nainggolan akan kembali beraksi dengan suguhan tarian terbaiknya. Maklum, tarian ini sekaligus sebagai persembahan buat semua Tulang Panjaitan, cari perhatian bos. Maklum Boru tulang!

Di Simpang Second, Nainggolan selesai manortor pukul 11।30 tengah malam। Tapi semua appara dan ito masih tetap bersama, kompak। Salute buat Naposo Nainggolan Batam। Dan salam buat semua Nainggolan di Jagat Raya.

Ini hanya sedikit cerita dari kami yang sedang mencoba memahami arti "berkumpul".Batam 19 Agustus 2009, Pius Nainggolan, salam untuk semua.



12 Agustus, 2009

PUK SPMI, Panasonic Electronic Devices Batam: Semangat Baru, Harapan Baru

Setengah tahun sudah berjalan tertatih-tatih, akibat beberapa pengurus tidak lagi aktif dalam struktur. Ada yang pergi kerena harus melakoni studi kenegeri Sakura, dan sebagaian lagi memilih untuk tidak aktif. Namun kesadaran akan pentingnya sebuah organisasi dalam membangun, menjaga dan memperjuangkan hak- hak buruh, menjadi pemicu utama untuk bangkit kembali. Mengumpulkan serpihan yang masih tertinggal dan mencoba menyusunnya menjadi satu wadah yang apik.

Mulanya hanya sekedar obralan kecil dibawah tangga, area smoking. Satu persatu, amunisi yang masih tertinggal memulai diskusi, dengan mengawalinya lewat sebatang rokok. Ntah celetukan apa yang akhirnya membawa hingga semuanya berjalan begitu kencang dan berubah diskusi panjang yang berlanjut dari break ke istirahat berikutnya.

Andi Ristanto yang akrab disapa bung Andi, salah satu penghuni Inductive Departement melihat kelemahan paling utama belakangan ini adalah internal kepengurusan. Termasuk didalamnya kebolongan dalam struktur. “Kondisi tidak lengkapnya struktur bisa jadi merupakan biangkerok lambatnya setiap program berjalan” ungkap pria asli sunda, dengan gelak tawa sambil mengulagi kata biangkerok. Sementara Saudara Nainggolan dari Resistor Departement, melihat bahwa pola kerja yang belum teratur, ditambah dengan minimnya informasi tentang kinerja kepengurusan membuat tak banyak orang yang mengerti tentang oraganisasi ini. Termasuk baik buruknya, jika masuk dalam organisasi ini. " Butuh pembenahan yang lebih baik dalam hal informasi, sehingga kinerja kepengurusan dapat tersampaikan kepada anggota. Dan ini penting." tandas pria bertubuh kurus ini.

Sebuah diskusi kasak kusuk bawah tangga, akhirnya mengusulkan sebuah pertemuan bersama. Untuk mengetahui pandangan yang lebih banyak dari berbagai pengurus maupun anggota.

Tanggal 22 Juni 2007, pukul 4.30 WIB, Alam terbuka pojok Panasonic, dekat lapangan sepakbola menjadi pilihan tempat pertemuan. Hadir beberapa pengurus yang sekalian juga menjadi wakil dari lima departemen. Diawali dengan pembukaan dari moderator, Benhard Simanjuntak yang juga sekretaris PUK PT. Panasonic Electronic Devices Batam (PT. PED-Batam), dengan memperkenalkan para pengurus yang masih tingal dan aktif. Perkenalan ini juga menjadi ajang romantisme, bagi pengurus lama, untuk menyampaikan keluh – kesah, pahit - manisnya menjadi bagian utama dalam kepengrusan organisasi ini.

