22 Agustus, 2009

“Cogito Ergo Sum”

Salam sobat, hari ini aku pulang jam 7.00 WIB. Over time, ada pekerjaan baru dari bos. Jam dua kurang lima menit meneger memanggil. “ Tolong kamu kasih data stock di Singapura untuk KPT, kapan harus keluar ke Customer?, lengkap dengan winding spec untuk semua modelnya!” perintahnya. Tak lama setelah perintah turun, bunyi bel pertanda istirahat pukul dua sudah saatnya. Pikir-pikir sejenak. “Langsung dikerjakan? Merokok? Atau langsung dikerjakan?, Merokok!” otakku ternayata lebih memilih kebiasaan sesat itu. Ntahlah, sepertinya asap rokok pelan-pelan telah menyatu dengan sarafku. Tapi kini yang menggembirakan, rokokku udah berubah friend. Sekarang, Djarum 76 yang penuh sesak seperti katamu dulu kini telah kuganti dengan yang lebih soft, U Mild. Walaupun kata dokter itu sama, tapi kata paru-paruku itu lebih ringan. Sorry, boy aku tidak sedang mengiklankan sesuatu. Walaupun dalam keseharian, aku telah menjadi pengiklannya yang paling baik. Membawa bungkusan itu setiap hari, mendaptkannya pun lewat kepingan uang rupiah. Sorry, ini serius. Aku tahu kamu sangat tidak suka dengan kebiasaan buruk ini.

Lima belas menit, sebatang rokok telah habis terbakar. Kerjaan saatnya kerja kembali, membuatkan laporan sesuai dengan harapan bos. Ternyata satu jam tak sampai kerjaan itu telah selesai. Tapi ya sudahlah, semua itu kukatakan hanya sekedar katabalece saja. Soalnya, aku takut memulai langsung pada intinya. Seperti biasa, rasa ngantuk selalu terlihat di matamu saat ceritaku sudah pada soal yang satu ini.
Setahun lebih sudah aku bekerja pada perusaan ini. Tapi, sayang aku tak melihat sedikitpun jiwaku bisa menyatu dengannya. Bahkan tubuhku pun seperti berada pada awang langit minus dua. Gila, saat – saat dimana jiwa dan tubh bersama berontak terhadap tanah yang sama, rumah yang sama.

Aku teringat dua minggu lalu. Aku duduk di area smoking bersama dengan seorang teman, Tido. Dia tiga tahun lebih lama bekerja dibandingkan denganku. Dengar-dengar dia termasuk orang yang mendapat promosi paling cepat dalam soal jabatan. Tapi apa yang dia katakan. Malas, jenuh, dan segala macam jenis keluh – kesahnya. “Aku mungkin bukan apa – apa pak, tapi yang paling parah adalah mereka yang jadi operator itu. Apalagi yang perempuan.” cetusnya halus. Satu demi satu cerita selama pengalamannya pun muncul. Sorry teman, cerita ini terjadi pukul 4.15 WIB saat menunggu orang yang lagi puch card habis dari antrian panjang yang sungguh menggerahkan.

Tak lama ada seorang teman kerja yang datang, Nino senior operator, maintenance. Cuma lima menit dia ikut mendengar, sudah langsung angkat bicara. Sempat heran juga, karena jarang manusia disini mau terlibat dalam sebuah diskusi serius macam ini. Rupanya dia tertarik karena ada pengalaman pahit dalam hidupnya sesuai dengan tema diskusi bawah kipas itu.

Satu tahun lalu, Lini istriku PQE dari line 4FXDT melahirkan. Sungguh penuh dengan cobaan, Lini harus melaluinya dengan operasi cesar. Saat kalimat operasi keluar dari mulut sang dokter, Lini sudah berfikir tentang lembaran uang yang harus keluar. “Sembilan juta adalah harga yang paling minim untuk menjalani operasi cesar itu pak!” tandasnya. Sungguh pilihan sulit yang ditawarkan si dokter.

“Uang!” Dia tak punya uang sebanyak 9 juta rupiah pak.” cetusnya.
Tak ada ampun, tidak untuk negosiasi. Ada uang ada anak! “Kalo tak ada uang, anak ditahan! Itulah kalimat yang dilontarkan suster bagian administrasi.” Tandasnya dengan suara agak menurun. Tak banyak pikir tak banyak pertimbangan. Tak memungkinkan pula untuk tawar-menawar. “Jika cesar merupakan sebuah pilihan dari alternatif melahirkan normal, pasti Lini akan memilih normal.” keluhnya. “Namun, Cesar bagi kita yang hidup dengan seadanya, tentu bukanlah pilahan tapi keterpaksaan.” tambahnya.


