30 September, 2009

Sekilas Deskripsi Berita Kompas dan Majalah Tempo Bulan Juli 2005

Seperti biasa, nias kembali melakukan kliping berita tentang lingkungan terhadap Koran Kompas dan Tempo. Pada kliping kali ini dilakukan lebih spesifik, dengan membagi berita menjadi delapan wilayah. Mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku, Nusatenggra, dan terakhir Papua. Selain pembagian yang didasarkan wilayah, kliping kali ini juga dibagi atas tiga bagian, pertama adalah isu bersifat lokal, kedua berita dengan isu lokal namun implikasi kebijakan nasional. Ketiga adalah berita yang berhubungan dengan lingkungan yang bersifat nasional.

Namun dalam kliping kali ini yang akan coba dideskripsikan adalah berita yang masuk dalam kategori pertama, isu yang bersifat lokal. Dari seluruh berita yang dikliping mencakup berbagai macam tema, mulai dari infrastruktur, kerusakan jembatan sampai pada kelangkaan BBM.

Dari hasil pembacaan sekilas yang dilakukan terhadap seluruh berita yang dimuat oleh kedua media tersebut, dapat dilihat bahwa Sumatra menempati proporsi paling besar. Kecuali beberapa wilayah diatas, Papua dan Maluku, tidak masuk dalam pemberitaan Tempo. Terutama Kompas, sebaran yang menempatkan Sumatra sebagai lahan pemberitaan sangat jauh lebih besar dibanding dengan wilayah lainnya. Mengikuti Sumatra, wilayah kedua yang mendapat porsi terbesar adalah Kalimantan, menyusul Papua ( Kompas), Sulawesi, Nusatenggara, Maluku dn terakhir pulau Bali.

Sementara jika dilihat dari proporsi tema yang dimuat dalam pemberitaan tersebut. Kompas secara keseluruhan memuat berbagai tema yang beragam, dalam suatu wilayah, walaupun tetap memiliki tema yang dominan. Sementara Tempo, secara umum dapat dikatakan menuangkan tema yang hampir sama, yaitu pencemaran lingkungan.

Tema yang dimuat dalam pemberitaan Kompas wilayah Sumatra, menempatkan masalah infrastruktur pada top rangking pemberitaan. Isinya sebagian besar tentang kerusakan jalan, jembatan maupun polemik tentang pembangunaannya, dan satu berita tentang pembukaan kebali sebuah jalan. Peringkat kedua tentang muatan beritanya adalah tentang pertanian. Isinya berkisar tentang kemalangan petani akibat harga yang semakin turun, pembakaran lahan, irigasi dan kemiskinan yang dialami warga sebagai akibatnya.

Selanjutnya disusul dengan pemberitaan perompakan maupun penyeludupan, mulai dari CPO hingga kayu. Berikutnya tentang kesehatan, mulai Flu burung dan kematian bayi akibat kelahiran yang terlalu dini, dan pada akhirnya berujung pada ketidakmampuan ekonomi warga. Setelah itu baru masuk pada isu kerusakan lingkungan, berupa pencemaran, potensi pertambangan yang semakin menurun hingga Ladang Ganja Ditemukan Aceh). Dan terakhir adalah berita tentang Kelangkaan BBM (Palembang), Gangguan Trafo (Palembang), Perburuan Liar Gajah (Lampung).

Sementara Tempo untuk wilayah Sumatra mengulas tentang supplay Energi yang semakin menipis, di Aceh, pengerukan Tambang di Bangka, serta kebakaran hutan di Sumatra.
Untuk Wilayah Kalimantan Kompas menempatkan kerusakan hutan sebagai pemberitaan yang paling sering muncul. Kerusakan ini akibat penebangan liar, kebakaran hutan maupun maraknya penyeludupan kayu. Dan satu diantaranya membahas tentang perlunya lapangan kerja sebagai usaha pengurangan penebagan ilegal oleh masayarakat. Isu kedua yang mucul adalah tentang kesehatan, Flu burung dan rabies. Flu burung berisi tentang kekurangan vaksin diwilayah tersebut. Selanjutnya berisi tentang kerusakan jalan, perompak minyak sawit, kematian penyu akibat jaring nelayan di Kalimantan Timur. Untuk Tempo wilayah Kalimantan memuat sebuah berita tentang pencemaran laut akibat tumpahan minyak.

Papuan dalam ulasan kompas sebagian besar memuat tentang peristiwa yang tenggelamnya kapal Digoel. Isinya mulai dari penyebab, korban, tersangka hingga evakuasi.Mengikuti kecelakaan Digoel, isu selanjutnya adalah tentang potensi kekayaan emas Papua, khususnya wilayah Siriwo, selanjutnya adalah masalah hutan, satwa, dan kesehatan memiliki proporsi yang sama.

Sulawesi dalam pemberitaan Kompas menyajika beritanya dengan menyebar. Temanya mulai dari rencana pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit (Sultengg). Perbatasan, yang berisi tentang minimnya perhatian pemerintah, Kepanikan warga akibat gempa di Sulut, tentang Gunung yang bertambah tinggi akibat letusan. Terakhir adalah tentang relokasi buyat yang tidak manusiawi. Sementara Tempo menempatkan tentang kasus Buyat menjadi satu satunya isu Sulawesi

Nusatenggara dalam Kompas memuat tentang busung lapar, keracunan setelah memakan ikan laut, dan satu lagi tentang perpajakan, ketidakadilan yang dialami oleh pedagang mutiara. Sementara Tempo menyoroti tentang trumbu karang, dalam usaha perbaikan alam bawah laut Komodo.