Dia mengambil contoh, saat Tsunami menerjang bagian paling barat Negeri ini, PT. PUK PED-Batam relatif singkat mengugah penghuni pabrik ini member bantuan kepada korban Tsunami. "Dana yang terkumpul cukup lumayan, 23 juta rupiah, jumlah memang tak seberapa, tapi sosisal sense yang terbangun adalah menjadi tujuan kita bersama." papar Benhard. "Hal sama juga dilakukan saat Gempa besar meluluhlantakkan kota Gudeg, Yogja. PUK juga memberikan sumbangan kepada karyawan yang merupakan keluarga langsung dari korban gempa ini. Memang jumlah 500.000 rupiah per orang, paling hanya ongkos sekali berangkat pulang itu pun kalo cukup. Tapi rasa kebersamaan, sependeritaan dalam setiap problem yang kita hadapai adalah penghiburan yang paling besar untuk kita semua." lanjutnya.

Henky, Bendahara PT. PUK PED-Batam pun turut bicara. “Sayang overtime telah menjadi bius mujarab, membuat banyak orang jadi lupa diri. Lupa, jika semua itu hanya bersifat sesaat, lupa kita juga menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar. Kemanusiaan.” katanya.

Masalahnya, walaupun organisasi ini telah tumbuh sejak awal tahun 2004, dan telah turut serta menjalankan fungsi sosial semacam itu. Perusahaan tempatnya tumbuh terseok-seok belum mengaggapnya sebagai mitra seutuhnya dalam membangun perusahaan dari dalam.Misalnya saja, niat baik untuk memperkenalkan susunan pengurus, lewat penyampaian organitation chart dan copi pencataan, pihak manajemen serta merta menolaknya.

Belum selesai dengan romantisme, beberapa anggota yang hadir dalam pertemuan mulai merasa resah. Lihat kiri, lihat kanan, ternyata satu persatu tanpa sadar sudah dalam siaga kipas mengipas tubuh. “ Panas sekali, udah dipercepat aja.” lempar Yosua Siahaan pelan kepada peserta lain. “Sepertinya sudah saatnya kita meminta ruang khusus, biar agak adem, kayak office sana.” timpal peserta lain.

Suara grasak-grusuk, akhirnya mulai mereda saat Ketua PUK PT. PED-Batam memberikan pengarahan. Yudi dalam pemaparan singkatnya mengingatkan, pentingnya arti PUK PT. PED-Batam dalam menjamin kelangsungan setiap pekerja. Sehingga diharapkan, semua struktur, anggota bisa lebih bekerja keras untuk mencapai tujuan bersama, termasuk demi kemajuan perusahaan. "Teman - teman seharusnya lebih pro aktif untuk melihat sekitar anda, memberikan masukan, bekerja bersama dan bersatu. Dengan ini kita akan lebih mudah menjalankan setiap visi kedepan." tandasnya. Dalam pandangannya perjalanan kepengurusan, pola kerja bekerja lebih bersifat personal. Misalnya, ketika salah satu anggota mengalami masalah, kecendrungannya korbanlah yang datang secara personal kepada pengurus.


Padahal, setiap departemen telah memiliki struktur dan badan koordinasi (bakor) yang fungsinya mengkoordinasikan semua anggota yang berada di departemen masing-masing. Namun, yang sering muncul, ketika kasus mendera anggota, bakor tak pernah ada yang menjadi pendamping saat hendak menyelesaikan persoalan. Akibatnya, sering sekali persoalan diselesaikan secara pribadi oleh pengurus yang ada dalam struktur. " Padahal harusnya yang maju adalah pengurus secara kolektif. Karena suaranya yang semakin keras, suasana pun pelan- pelan berubah menjadi kaku, serius dan miskin senyum.

Tak berapa lama, kekakuan sepertinya mulai terbaca Yudi. Suasana mulai mencair saat ketua bertubuh tambun ini bertanya kepada peserta. " Siapa diantara anda yang memiliki handphone atau Televisi Panasonic?" Satu sama lain saling melongok. Tak ada yang bicara, tak juga tunjuk jari. Tak lama Yudi mengatakan kalau Eko Permadi dari Speaker Departement punya handphone Panasonic dari jaman butut yang sudah tak laku jual. " Saya tahu kalo bung Eko punya handphone Panasonic, tapi karena butut ya ndak mau ngaku." tandasnya sambil tersenyum sipu. Suatu realitas, dimana hidup dalam industri dengan basis kapital besar tak cukup mampu memberikan tingkat kesejahtraan bagi pekerjanya. Bahkan untuk memiliki barang yang menjadi produk perusahaan tempat bekerjanya tak mampu. " Beli TV merek kita punya, wah mimpi mungkin, terutama bagi kami yang sudah berumah tangga begini." celetuk salah satu peserta perempuan yang hadir disana. “Kenyataan ini harusnya membawa kita pada kesatuan, Dengan ini kita akan lebih kuat." tegas Yudi mengakhiri orasi singkatnya.

