22 Agustus, 2009

Sonny Boy, Man for the Poor?,Please women for who

Sobat, hari ini berita duka datang menyapa. Setelah dua bulan lalu, kabar duka ini menghampiri keluargaku, kini dia pun kembali mendatangi keluarga seorang teman, Minggu lalu, (15/07/07) ayahanda Ima, teman satu rekrut dari Jogja, dipanggil menghadap Ilahi. Kematian memang selalu datang seperti kibasan angin. Baru dua bulan lalu, sang ayah datang melihat kondisi Ima, sekalian untuk berlibur. Dua minggu mereka manfaatkan untuk berpuas kegembiraan, mengunjungi negeri Singa hingga Kuala Lumpur. Kegembiraan, sebuah kenangan yang akhirnya ditutup dengan kabar tak terduga. Serangan jantung telah membuatnya tak kuat bertahan, kematian.
Bukan sebuah duka yang ingin kubagi Sonny Boy. Saat suara kematian berdenting di telinga, sungguh hanya satu yang menyelusuri seluruh urat - urat saraf, refleksi. Sebuah perenungan tentang hidup, bagaimana seharusnya manusia hidup, saat kematian telah menjadi kepastian. Ntahlah, kamu pernah merasakan bisikan itu, bisikan sebuah lagu dengan nada-nada mengerikan. Sonny Boy, bisikan itu sebelumnya telah menyapa Bapakku, suara itu membisikkan sebuah kalimat. “ Minggu 13 May 2007, saat mentari dipuncak langit, sang Ilahi ingin bertemu dan berjamu anggur mulia.” bisik malaikat pejemput nyawa diiringi hentakan nada surgawi. Tak ada yang tau, giliran bisikan itu akan datang kapan ketelinga siapa pun yang masih menghembuskan napas kehidupan, sobat. Bagaimana denganmu Sonny Boy, sudah siap dengan bisikan surgawi?
Sorry, bukan maksud mengajakmu memasuki ruang-ruang teologi, sobat. Sungguh mengerti akan pendapatmu jika menyinggung ranah itu. Karena aku selalu ingat dengan kalimatmu itu. “Jika semuanya harus melewati jalur filsafat yang satu itu, marilah kita mengucapkan kata amin.” Memang, tapi biar bagaimana pun, itu adalah sebuah pengharapan, bukan sesuatu akhir, tapi jalan menemukan jutaan alternatif akan hidup. Untuk itu aku tak mau mengatakan amin. Gimana Sonny Boy, tak masalah bukan?
Cerita lamamu saat dibawah pohon mangga di depan Pusgiwa, saat-saat api heroik masih membakar dadamu. Sebuah mimpi akan negeri indah, damai dan sejahtera. Saat dimana, kepalamu tak hentinya setiap hari menjejali sejuta pertanyaan tentang penderitaan. Sungguh saat yang menyenangkan kala mentari sudah makin mendekat ke tepian barat. Secangkir kopi dengan bungkusan rokok kretek telah terletak diatas meja kayu bundar. Cerita, diskusi panjang menjadi begitu menarik. Tema semakin tak terbatas, bahkan tawa pun tak jarang mengiringi. Sungguh saat yang indah. Walaupun tak jarang suara kerasmu memekik bak ayam jantan, tiba-tiba mengeluarkan nada protes. Dasar Sonny Boy!!. Kepalamu memang selalu ingin berdiskusi, berdebat tentang kemelaratan.
Saat ini, sudah hampir satu setengah tahun lebih, suasana bawah pohon menghilang sobat. Disini tak ada perbincangan yang menarik, tak ada lagi kopi yang diaduk dengan indahnya diskusi. Kopi hanyalah obat penjaga mata menanti jam menunjuk pukul 10 .00 malam. Sorry, tolong jangan keluarkan kalimat saktimu itu. Aku tahu, kalau jam segitu bencong belum tidur. Mungkin karena itu, karena aku bukan bencong makanya tidur jam segitu. Haa.. aku ingat sedikit dengan orang – orang tua itu. Ketika mereka dengan bangga menamai komunitasnya dengan komunitas banci! Gila, dasar orang tua tak tau diri, udah lulus begitu lama, tapi juga masih tak tahu malu menamai komunitasnya dengan sebutan itu. Memang kata mereka itu bentuk resistensi. Sayang kami disini tak memiliki keberanian itu. Sayang!