Dua wilayah dengan proporsi paling sedikit dalam pemberitaan media tersebut adalah Bali dan Maluku. Untuk Maluku, Kompas hanya menempatkan tiga berita. Isinya tentang perdagangan ilegal satwa Nuri, Saluran air yang rusak, dan kesulitan yang dialami pengerajin akibat kelangkaan bahan baku. Bali, tempo memuat tentang pencemaran logam berat di pantai Kuta, yang ditakutkan akan mengancam industri pariwisata. Kompas pun mengangkat isu pencemaran sumur Bedugul, akibat adanya bau belerang.

Nandan, Jogja, 30 Sep 2005

Potret Kalimantan, lewat Foto

Selasa 8 Februari 2005 harian Kompas, seperti biasa menempatkan foto pada bagian depannya. Foto ini, seperti biasa kita ketahui dalam hal berita bisa dikategorikan sebagai foto headline. Pada tanggal itu, foto yang menjadi headline, sekilas foto itu tak lebih seperti menunjukkan segompokan rumbai. Rumbai, dulunya biasa dipakai orang sebagai atap rumah. Kini atap yang terbuat dari daun puhon ini hanya digunakan untuk atap rumah – rumahan disawah.

Itu bukan rumah tempo dulu, atau rumah – rumahan di sawah. Didalam foto terlihat, disamping gompokan rumbai berserakan kayu yang begitu licin mungkin karena diketam, siku - siku yang cukup presisi. Mungkin hal semacam itu sulit ditemui pada rumah tempo dulu, apalagi rumah – rumahan di sawah. Entahlah, pikiran banyak orang akan melihat dan coba menebak foto apa itu?


Tapi, mungkin tak akan jauh dari perkiraan saya. Itu adalah foto tempat kadang sapi atau kerbau. Karena bangunan semacam itu yang mungkin masih banyak kita temui menggunakan atap rumbai. Atau mungkin juga gudang penyimpanan tembakau ataupun hasil pertanian lainnya yang biasanya ada di sawah.

Sepertinya kalau gudang menampung hasil pertanian, tidak. Disana tak terlihat sawah ataupun ladang. Disana hanya terlihat rumah beratapkan seng dan sedikit bagian bangunan yang terbuat dari beton.

Menerka itu sebagai kadang sapi atau kerbau, mungkin lebih dekat. Soalnya disekiranya terlihat rumah – rumah yang sudah beratapkan seng. Mungkin rumah pemilik kadang sapi. Tapi, apa mungkin didekatnya bakal ada yang mau mendirikan bangunan beton semacam itu, yang tampoaknya mirip pertokoan.

Ternyata salah semua. Itu bangunan sekolah yang sedang roboh. Untung ada caption yang dapat menjelaskan. Wah, parah juga kalo sampai tempat itu terlalu lama dianggap sebagai kandang kerbau. Lah, anak – anak yang belajar itu tentu akan marah. Masak. Tapi bagaimana bisa bangunan semacam itu digunakan untuk belajar, apalagi untuk sebuah institusi pendidikan formal! Apa masih nyaman? Apalagi yang belajar disana masih anak – anak kecil, sekolah dasar. Berapa banyak nyamuk yang bersembunyi dan siap menyantap darah – darah mereka? Akan demam berdarah dan cikungunya akan menyerang mereka?

Sebenarnya ada pertanyaan biasa dan sangat terduga. Kok mau - maunya mereka belajar ditempat seperti itu. Gurunya seperti apa ya? Cewek atau Cowok? Kayaknya sih laki – laki. Sulit memikirkan perempuan yang terbiasa dengan dandan akan mengajar disana. Kalaupun itu terjadi, kayaknya aku bisa membayangkan perempuan seperti apa, dia itu pasti perempuan tangguh. Sangat tangguh. Karena tak takut saat – saat tertentu bangunan itu akan roboh. Jangan – jangan dia sudah yakin dengan kekuatannya. Tapi, sangat bisa juga dia sangat peduli dengan pendidikan. Tapi yang jelas, bayarannya takkan lebih besar dari guru ditempat dengan gedung yang mencleng.

Inikah poteret pendidikan di negeri ini. Bisa jadi, bagaimana tidak, lebih banyak kabar korupsi yang terdengar dari pada berita baik tentang pendidikan. Wah, korupsi! Apa duit untuk merawat bangunan sekolah yang roboh itu juga ikut dilahap? Sudahlah, sulit menebaknya. Sama dengan menjawab tebakan teman saya yang pintar bikin tebakan. Sampai – sampai tak pernah terjawab, karena cuman dia yang tau jawabnya.

Kembali lagi. Sebenarnya wajar juga kalau bangunan itu terbuat dari kayu. Karena memang sekolah ini berada didaratan Kalimatan, pulau dimana kayu sangat berlimpah. Sampai – sampai, hutan Kalimantan ini dimasukkan sebagai paru – paru utama dunia, dari serangan lapisan ozon yang kian menipis. Ironisnya, hutan yang harusnya dapat digunakan untuk pembangunan, lebih banyak diseludupkan.

Istilah kerennya kini, ilegal loging. Saking banyaknya ilegal loging, yang diseludupkan ke luar Kalimatantan dan luar negri hingga kayu yang bangun sekolah itupun bukan kayu pilihan. Kayu pilihan untuk dijual keluar, kayu yang biasa – biasa dipakai untuk kepentingan masyarakat setempat. Misal bangun sekolah.

Di foto, terlihat besarnya kayu penopang rumbia tak sepadan dengan besar tiang penyangganya. Kecil sekali. Kayunya habis untuk dilarikan, untuk bangun sekolah cukup dengan kayu sisa, itupun kalo ada.