Semua masih saling bercanda, saling menceritakan nasib satu sama lain, melanjutkan celetukan tentang handphone butut Panasonic milik Sonson Hingga Benhard moderator, melanjutkan sesi berikutnya. Membicarakan nasib PUK PT. PED-Batam kedepan, dengan kekuatan yang masih tersisa. Tak banyak aling - aling, Benhard memberikan tiga opsi kepada seluruh peserta, pertama pembenahan dengan melengkapi susunan kepengurusan yang telah ditinggal oleh beberapa pengurusanya. Kedua, melakukan pemilihan ulang terhadap seluruh pengurus. Dan ini artinya adalah mempercepat musawarah unit kerja (Musnik) pemilihan pengurus. Dan yang terakhir, yaitu pilihan dramatis, bubarkan PUK PT. PED-Batam.

Opsi terakhir sudah terucap, respon langsung muncul dari peserta. Respon kasak kusuk. Mungkin tak satu pun mengira jika pengurus lama bakal menelorkan pilihan dramatis seperti itu. Misalnya, dari Speaker Departemen, menanggapi langsung. “Kita tidak bisa mengambil opsi yang demikian, karena biar bagaimana pun PUK merupakan wadah yang baik untuk menjamin hak- hak buruh.” Kata Rumi, perempuan yang sudah lebih 10 tahun mengabdi di PT. PED-Batam ini. “Cuma yang perlu dilakukan mari kita benahi, untuk itu kami pilih opsi pertama.” ajaknya dengan semangat.


Suara tanggapan pertama muncul, satu persatu dari wakil departemen lain pun dengan cepat mengambil giliran untuk mengungkapkan pandangannya. Namun, hampir semua utusan Departemen mengeluarkan suara senada, pembenahan dengan melengkapi kepengurusan.

Hanya satu, Inductave Departement sedikit berbeda. Andi, setelah melalui bisik-bisik dengan sesama anggota dari Inductive, akhirnya mengeluarkan suaranya. Regenerasi sekaligus penyegaran seluruh susunan pengurus menjadi alasan pemilihan opsi ini. “Biar bagaimana pun regenerasi dengan memasukkan anggota muda dan berenergi tinggi sangat penting dalam membangun mobilitas didalam PUK.” tandasnya.

Tak lama, tiba-tiba ada rombongan yang datang, bersama Henky. Tubuhnya tambun, gemuk, bajunya pun lain. “Sepertinya ini bukan dari PED-BT. “ Wah ..apa ada pembicara khusus, udah jam berapa ini?” tanya Ratna, peserta pertemuan ke teman disampingnya. Ntah merasa pening memikirkan langit yang makin gelap, atau perasaan senang atas kedatangan tamu. Suara berisik mulai bermunculan ditengah forum. “Ehmm, kita kedatangan saudara dari Panasonic Shikoku dan MKPI.” katanya mengheningkan suara. “Mereka datang untuk memberikan semangat kepada kita untuk tetap bersatu, membangun PUK.” lanjutnya. Tak panjang mereka bercerita tentang pengalaman lintas organisasi masing-masing. Ting tong ... Bunyi bel. Undangan yang lagi semangat berbicara, berhenti dan bertanya. “Bunyi apa itu?” ujar Agus, ketua PSECB yang baru terpilih menhentikan pembicaraan. “ Biasa, bel yang memerintahkan kalo kita sudah bisa makan, bagi shift second berbunyi, jam 6.30.” sahut Henky. “Sudah larut, kami cuma berharap kita dapat berjalan bersama membangun solidaritas yang lebih kuat demi kepentingan pekerja dan juga perusahaan tentunya.” Katanya sambil duduk.