Tak lain dan tak bukan, jawabannya hanya satu ya untuk cesar. “Malam itu juga, pukul 8.00 WIB, kesepakatan mampu bayar dengan nilai total Rp 9 juta terpaksa kutandatangani. Tak ada pilihan yang mudah, semuanya sulit” cetusnya dengan suara melemah. Untung seribu untung, operasi berjalan lancar. Bayiku lahir dengan selamat, juga Lini istriku yang terkasih. Sungguh sulit terbayangkan jika, yang terjadi sebaliknya. Aku teriak begitu keras, jauh lebih keras dari teriakan tangis bayiku, semua melihat kearahku. Ntahlah mereka pikir aku ini apa. Gila? Tapi biar saja, sekarang aku sudah jadi bapak!

Semua kulupakan begitu saja, semua hilang. Yang ada dalam pikiran hanya wajah keringat istriku tersayang, dan kulit halus bayiku yang tidur nyeyak. Sampai-sampai aku tertidur pulas diatas kursi kayu disamping Lina.

Bunyi pintu pagi itu akhirnya menyadarkaku kembali. Membalikkan bola mataku. Dinding yang semalam berwarna putih bersih mengkilat, kini mulai terlihat buram dengan bintik - bintik kuning. Saat itu juga baru terasa ruangan ini hanya kelas tiga rumah sakit pemerintah. Panas sudah mulai datang.

“Selamat pagi pak Nino, saya mau memeriksa tensi ibu.” pintanya.
Tak begitu lama, semua urusan suster selesai. Tapi yang tak kuduga, kedatangannya ternyata membawa kabar lain.
“Sebelum jam sembilan, tolong membereskan segala persayaratan administrasinya ya pak.” kata suster sebelum meninggalkan ruangan.

Kamar itu tak lagi kabur, kini sudah mendekati gelap. Putar otak, cari uang, karena sekarang uang yang ada dikantong adanya baru Rp 5 juta. Itu pun sudah bongkar semua tabungan. Tanya kiri tanya kanan, mana tahu ada tetangga, teman kerja, mana tau punya uang simpanan. Lebih dari seminggu anak itu harus tinggal di rumah sakit kelas tiga tanpa orang tua.

***

Cerita ini bukan fiksi teman, ini kenyataan. Realitas orang kecil yang hidup di dunia industri yang maha dahsayat. Dahsyat dengan gelimpangan uang yang sedang bergerak didalamnya. Ratusan juta, bahkan miliaran dihasilkan dari sana setiap harinya. Tapi lihat sisi lainnya, bahkan untuk melahirkan seorang anak pun sangat sulit bagi sebagian orang kecil yang hidup didalamnya. Uang itu memang milik mereka yang punya segundak uang alias kaum kapital, namun yang memutarnya adalah energi manusia kecil yang ada didalamnya. Aku tahu kamu akan berkilah, sobat. Itulah kekuatan kapital!

Aku tahu akan arti pentingnya kapital. Tapi, aku juga ingat diskusi bawah pohon persis di depan Persma dulu. Kapital, tentunya tidaklah selalu sama dengan kapitalisme. Kekuatan arus modal tidak melulu harus diarahakan pada faham yang bersifat kapitalis, bukan?

Belum lama ini, aku membaca buku titipan permanen Ucok untukku. Wacana, buku jurnal terbitan Insist, tematisnya tentang teori pembangunan. Sungguh tulisan Amrtya Sen menjadi sebuah inspirasi baru memandang kekuatan kapital, setelah lima tahun melihatnya dari sudut kiri jembatan ambruk. Kapital tidak selalu berarti kanan, dia juga memiliki kecendrungan untuk berada pada garis kiri, seperti tempatku kini. Saat itu teringat juga aku dengan kalimat Cak Nun, kalau ada kemauan maka orang paling mudah masuk surga adalah mereka yang paling kaya (kaum kapital). Tapi, sekaligus juga mereka menjadi orang yang paling potensial menjadi penghuni neraka tingkat tujuh belas.