Bocah kecil, melihat – lihat entah apa yang ada dalam pikirannya. Sepertinya mereka lagi mencari sesuatu. Tapi kayaknya tak sedang mencari ilmu, yang biasanya terdapat disana,dari guru yang siap mengajar. Atau jangan – jangan sedang merenungi nasib temannya, yang luka - luka karena tertimpa bangunan itu. Tetapi jika dibandingkan dengan pakaian yang digunakan bocah itu, sebenarnya terlihat kawasan itu sudahlah maju. Pakaian itu, sepertinya sudah mirip dengan baju – baju yang dipakai anak – anak di perkotaan di daerah yang sudah maju. Sangat kontras dengan kondisi sekolah yang sedang roboh. Cukup beruntung negeri ini anak – anak ini masih mau sekolah, ditengan kondisi demikian. Mereka memang punya niat untuk belajar!

Sekolah ini terdapat disekitar kota, tepatnya di jalan Raya Kakap, hanya 19 dari kota Pontianak. Sayang, nuansa kota yang biasanya tercermin dengan modernitas, yang ditunjukkan dengan asupan teknolgi termasuk bangunan sama sekali tak tampak. Sekolah disekitar perkotaan saja sudah demikian parah. Apalagi, kalau sampai membayangkan sekolah yang ada dipelosok desa. Sepertinya ini menggambarkan Kalimantan seperti yang biasa terdengar. Tertinggal.

Nandan, Jogja 8 Feb 2005

Sarjana!!!

Hari ini tepat dua hari setelah aku diwisuda dan mejadi seorang sarjana Teknik Industri. Seorang teman datang bertanya, apa rasanya setelah menjadi sarjana. Aku ingin langsung memberikan jawaban. Yang terjadi aku hanya dapat diam beberapa lama. Memikirkan apa yang menjadi jawabanku atas pertanyaan itu.

Tak ada jawaban yang begitu baik muncul dalam pikiranku. Buntutnya yang ada dalam pikiranku hanya mengatakan, "biasa saja". Tak ada yang luar biasa! Mengenang ini aku jadi ingat pula pernyataan suster Lumban Raja, “wah sudah plonglah ya, sudah selesai”
Saat itu aku hanya menjawab sepertinya tidak ada muncul rasa plong itu.

Ya rasa plong, mungkin biasanya diwakili dengan hembusan napas panjang wah……. akhirnya. Itu tidak muncul. Berbeda saat selesai ujian pendadaran, saat itu, saat dikatakan kalau anda berhasil mempertanggungjawabkan skripsi anda. Dan anda dinyatakan lulus dengan nilai A minus.

Semuanya seperti lepas, tak ada yang melekat, terbang. Entah karena saat itu baru saja selesai ujian dan menghadapi empat orang dosen yang rata rata lulusan S2 dan S3. Tapi, yang jelas rasanya beda, disana ada sebuah perjuangan nyata, dan menyiratkan kemenangan besar. Kini, saat wisuda, dengan acara utama mengukuhkan kemenangan menjadi seorang sarjana, rasa tak muncul. ohhh sungguh sesuatu yang tak lengkap. Yap Plong itu tak ada

Jogja, 2 Nov 2005

Sebuah Refleksi: Salam Dalam Damai!

Entah memulai dari mana untuk mengungkapkan keluh kesah ini. Keluh kesah tentang bangsaku, Indonesia yang indah nan permai dulunya. Cerita nenek moyang akan negeri sejahtera dengan gelimpangan kekayaan alam, sepertinya hanya mirip mimpi ditengah malam. Jangankan kesejahtraan, melihat dan memandang burung berkicau atau rerimbunan hutan hijau bagaikan dansa latin saja yang sulit kutatap kini. Semua telah habis, Bapa dan Ibu yang mulia. Habis diterpa jalannya waktu yang beriringan dengan keserakahan.

Negeri itu tak menyanyi lagi. Lagu dengan suara kegembiraan dengan hentakan nada - nada kekohan sebuah bangsa berubah menjadi tangis. Ya, kini dia sedang menangis, meratapi. Ia kini hanya mampu melihat kehampaan dan kelunglayan akibat ketidakmampuan. Bagaimana tidak harta yang dulu dibanggakan, kini hanya tinggal utang dan keterpurukan. Anak kecil tak mampu sekolah akibat kemiskinan. Perempuan melahirkan ditepian jalanan. Sementara “keangkaramurkaan” menjadi simbol kehidupan yang ditonjolkan.

Sekarang yang tertatap mata hanyalah tinggal ringisan tangis bayi dipelukan ibu tak berdaya dengan ribuan rintangan membentang, yang siap menerkam masa depan. Pemandangan tumpukan senapan yang siap memuntahkan peluru. Dan jejeran kendaraan lapis baja yang siap menggilas dan menyantap anak bangsa yang hendak menatap masa depan. Menagis, memang demikian adanya. Tetapi ini hanyalah ratapan rakyat.

Semua kini sulit dipercaya, bahkan untuk percaya akan cerita nenek dan kakek moyang pun serasa harus membalikkan hati dan pikiran. Apa semua itu dulu benar. Apa benar nenek dan kakek moyangku dulu begitu hebat dan perkasa dalam membangun negeri dan bangsanya. Lah, keturanan siapakah dia, yang kini jadi panutanku. Entah dan kembali entah, semuanya jadi layak kupertanyakan. Sampai kapan kita begini, negeri ini akan tetap tertinggal, menangis tragis.

Sungguh ku tak mengerti!