“Untuk saat ini saya rasa cukup, minggu depan kita lanjutkan, untuk mengambil keputusan sesuai dengan ketiga opsi yang ditawarkan tadi.” sahut Benhard menutup pertemuan.


Seminggu sudah berlalu, tanggal 29 Juni 2007, jam yang sama dengan sebelumnya, peserta sudah berdatangan. Dan jumlahnya lebih banyak yang datang dari minggu lalu. Yudi membuka forum dengan wajah senyum bangga. “ Hari kita hadir dengan jumlah yang cukup banyak, mudah-mudahan ini pertanda baik.” paparnya.

“Minggu lalu, kita sudah mendengar pandangan dari setiap wakil departemen. Dan, dari semua itu, opsi yang kita pilih mayoritas adalah melalukan pembenahan dengan mengisi komposisi kepengurusan yang ada. “ Tapi tak menutup kemungkinan, juga ada semacam reposisi bagi pengurus yang ada didalamnya.” Tambah dia. “Sekarang saya buka dan persilahkan setiap departemen mengajukan calonnya.” Awalnya saling menunggu, hingga akhirnya Irfan menimpali. “Inilah kita, saat datang, semuanya diam. Dan tak ada yang bisa langsung unjuk diri siap menjadi pengurus.” Suasana hening begitu lama. Hingga akhirnya Henky angkat bicara. “Jika, seperti ini kenapa kita harus memilih opsi pertama, kenapa bukan yang ketiga, bubarkan saja!” tegasnya.

Mengurangi ketegangan, Benhard muncul dengan menawarkan solusi dengan memberikan waktu bagi departemen koordinasi singkat, untuk mengusulkan calonnya. Manjur, tak sampai 10 menit, semua departemen sudah mengusulkan calonnya. Satu persatu posisi lowong akhirnya terisi.

Menurut rencana secepatnya pengurus baru ini akan dilantik. Forum meminta pengurus baru secepatnya menyusun daftar pengurus ini. Untuk selanjutnya menyerahkan kepada Manajemen Panasonic Electronic Devices Batam. Lebih awal dari pertemuan pertama, jam baru menunjukkan pukul 18.00 WIB. Rapat telah selesai. Ditandai dengan kata penutup dari Ketua. “Sekarang kita sudah muncul dengan orang-orang baru, harapannya ini menjadi momentum munuju visi perjuangan yang kita harapkan.” Tutupnya (Pius Nainggolan)

Tulisan ini disarikan dari perjalanan menuju Muker PUK Panasonic Electronic Devices Batam, 2008, Politeknik Batam-Batam Center

11 Agustus, 2009

Kehidupan, Catatan penuh Refleksi?

Belum lama ini, aku membaca buku titipan permanen Ucok untukku. Wacana, buku jurnal terbitan Insist,
tematisnya tentang teori pembangunan. Sungguh tulisan Amrtya Sen menjadi sebuah inspirasi baru memandang
kekuatan kapital, setelah lima tahun melihatnya dari sudut kiri jembatan ambruk.


Kapital tidak selalu berarti kanan, dia juga memiliki kecendrungan untuk berada pada garis kiri, seperti tempatku kini. Saat itu teringat juga aku dengan kalimat Cak Nun, kalau saja ada kemauan maka orang paling mudah masuk surga adalah mereka yang paling kaya (kaum kapital). Tapi, sekaligus juga mereka menjadi orang yang paling
potensial menjadi penghuni neraka tingkat tujuh belas.


Sayang aku tak yakin mereka berfikir akan surga dan neraka.Dalam penelitian yang dilakukan Sen di beberapa negara miskin, temuannya negara kaya (memiliki potensi besar: alam) tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahtraan warganya. Sering justru terjadi sebaliknya. Ada beberapa negara yang jika dilihat dari potensi alamnya cukup besar, namun kehidupan rakyatnya sebagian besar berada dibawah garis kemiskinan. Indonesia merupakan contoh paling cocok dalam kaca mata kita.