Resistensi sobat! Diskusi, meluangkan waktu disaat yang lain sibuk dengan musik pop, cerita sinetron, romantisme film, berduaan atau apapun itu. Menurutku juga bagian dari resistensi itu. Resistensi, upaya mempertahankan diri dari lingkungan yang cendrung keluar dari jalur yang diinginkan. Disaat dunia menawarkan segala hal dengan kemungkinannya, maka manusia juga dituntut untuk memilah segala kemungkinan tersebut. Ada dengan jalan menghidarinya secara frontal, berlari keluar batas lingkaran. Sebagian ada yang tetap berada didalam lingkaran dan berusaha kuat untuk tetap mengasah identitasnya. Ada yang memang bertarung didalam lingkaran itu, berusaha mengubahnya.
Aku teringat dengan film, Gie Sonny Boy. Saat rezim orde lama hampir tumbang oleh penderitaan rakyat. Beberapa kekuatan muda yang berjuang didalamnya diberi pilihan yang sama. Berada diluar lingkaran kekuasaan, bak Ho Gie. Atau masuk dalam lingkaran seperti Akbar Tanjung. Keduanya adalah pilihan. Ahh, memang benar katamu hidup memang pilihan, sobat. Tetapi pilihan juga menuntut konsistensi sobat, sepakat? Aku yakin kamu akan sepakat, karena pilihanmu membusuk di bangku tanah Jogja ditepian kali Code sudah jadi kenyataan yang berbunyi. Salut, sekaligus miris buatmu. Walaupun demikian tak ada yang memaksamu, memang itulah pilihan.
Sekarang setelah lebih dari setahun tinggal di Batam. Moga pikiran dan anganmu tak membayangkan gedung megah dengan luncuran air mancur. Batam, tak lebih maju dari Medan sobat. Bahkan Semarang kotanya si Ucok manusia batak logat jawa pun masih jauh lebih maju dan megah dari kota ini. Megah, tidak hanya dalam konteks fisik, tapi juga rohnya. Bagiku, kota ini hampir mirip dengan bangunan – bangunan mati. Mati, oleh manusia yang memang hanya dikondisikan untuk bergerak bak roda pedati, yang mati itu. Akses apapun sangat sulit, sulit bukan karena tak ada. Sulit karena memang semuanya diukur dengan uang.
Evander, teman kuliah dulu di kota Gudeg. Mungkin kamu tak kenal dengannya. Manusia yang terlihat cool, namun pikirannya ternyata penuh gejolak, pemberontak. Dunia kerja baginya bukan kali pertama dalam hidupnya. “Kalo tahu kayak gini saya tak mau ke Batam. Apaan ini!” tandasnya dengan logat Batak. Sebuah perlawanan, gejolak, sayang semua hanya ada dalam alam pikir dan bibir. Cukup besar harapan, teman - teman dengan dasar pendidikan yang lumayan. Sorry aku menyebutnya demikian, karena demikianlah kami diperlakukan disini, sobat. Sonny Boy, dulu kita sering menyebutnya dengan kaum intelektuil, terpelajar. Bahkan dalam sebuah tema khusus diskusi alam sadar, dengan satu teko teh kampung, intelektuil menjadi ulasan panjang.
Intelektuil, selain kemampuan dasar formalistik pendidikan yang melekat, juga memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungannya. Intelektuil, juga dapat difahami sebagai kaum yang memiliki kemapuan untuk mempertimbangkan baik –buruk, dan menjadi motor perubahan untuk mencapai kesejahtraan, keadilan bagi lingkungannya. Dan, masyarakat memandang mahasiswa, alumninya masuk dalam golongan ini. Sebenarnya, tak perlu diperdebatkan, karena sejalan dengan tri dharma perguruan tinggi, dimana manusia itu bermetafora.
Sorry aku teringat dengan sentilan kecil si Wiwit Black saat minum tempura Pakualaman, saat melihat gemerlapnya lampu, dan ramainya meja billyard di seberang pintu masuk itu. “ Man for the poor, women for me, peta inteletual sudah lebih mendekat pada yang kedua.”
Di Batam ini Sonny Boy, hanya sedikit manusia yang merupakan keluaran tembok tembok penjara pendidikan tinggi. Walaupun hanya sedikit, sayangnya penjara perguruan tinggi ternyata tak cukup kuat merubahnya menjadi manusia edan, manusia gila. Edan akan perubahan, gila akan penindasan. Semuanya, ikut sobat. Ikut dengan seperti alur air sungai Asahan yang tak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya untuk menghidupkan turbin PLTA Siguragura. Ntahlah hidup yang mereka berikan untuk apa. Kata mereka itu demi ke-pasti-an. Tapi, sorry, bagiku itu hanya “mimpi kepastian”. Bagaimana denganmu, Sonny Boy?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!