Setidaknya demikianlah kecamuk dan gejolak hati dan pikiran kini. Ketika rakyat jelata yang masih coba berpikir akan nasib bangsa, negara dan diriku sendiri didalamnya. Bahkan mungkin semua anak negeri inipun sama. Bapak dan Ibu yang mulia, tak ada lagi yang bisa kita tatap dengan tenang kini. Sulit untuk menghayal dan bermimpi, ketika tau semuanya itu sekedar bungan dari gelapnya malam. Bagaiamana tidak, mulai dari masalah anak muda sampai masalah pemimpin negeriku.Semuanya hanya dapat menawarkan cerita yang tak pasti.

Salam terakhir saat hidup sudah tinggal renungan.
Jogja, 9 Nov 2005

Gubernur era Otonomi

Ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar ditengah samudra, tentunya membutuhkan seorang nahkoda yang handal. Setidaknya ada beberapa kriteria umum yang harus dipenuhi, mulai kemampuan berenang hingga kemampuan teknis dan kemampuan mengambil keputusan disaat saat kritis. Selain itu, seorang nahkoda pun harus mampu membaca kondisi perairan yang sedang diarungi. Misalnya, karakter lautnya, mulai gelombang ombak dan faktor cuacanya. Sehingga kapal yang dipimpinnya pun dapat tiba dengan selamat di dermaga sebrang.

Tak jauh dari persoalan pemimpin itu, sebentar lagi kapal yang bernama Sumatra Utara akan memilih nahkodanya (Gubernur). Melalui sebuah mekanisme– pemilihannya. Mengibaratkan Sumatra Utara sebagai sebuah kapal, memang ada perbedaan nyata dari masa sebelumnya. Sebelumnya kapal ini berlayar di samudra negara yang berbentuk sentralis--. Namun kedepan kapal ini akan berlayar mengarungi samudra otonomi.

Dimana alur birokrasi pusat - daerah berada pada daerah tingkat II, terjadi reduksi- terhadap peran pemerintah tingkat I. Prinsip utamanya, dalam otonomi daerah terjadi pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah tingkat II, yang merupakan wilayah administratif. Gubernur hanya sebagai pemimpin tertinggi wilayah administrasi otonomi, bukan lagi menjadi pemimpin utama sebuah wilayah administratif. Misalnya kebijakan pembangunan akan lebih banyak berada di daerah tingkat II.

Melihat reduksi atas munculnya otonomi daerah ini, menuntut adanya perubahan paradigma dan visi kepemimpinan. Salah satu bangunan paradigma kedepan, gubernur menjadi penyelaras perjalanan pembangunan masyarakat. Keberadaan otonomi, menempatkan gubernur sebagai pemacu jalannya pembangunan oleh pemerintah kabupaten. Sehingga persoalan krusial yang sesungguhnya adalah perlunya penanganan lintas sektoral, melalui sistem koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi baik yang bersifat horizontal di daerah masing-masing maupun vertikal dengan pemerintahan yang lebih atas, dapat teratasi.

Dengan kemampuan melihat dan membaca relaitas kawasan dan masyarakat Sumatra Utara. Mulai dari melihat potensi yang dimiliki Sumatra Utara. Sehingga konsep pembangunan yang ada tidak lagi membebankan rakyat. Karena bukan rahasia umum lagi bahwa konsep otonomi telah pula mengalami pereduksian makna. Kecendrungan ini pun sebenarnya disebabkan ketidakmampuan birokrasi pemerintah dalam menggali potensi yang ada. Akibatnya melihirkan kebijakan pembebanan pajak pada masyarakat.

Disisi lain, Gubernur selaku pimpinan daerah propinsi lebih menguatkan fungsi monitoringnya. Dengan melihat secara langsung berbagai program pembangunan utamanya yang bersumber dari dana-dana pembangunan propinsi dan pusat. Contohnya penggunaan pembangunan yang bersifat fisik seperti pembangunan gedung, kantor, jembatan dan yang lainnya, maupun nonfisik yang menyangkut peningkatan human development indeks masyarakat di daerah seperti tingkat pendidikan masyarakat, kesehatan dan kesejahteraannya.

Hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk mengevaluasi out put dan out come, termasuk kualitas kinerja pemerintah daerah kabupaten dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan, pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemaknaan sistem monitoring dan evaluasi yang dilakukan, tidak ditempatkan sebagai upaya pengawasan yang parsial.Tetapi, merupakan proses kontinuitas dari perencanaan berkelanjutan. Untuk mengetahui dan mencermati tingkat efektivitas pelaksanaan pembangunan itu yang telah dilakukan.

Upaya reinventing governance sebagai pengembangan paradigma baru dalam sistem birorkasi pemerintahan. Menempatkan pemerintahan propinsi bukan sebagai atasan langsung kabupaten Sehingga membawa konsekuensi perubahan makna sistem pengawasan, yang dilakukan gubernur. Dari struktural ke pengawasan yang bersifat fungsional.
Namun untuk mendapatkan kriteria gubernur yang ideal bukanlah persoalan gampang. Dibutuhkan dukungan semua elemen masyarakat.

Apalagi sistem pemilihannya masih melalui mekanisme DPRD. Untuk itu perlu penguatan bagi lembaga ini sehingga dapat menyalurkan hati nurani rakyat. Untuk menghindari budaya korupsi dan kolusi yang tertanam dan berakar kuat dalam lembaga ini.