Hampir semua elemen negeri ini sepakat, jika negerinya memiliki kekayaan alam dan budaya yang maha dahsyat. Koes plus mengatakannya dengan “ bukan lautan tapi kolam susu”, Mesy, melantunkannya: tanam salak tumbuh salak, tanam durian, tumbuh duarian,.... semua ada disini.” Sepertinya kamu pun pernah mendengarnya, bukan? Atau jangan – jangan lagu ini termasuk lagu favorit semasa kecilmu, Sonny boy.Tapi, sudahlah aku ingin kembali dengan cerita pahit mereka yang ada disini. Sorry, maksudku kami.

Sobat, kamu tentu pernah dengar dengan faham paling mutakhir yang satu ini. Faham ‘putus asa’ atau
‘prinsip ya sudah-lah!’. Sebulan yang lalu, saat ada teman - teman dari section Lima Kaki mengajak jalan-jalan ke pantai, ada seorang teman, Bexsky, belum lama bergabung ketempatku bekerja. Karyawan tempatku kerja sebagian besar operator, cewek, sebelumnya sudahj pernah kuberitahu, ingat? Saat perempuan-perempuan cantik itu sedang asyik bermain, Bexsky duduk diam sambil memandang jauh ke pantai.Belum terlalu kenal, saat duduk, dia menyapa. “Sepertinya mereka sangat menikmati hidupnya.” ucapnya.


Hidup penuh dengan tekanan saat bekerja mampu mereka tinggalkan saat waktu berkerja telah usai. Kerja ya
kerja, senang ya senang, dua situasi yang dapat mereka pisahkan dengan baik. Padahal, jika dibandingkan
dengan kemampuan hidup, kondisi mereka sangat rentan dengan tekanan. Jika sekarang masih bisa bekerja,
tiga bulan, setahun, atau dua tahun kedepan akan bekerja di mana? Uang akan datang dari mana?

Inilah yang muncul di pikiran saat mereka sedang menari dengan luwes diiringi hentakan suara ombak laut
lepas, Barelang.Tak lama, lama kulontarkan pertanyaan. Saat seperti ini, dengan alam pikiran penuh gejolak semacam itu. “Apa yang harusnya dilakukan?” Dia lama terdiam, sepertinya menanggapi pertanyaan ini dengan serius.

Serius entah kenapa, belum jelas. Sebab ini hanya obrolan pinggir pantai yang tak terekam oleh apapun,
dan tanpa kekuatan apapun.Sebenarnya situasi ini bukanlah pemandangan baru. “Ini hanyalah bentuk lain namun sama dari sekian banyak bayangan akibat pantulan dari sebuah lensa kolonialisme yang sedang berdiri kokoh.” ungkapnya. Ada bayangan kolonialisme yang tampil vulgar, seperti penjajahan jaman dulu. Kini bayangan itu muncul sangat halus dengan wujud yang berbeda. Ada lewat perang militer, ada lewat sanksi ekonomi, ada yang lewat pendidikan, hiburan. Sungguh, bayangan lensa itu menjadi bermacam-macam.

Tapi, yang jelas bayangan itu cuma memberikan satu makna, penderitaan.Jawaban yang sungguh tak kuduga. Tak kusangka akan sejauh itu. Setelah semua ini, Sonny Boy aku ingin sekedar bertukar pikiran. Jika dalam suasana sudah begitu rumit seperti sekarang ini, apa yang seharusnya menjadi jalan keluar. Tentunya aku hanya minta tolong, jangan sarankan untuk memberontak secara frontal, dan massif. Sama seperti cara mengusir penjajah tempo doeloe. Aku tunggu jawabanmu sobat. Sorry, jika semua ini mengganggumu, memaksamu untuk berfikir. Kukatakan ini semua karena kuingat tulisan dibaju hitammu, Cogito Ergo Sum. Semoga kita semua ada karena kita berfikir. (PIUS: Catatan: manusia dengan manusia)

Tulisan ini dalam rangka mengisi Newsletter BuburSore Edisi EDISI/BS/VI/OKT/2007: SPMI Panasonic Electronic Devices Batam