Dalam penelitian yang dilakukan Sen di beberapa negara miskin, temuanya negara kaya (memiliki potensi besar: alam) tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahtraan warganya. Sering justru terjadi sebaliknya. Ada beberapa negara yang jika dilihat dari potensi alamnya cukup besar, namun kehidupan rakyatnya sebagian besar berada dibawah garis kemiskinan. Indonesia merupakan contoh paling cocok dalam kaca mata kita. Hampir semua elemen negeri ini sepakat, jika negerinya memiliki kekayaan alam dan budaya yang maha dahsyat. Koes plus mengatakannya dengan “ bukan lautan tapi kolam susu”, Mesy, melantunkannya: tanam salak tumbuh salak, tanam durian tumbuh duarian,.... semua ada disini.” Sepertinya kamu pun pernah mendengarnya, bukan? Atau jangan – jangan lagu ini termasuk lagu favorit semasa kecilmu, Sonny boy.

Tapi, sudahlah aku ingin kembali dengan cerita pahit mereka yang ada disini. Sorry, maksudku kami. Sobat, kamu tentu pernah dengar dengan faham paling mutakhir yang satu ini. Faham ‘putus asa’ atau ‘prinsip ya sudah-lah!’.

Sebulan yang lalu, saat ada teman - teman dari section Lima Kaki mengajak jalan-jalan ke pantai, ada seorang teman, Bexsky, belum lama bergabung ketempatku bekerja. Karyawan tempatku kerja sebagian besar operator, cewek, sebelumnya sudahj pernah kuberitahu, ingat? Saat perempuan-perempuan cantik itu sedang asyik bermain, Bersky duduk diam sambil memandang jauh ke pantai. Belum terlalu kenal, saat duduk, dia menyapa. “Sepertinya mereka sangat menikmati hidupnya.” ucapnya. Hidup penuh dengan tekanan saat bekerja mampu mereka tinggalkan saat waktu berkerja telah usai. Kerja ya kerja, senang ya senang, dua situasi yang dapat mereka pisahkan dengan baik. Padahal, jika dibandingkan dengan kemampuan hidup, kondisi mereka sangat rentan dengan tekanan. Jika sekarang masih bisa bekerja, tiga bulan, setahun, atau dua tahun kedepan akan bekrja di mana? Uang akan datang dari mana? Inilah yang muncul di pikiran saat mereka sedang menari dengan luwes diiringi hentakan suara ombak laut lepas, Barelang.

Tak lama, lama kulontarkan pertanyaan. Saat seperti ini, dengan alam pikiran penuh gejolak semacam itu. “Apa yang harusnya dilakukan?” Dia lama terdiam, sepertinya menanggapi pertanyaan ini dengan serius. Serius entah kenapa, belum jelas. Sebab ini hanya obrolan pinggir pantai yang tak terekam oleh apapun, dan tanpa kekuatan apapun.

Sebenarnya situasi ini bukanlah pemandangan baru. “Ini hanyalah bentuk lain namun sama dari sekian banyak bayangan akibat pantulan dari sebuah lensa kolonialisme yang sedang beridri kokoh.” ungkapnya. Ada bayangan kolonialisme yang tampil vulgar, seperti penjajahan jaman dulu. Kini bayangan itu muncul sangat halus dengan wujud yang berbeda. Ada lewat perang militer, ada lewat sanksi ekonomi, ada yang lewat pendidikan, hiburan. Sungguh, banyangan lensa itu menjadi bermacam-macam. Tapi, yang jelas bayangan itu cuma memberikan satu makna, penderitaan.

Jawaban yang sungguh tak kuduga. Tak kusangka akan sejauh itu. Setelah semua ini, Sonny Boy aku ingin sekedar bertukar pikiran. Jika dalam suasana sudah begitu rumit seperti sekarang ini, apa yang seharusnya menjadi jalan keluar. Tentunya aku hanya minta tolong, jangan sarankan untuk memberontak secara frontal, dan massif. Sama seperti cara mengusir penjajah tempo duloe. Aku tunggu jawabanmu sobat. Sorry, jika semua ini mengganggumu, memaksamu untuk berfikir. Kukatakan ini semua karena kuingat tulisan dibaju hitammu, Cogito Ergo Sum. (Sebuah Catatan: manusia dengan manusia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!