Belum lagi, faktor budaya yang menaungi masyarakat Sumatra Utara. Dimana kedekatan hubungan kekerabatan masih sangat kental. Pada runutannya dapat menghasilkan proses pemilihan yang didasarkan pada ‘nepotisme’. Kultur masyarakat yang demikian tentunya membutuhkan penyadaran. Sekaligus dapat mencegah munculnya pemahaman bahwa Gubernur harus orang Sumatra Utara asli. Sebaliknya, mengarahkan pandangan masyarakat menjadi Gubernur adalah orang yang dapat melihat dan mengembangkan potensi Sumatra Utara.

Jogja, 18 April 2003

Akupun Terkejut, PASTI!

Mereka bilang itu pilihan, tapi bagiku itu nekad

Demikianlah pengalaman mengajarkan sesuatu kepadaku ketika ber—ada di Pojok Pusgiwa yang begitu gila itu. Persoalan manusia menjadi pertaruhan dan perdebatan yang selalu ada di dalamnya. Bagaimana tidak, ruangan ini memang diproklamirkan sebagai pers, memakai embel Mahasiswa lagi. Hingga sebutannya pun pers Mahasiswa. Dua kata yang memiliki arti dan tanggungjawab besar. Kita kenal, tahu dan paham apa itu Mahasiswa, demikian juga kiranya pers.

Kedua kata itu, tidak semata mata menjadi klausa, tapi juga sekaligus menjadi frase. Lantas menagapa? Mungkin itulah pertanyaannya. Benar, setidaknya jika dipahami pengertian yang terdapat dalam kedua kata itu tentunya menjadi memiliki pengertian yang jauh lebih dalam dari pada kedua kata itu berdiri sendiri. Mahasiswa, lebih jelasnya dikatakan sebagai manusia intelektual, yang memang memiliki kemampuan membangun rakyat. Lebih progresifnya, adalah golongan kritis dan kreatif terhadap pembelaan rakyat.

Sementara pers memiliki pemahaman lebih pada wadah penyambung lidah (ke-kritis-an) dan juga media pembelaan hak rakyat yang tergilas oleh kekuasaan. Dua pengertia kata yang begitu mulia, itulah identitas kita kini. Tidak bisa tidak, kita menjadi bagian golongan abu - abu (mahasiswa) yang paling berat, setidaknya itu kata Pius.

Jogja, 20 Okt 2005

Memahami

Malam memang selalu menggambarkan , kesunyian, kesepian sampai pada ketakutan. Ini hari kedua aku setelah lulus dari bangku kuliah, dan menjadi satu orang yang berhak memakai title ST (baca sudah Tua ya….) barusan saja aku menuliskan apa yang kurasakan setelah ada orang yang bertanya tentang arti dan rasa sebuah kelulusan. Semuanya nol besar.. ternyata seorang yang lulus dan menjadi sarjana ternyata tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan dirinya. Aku yakin, apalagi orang lain, pasti itu sungguh tak mungkin.

Dihari kedua ini selain itu yang muncul pertannyaan diatas, ada hal yang sama yang datang. Ini memang bukan dari luar, tetapi dari dalam diri. Apa yang kini kamu maknai hidup dan cinta. aku tak pernah mau bicara tentang yang satu ini. bagiku ini hanyalah sebuah perjalanan yang pasti dan harus dilalui setiap orang, sesuai dengan takdir. ya ini sedikit membingungkan,. Sebenarnya aku hanya percaya pada sebagian sisi takdir. Ya takdir bagiku hanya berlaku untuk dua hal, yaitu kelahiran dan kematian. Diluar itu Tuhan memberikan kita sebuah kebebasan, untuk mengisi hidup. Lantas tentunya bagaimana dengan cinta, dimana aku meletakkannya?

Aku belum pernah bisa meletakkan cinta dalam hidup secara final. Walaupun dari dua hal pendapatku tentang takdir, mau tak mau dapat disamakan dengan menempatkan cinta pada posisi diluar takdir. Sekali lagi ini inipun tak dapat kujawab dengan final, dimanakah aku telah dan harus menempatkannya ? Sungguh –sungguh pertannyaan yan g sulit. Kalo kamu membaca ini, berarti kamu siap memberikan jawaban, setidaknya yang sudah pasti menurutmu !

Salam teman.

Cerita pertama,02 Nov 2009

Kini Aku Ada Dimana.

Sekedar merasakan, melihat dan mencoba berbicara, setelah itu entah akan apa yang kulakukan?

“Selamat Datang Mahasiswa Baru” itulah bunyi Slogan yang cukup besar yang selalu di pampangkan hampir semua Universitas menyambut kedatangan mahasiswa baru, Maba. Tak ketinggalan UAJY pun turut menyapa mahasiswanya dengan spanduk yang sama dan tepat ditempelkan di pintu masuk uatama kampus III. Entahlah, mengapa sepintas aku memikirkan kata - kata itu. Apa karena kenangan empat tahun silam, kata yang sama menyambutku kala itu.

Memang kali ini agak berbeda, dulu rasa bangga dengan sambutan semacam itu. Apalagi ada bayangan bahwa kelak aku akan menjadi bagian dari sebuah komunitas akademik yang mampu memperjuangkan hati nurani rakyat. Bergabung dengan manusia yang mampu menumbangkan rezim angkara murka (baca: Suharto), setidaknya ada semangat semacam itu. Itu dulu, tiga tahun lalu!.

Kini tiga tahun lebih berada di UAJY, kampus yang cukup memiliki nama dalam jajaran perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Satu persatu mulai terlihat dan terasa jauh dari harapan. Tak banyak yang mau memiliki peran membangun sebuah komunitas impian itu, yang tinggal hanyalah generasi yang berkutat dengan impian pribadi.