Membuka Ruang Potensi Tobasa

Kabupaten Toba Samosir (TOBASA) telah terbentuk. Memang banyak yang pesimistis atas terbentuknya kabupaten termuda di Sumatra Utara ini. Dengan berbagai alasan, misalnmya saja pengamat ekonomi Pande Raja Silalahi salah satunya. Berpendapat bahwa pemekaran ini tidak akan memberikan perubahan yang signifikan, bahkan cendrung akan mempersulit pembangunan di Tobasa, argumennya pun tidak jauh dari kebiasaan yang ada dalam birokrasi. Semakin banyak pemborosan, menggaji perangkat pemerintah. Sebuah pemikirang yang beralasan memang, bila melihat kecendrungan birokrasi yang ada, telah membudaya dalam masyarakat Indonesia.

Tetapi sebuah keputusan telah diambil, saatnya sekarang untuk berbenah dan mencari cara agar rasa pesimitis menjadi optimistis.Sehingga dasar pembentukan kabupaten baru ini Kabupaten Toba Samosir yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor: 12 tahun 1998, inipun memiliki sumber daya alam yang sangat baik untuk dikembangkan.


Mulai dari keindahan alamnya. Danau Toba dengan kepulawan didadalamnya sudah bukan merupakan rahasia umum lagi, merupakan sebuah fenomena alam yang sangat menakjubkan. Sayangnya sampai sekarang pemandangan alam inipun hanya tinggal sebuah potensi, namun belum dipotensialkan. Padahal bukan sebuah harampan yang eutopis (mengada ada) jika suatu saat Tobasa menjadi Balinya Sumatra.

Sealin itu, letaknya yang tepat berada di daerah tropis, 2 0 06’ – 2 0 45’ Lintang Utara dan 980 21’ – 99 010’ Bujur Timur, dan ketinggian 300 - 1.500 meter di atas permukaan laut. Sehingga tidaklah mengherankan jika curah hujannya mencapai 1.876 mm dengan 164 hari hujan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan curah hujan 360 mm dengan 22 hari hujan, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli dengan curah hujan 20 mm dan 4 hari hujan. Sudah cukup membuatnya menjadi daerah yang cukup baik untuk bercocok tanam.

Belum lagi, tempatnya yang terletak sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Simalungun, sebelah Timur dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Dairi. Sehingga membuatnya menjadi daerah pengaman bagi kabupaten lainnya karena wilayah ini merupakan hulu berbagai sungai yang mengalir ke Wilayah Timur Sumatera Utara.

Karena Toba Samosir berada dijajaran pegunungan Bukit Barisan dengan topografi dan kontur tanah yang beraneka ragam, yaitu datar, berbukit, bergelombang, dan terjal. Ini sudah cukup membuatnya menjadi kawasan potensi, namun tentu bagaimana mempotensialkannya. Dan menjadi tugas sumberdaya manusianya untuk mengolah sehingga potensial.

Jumlah penduduknya yang mencapai 304.015 jiwa dan tersebar dengan tingkat kepadatan 88,35 jiwa per kilometer persegi, terus bertumbuh sekitar 0,51 persen pertahun. Melihat jumlah penduduk yang dimiliki ini, memang akan semakin menambah rasa optimistis, tentang masa depan kabupaten ini.

Namun berangkat dari pembangunan bangsa selama ini. memang tidak cukup menjamin kesejahtraan masyarakatnya. Walaupun memiliki potensi yang cukup berlimpah, misalnya saja Indonesi yang kaya akan sumberdaya alamnya tetap meninggalkan penderitaan bagi bangsanya. Sehingga muncul pemikiran bagaimana membuat Tobasa berbeda dengan Indonesia dari prespektif pembangunannya.