Tak mengherankan jika, mahasiswa yang merupakan bagian terbesar ‘pengisi’ sebuah institusi pendidikan tinggi menelorkan karakter yang tak jauh adalah sama. Manusia yang mengisi ruang dan waktu, tak lebih hanya untuk diri sendiri. Datang kuliah pulang ke kamar kost dan mengharapkan nilai A alias istimewa. Setelah itu dapat melamar kerja dalam sebuah perusahaan atau intitusi yang memiliki pendapatan besar. Tak perlu tahu dan peduli akan nasib orang lain, diluar keluarga dan dirinya. Mau kelaparan, penyakitan, meringis atau sedih yang penting bukan Aku. Setelah itu, Kawin, anakku besok seperti itu lagi. Terus dan terus, itulah impian mereka kini, impian Poltak.

Akhirnya tak berbeda dengan apa yang di uangkapakan YB Mangunwijaya. Apa gunanya kita memiliki sekian ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintarannya.

Tak semua memang mahasiswa memiliki pandangan ataupun kemauan yang semacam itu. Banyak juga pada awal kedatangnya memiliki pandangan yang masih ‘tak terjamah’ kepentingan dan keinginan semacam itu. Mereka ingin tahu dan akhirnya memberikan sumbangan yang besar terhadap komunitas dan lingkungannya. Tapi mau apa lagi, institusi dengan berbagai kebijakannya memaksa mereka harus menjadi manusia yang individualis. Tak mau mengenal lingkungannya. Lihat saja betapa ketatnya aturan yang memaksa mahasiswa untuk bertingkah dan menjadi kost dan kampus sebagai tempat persinggahan untuk sekedar mendapatkan nilai A.

Padahal selain kemampuan dalam bidang akademik masih banyak peran lain yang ‘seharusnya’ di lakonkan mahasiswa. Perannya sebagai lokomotif perjuangan terhadap nasib rakyat. Itu merupakan bagian dari keberaniannya memakai label MAHA di depan kata siswanya. Sebab kini ia bukan lagi hanya manusia yang menuruti kebijakan ataupun tata aturan yang ada.

Tetapi juga mengambil bagian dalam memikirkan setiap kebijakan ataupun tata aturan dan mengkritisi setiap kebijakan yang ada. Kini ia menjadi salah satu motor penggerak demokrasi, bukan hanya orang yang ada untuk ikut serta berdemokrasi. Kini ia tidak hanya belajar tetapi juga mempertanyakan apa yang sedang dan ia pelajari. Kini ia pun harus mampu memberikan perannya terhadap lingkungannya. Ada yang bilang dan memang juga menjadi Agent of Change.

Sehingga seolah olah menjadi sangat sulit untuk mengelak dari pernyataan bahwa mahasiswa telah menjadi bagian dari kelas elit. Bahkan menjadi kalangan elit yang tak kenal satu sama lain. Jangankan kenal dan tahu dengan masyarakatnya, kenal dan tahu dengan lingkungan kampusnya saja mungkin hanya ada sedikit. Menempatkan diri pada strata tertentu yang sulit untuk dijamah. Sayangnya sulit untuk dijamah, tetapi mereka pun tak mau menjamah. Lihat saja betapa masyarakat mulai bosan dengan tindak tanduknya. Lihat saja, bagaimana mereka terasa sangat jauh dari masyarakatnya.

Kemana perginya pemahaman akan arti mahasiswa itu kini. Hilang ditelan apa. Kalau ditelan bumi bukankah bumi yang kita miliki hanya satu bumi yang menawarkan nafas kehidupan yang sedang kita pijak sekarang. Disebelah manakah dari bagian tubuhnya yang bulat ini, ia menempatkanya. Tapi apakah benar bumi dengan sengajanya memakan bagian dari dirinya yang sangat penting itu?

Atau jangan jangan ada planet lain yang datang menyerang dan mirip dengan bumi itu. Atau jangan jangan salah satu dari bagian tubuhnya telah ‘berzinah’. Kalau ‘bisa’ sedikit melihat bagian bumi yang paling dekat dengan mereka, institusi pendidikan. Jika diibaratkan ia menjadi ‘hati’ yang harus terus bekerja dan membersihkan darah ( mahasiswa sebagai out put) dan memprosesnya menjadi darah yang layak untuk mengisi ruang - ruang dalam tubuh(masyarakat).

Sayangnya kini selain tak mampu menghasilkan darah bersih, MAHAsiswa. Ia pun kini menjadi institusi yang mengkelaskan calon mahasiswa. Kemana Bumi ini akan dibawa, ruang dan waktunya masih mungkin. Tapi entah sampai kapan, kamu sekarang mau menempatkan dirimu menjadi apa dan siapa? Salam sobat dan selamat berjuang. Lupa selamat datang juga.

Bagiku yang berada Di Negri Suram

Negeri itu tak menyanyi lagi. Lagu dengan suara kegembiraan dengan hentakan nada nada kekohan sebuah bangsa berubah menjadi tangis. Ya, kini dia sedang menangis, meratapi semua yang terjadi. Ia kini hanya mampu melihat kehampaan dan kelunglayan akibat ketidakmampuan. Bagaimana tidak harta yang dulu dibanggakan, hanya tinggal utang dan keterpurukan disegala bidang. Anak kecil tak mampu sekolah akibat kemiskinan. Perempuan melahirkan ditepian jalanan. Sementara keangkaramurkaan menjadi simbol kehidupan yang tertonjolkan. Nasibnya kini.....

Menagis, memang demikian adanya. Tetapi ini hanyalah ratapan rakyat, bukan mereka yang duduk kongkang kaki di teras gedung mewah sana. Gambarannya memang aneh, sementara rakyat hidup dalam penderitaan akibat ketidak mapuan menjalani hidup akibat beratnya tekanan kemiskinan, ada saja sebagian manusia disana yang dapat hidup tenang dengan kaki yang mengongkang.

Mereka tak tahu, apa yang dimilikinya pun adalah bagian dari milik bersama yang harusnya dibagikan. Kenapa, karena kita adalah satu bangsa, satu tanah air dan juga memiliki Tuhan yang sama. Sisi sisi kemanusian, yang harusnya melekat pada diri, sebagi manusia telah hilang di telan peradaban yang dinamai keangkaramurkaan.

Tak ada yang beres dalam kehidupan bangsa ini kini. Pantaslah dia menangis. Nilai hakiki yang harusnya melekat pada”manusia”. Seakan akan berubah menjadi senajta masal yang setiap saat siap memangsa manusia lain. Hidup butuh ketenagan, kesenagan, adalah semboyan hidup bagianya sekarang.

Nilai nilai yang dilekatkan sang kuasa, sudah dibalikkan menjadi senjata penghacur. Menghisap darah manusia lain untuk menghidupinya tujuh puluh tujuh kali tujuh abad kedepan. Apa yang harusnya kumiliki kini. Sementara yang lain demikian adanya. Kenapa Aku tentunya menjadi pertannyaan yang sangat sulit.

Salah, Tidak juga. Walaupun paling sulit adalah menterjemahkan, dan menyadari pribadi. Tapi Sebaliknya juga, itu pulalah yang paling gampang dilakukan. Kemauan, menjadi alasan dibalik semuanya kini. Terus?

Ya aku kini berada disini. Menjadi bagian dari manusia yang turut meratapi hidup. Akibat sesuatu yang tak kumengerti sama sekali. Aku kini hidup di disebuah jerami yang didalamnya terdapat manusia yang sanma denganku. Meratapi!

Bagaimana kawan. Kita akan melakukan apa. Apa yang terjadi sekarang, akan menjadi refleksi kita bersama untuk melakukan sesuatu kedepan. Mau tidak mau memang kita harus menagmbil peran wal;aupun terasa sulit. Sesulit menanyakan dan menayadari dosa paling besar yang pernah kita lakukan. Pilihan kini menjadi berat? Karena kita berada disini.



Salam PASTI

Menatap Langit

Sobat apa kesedihan paling dalam yang pernah kamu alami. Apakah seseorang yang mati, pergi meninggalkanmu menuju alam berikutnya. Ataukah kepergian sesorang dari dekatmu? Kepergian dari segala sesuatu yang pernah dibangun bersama? Pernahkah kamu teringat apa yang terjadi pada bangsa ini sejak dulu. Masih kah kamu ingat ketika seorang bapak tua merangkak minta ampun kepada seorang penjajah atas perlakuan tak senonoh terhadap putrinya. Itu, hanyalah salah satu dari sesuatu yang menjadi landasan kebersamaan membangun bangsa ini. Sesuatu, perlawanan atas ketidakadilaan dan keserkahan atas muka bumi.

Senjata sepertinya tiba tiba meledak menghempas kepala. Ia pun jatuh tersungkur ketanah. Aduh ampun, kata terakhir yang hanya pengobat rasa sakit. Sakit atas segalanya.

Kini kita telah besar. Kini kita telah merdeka dan sudah melewati pasca reformasi. Pada akhirnya, semua menagajak manusia dalam bumi pertiwi ini bertanya pada dirinya akan arti merdeka hidup dan kehidupan.

Kamu tahu kenapa aku bertanya demikian. Jelas, ini kulakukan karena aku tak melihat perbedaan, antara masa lalu dan masa kini. Dulu bangsaku hidup dalam tekanan keangkaramurkaan bangsa lain. Kini bagsa ini tertekan oleh dirinya sendiri. Dimana rama dan rahwana berada dalam satu tubuh. Pergolakan dalam satu ring memang menjadi tontonan yang mengasikkan bagi sebagian orang. Sayang kita sering tak tahu kalau kita segaja dijual untuk dipertontonkan. Sebuah keuntungan besar bagi mereka. Ini hanya refleksi ngawur tapi nyata, dulu dan sekarang.

Bagaimana kalau kita bicara dalam frame yang lebih kecil. Namun tak menghilangkan sudut kekompleksan persoalan yang sama. Kamu hidup dimana, seberapa besar. Bagi yang baca ini, mungkin aku bisa tarik batas kecil yang jelas yang menjelaskan keberadaan kita yang sama Kita berada dalam kawasan pusgiwa nan murka akan jalannya kehidupan. Kalaulah memang tak semua demikian adanya. Mari kita sempitkan frame, biar kita bisa melihat lebih jelas, telangjang bulat. Tak ada yang perlu kusembunyikan darimu, dari dunia yang sangat kecil ini. Kita selalu berbicara betapa sesaknya dunia sana. Dunia yang penuh dengan kebengisan, keserakahan dan penghianatan.

Jogja 20 Sept 2009, Saat Menghilang

Maluku Miskin ,Maluku Sayang

Miskin maka kelaparan atau kelaparan makanya miskin? Entah, tapi demikian yang selalu terjadi. Di negeri ini jika topik pertanyaan mengenai yang tak mengenakkan akan sangat sulit dijawab mana sebab mana akibat. Kalau ditannya pada yang seharusnya mengurusi hal miskin dan kelaparan, sepertinya jawabannya ya kelaparan dulu baru miskin. Memang bagi pemerintah, kemiskinan sering baru tampak jika ada pertunjukan kelaparan dengan tokoh utama mereka yang busung lapar. Setelah itu baru tampak kalau rakyatnya telah melarat.