Belajar dari perjalanan bangsa, yang sering tertinggalkan adalah pembangunan yang berorientasikan kerakyatan. Tidak perlu untuk memungkiri masyarakat Tobasa memiliki kemampuan hakiki yang dimilikinya secara turun temurun. Mulai dari pola kebudayaan hingga kerajinan dan pola pikirnya. Memang perjalanan hidup selama ini, dapat saja membuat setiap elemen yang berkepentingan bagi pembangunan kabupaten ini untuk menakar ulang akan kemampuan hakiki (indegenous knowledge) yang dimiliki masyarakatnya.

Sehingga ada perubahan atas kemampuan itu, sudah tentu harus merancang strategi baru dalam pembangunannya. Salah satunya adalah melalui perbaikan institusi pendidikan. Sejarah sudah membuktikan bahwa lahirnya negara ataupun kabupaten ini atas prakarsa kaum intelektual. Atas dasar pemikiran yang dimilikinya.

Dan sayangnya, keruntuhan akan bagunannya pun atas perilaku kaum intelektual pula. Setidaknya dapat ditarik garis lurus bahwa kaum intelektual menjadi pondasi yang menentukan arah pembangunan potensinya. Sehingga strategi yang sama, untuk membangun potensi kabupaten Tobasa sebaiknya jika dimulai dengan membangun kualitas sumberdaya manusianya (SDM).

Masalahnya untuk menghasilkan kaum ini masyarakat sekarang bergantung pada yang namanya Institusi pendidikan. Sementara institusi ini memiliki banyak kelemahan dalam polanya. Mulai dari pemakaian kurikulum yang tidak melandaskan atas realitas masyarakatnya. Misalnya saja, Tobasa memiliki potensi akan parawisatanya, tetapi sangatlah jarang ditemukan pendidikan yang mampu membentuk manusia pengelola daerah prawisata.

Contoh lainnya, daerah sekitar pula Samosir hampi tiap tahun mengalami kekeringan yang berbuntut pada kegagalan panen, padahal daerah ini dikelilingi oleh danau berkelimpahan air. Sementara Israel dapat menanam syuran di daerah gurun pasir.

Sebuah potret yang sangat aneh tapi nyata ditengah marak! nya lembaga pendidikan yang menawarkan program teknologi. Tapi untuk mengatasi pemindahan air dari danau yang berjarak ratusan meter pun menjadi tantangan yang sangat sulit. Seperti yang dirasakan masyarakat di sekitar daerah desa Parsaoran I, Pardugul, Sriaon sampai Simanindo kerap kali mengalami kekeringan ketika musim datangnya hujan tak menentu.Pertanyaannya kegagalan siapakah ini. Kegagalan kita semua masyarakat Tobasa.

Tetapi setidaknya Institusi pendidikan dapat menjadi ujung tombak paling depan untuk membangun kembali daerah ini. Tentunya dengan mengembangkan program kurikulum yang dekat dengan kebutuhan masyarakat sumatra utara dan Tobasa Khusunya. Aplagi dalam era otonomi, baik daerah maupun kampus yangsedang digulirkan. Dimana daerah diberi peluang untuk mengembangkan potensi daerahnya untuk amunisi pembangunan daerah yang bersangkutan.

Nah disini peran dunia pendidikan semakin tertantang, biarbagaimanapun seharusnya intitusi pendidikan setempat akan lebih tahu tantangan pembangunan wilayah dia berada. Sehingga kepentingan program yang dibawakan pun harus sesuai dengan realitas dan tantangan daerah tersebut. Diharapkan dengan terbagunnya institusi pendidikan yang berbasiskan realitas masyarakat ini akan turut membantu pembangunan daerah Tobasa. Memang persoalanya bukanlah segampang membalikkan telapak tangan.

Untuk itu dibutuhkan kesadaran semua elemen masyarakat. Mulai dari masyarakat biasa sampai pada penguasa. Dapat dimualai dengan membangu kesadaran indivdu dalam masyarakat. Selanjutnya diharapkan akan tercipta kesadaran kolektif. Yang nantinya dapat menjadi podasi pemanfaatan potensi yang dimiliki.

Tulisan ini dibuat saat masih sekolah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dalam rangka menanggapi pembentukan Kabupaten TO BASA, ke harian WASPADA Medan, Saturday, March 01, 2003 6:40 PM