Beda dengan Wa Amra warga Maluku yang punya anak busung lapar itu (Rumah dan Bilik Pengungsian, Kompas 29 juni 2005 hal 36). Kalau ditanya yakin jawabannya pasti yang pertama, miskin maka kelaparan. Itulah sebabnya Wa Amra tidak lagi begitu mengeluh dan berputus asa, karena kelaparan yang dia alami hanyalah akumulasi dari sekian lama miskin dan akhirnya tak mampu lagi memenuhi kebutuhan perutnya. Dan akhirnya busng lapar. Pertanyaan diatas menjadi bagian dari keseharian yang selalu terjadi disekitar kita.

Harus kelaparan dulu baru tau kalo rakyatnya miskin.

Maluku dikenal kaya akan alamnya kini hanya mampu menampilkan pertujukan kemiskinan dan konflik. Tetapi menilik kondisi negeri yang katanya kaya dan budaya kekerabatan masyarakat yang begitu kuat. Sungguh sangat sulit membayang masalah kemiskinan dan konflik muncul. Lihat saja, Maluku sejak dulu dikenal sebagai tambang kekayaan akan rempah – rempah. Bahkan Spanyol dan Portrugis harus mengangkat senjata demi perebutan kekuasaan akan kekayaan ini. Secara kekerabatan, wilayah ini bahkan sangat dikenal dengan budaya gotong royong, pela gandong-nya. Warganya begitu toleran terhadap sesama. Namun semua ini serasa hilang ditelan waktu. Kini yang tampak adalah wajah manusia miskin yang sarat dengan kebencian.

Secara gampangan, konflik dapat ditimbulkan oleh bentuk ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan. Harapan yang sebenarnya sederhana. Harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan perut ditanah yang begitu kaya. Harapan bersekolah ditengah negeri yang merdeka, harapan akan rumah yang layak dan harapan sederhana lainnya. Sayangnya harapan itu hanya mimpi yang sulit digapai. Tengok saja, sepanjang tahun 2004 saja ada sekitar 133.023 atau setara dengan 46, 34 % keluarga di Maluku masuk dalam golongan rakyat miskin. (Kompas, Rumah Warga, Potret Kemiskinan di Maluku, 29 Juni 2005, hal. 36).

Ada banyak cerita dibalik semua penderitaan yang dialami oleh warga Maluku. Hasil kekeyaan tanahnya yang terkuras namun tak pernah memberikan sumbangan bagi terbangunnya kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Ternyata kini tanah yang dulunya subur itu hari demi hari telah berubah menjadi lahan yang tandus.

Curah hujan anatara 1000 – 2000 mm per tahun bahkan tak mampu lagi menahan rakusnya manusia mengeksploitasi tanah Maluku dan berakibat pada 1,1 juta hektar, sekitar 26,74 % dari seluruh luas wilayah Maluku menjadi lahan yang kritis. Tanah yang dulunya subur untuk ditanami kini hanya dapat menhasilkan debu yang merusak kesehatan paru - paru. Sayangnya ini semua terjadi disebabkan perilaku buruk manusia. Salah satunya kebiasaan negeri ini dalam menebangi hutannya tanpa penuh dengan pertimbangan. Dan pelakunya tak sulit untuk ditebak, mulai dari masyarakat hingga perusahaan penebangan hutan. Anehnya sungguh sulit membedakan mana yang dilakukan dengan legal dan yang ilegal.

Lantas apa memang sungguh sulit untuk menjaga kayu yang ada di hutan? bukankah kayu yang di hutan itu sunggu berat dan sulit untuk dipindahkan? Tapi itu pulalah ciri paling khas negeri ini. Untuk memindahkan harta curian begitu mudah dilakukan, dan sebaliknya begitu sulit untuk dilacak oleh mereka yang berkewajiban. Lihat saja kayu jenis merbau ilegal dari hutan Wae Sarputih, kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah sebanyak 3.738 meter kubik yang sudah tertangkap saja bisa hilang! (Kompas, 3.738 Meter Kubik Kayu Temuan Raib. 13 Juni 2005, hal. 28) Apalagi kayu yang masih berada di hutan sana? Pastilah lebih mudah untuk di curi.

Bayangkan jenis kayu ini memiliki nilai mencapai Rp 700.000 per meter kubiknya, sehingga nilainya mencapai Rp 2.616.600.000. Sungguh nilai yang tak sedikit bagi Wa Amra dan mereka yang miskin dan hidup di bilik – bilik pengungsian. Walaupun nilai yang sebenarnya jauh lebih besar dari angka itu. Karena tanah yang rusak akibat penebangan semacam ini tentunya memiliki nilai yang masih jauh lebih besar nilainya.
Tak cukup berhenti sampai disitu. Hidup dibilik dengan berbagai resiko akan berbagai penyakit tak cukup. Itu semua ternyata tak cukup untuk membuat rasa haru bagi sebagian manusia yang ada di tanah Pattimura sana. Lihat saja dana yang harusnya dibagikan bagi mereka yang tinggal dipengungsian justru ditilep, mereka yang tak bertanggungjawab. (Kompas, Pemalsu Data Pengungsi Dilaporkan ke Polisi. 7 Juni 2005, hal. 20). Sungguh sulit membayangkan mereka akan dapat hidup lebih baik kala orang yang harusnya memiliki tanggungjawab akan hidup mereka justru tak lagi dapat dipercaya.

Tapi ini semua hanya ada di pikiran rakyat yang jelata. Dimana pemimpin dan rakyat memang jelas berjarak. Sekali lagi, ini semua hanya ada di pikiran rakyat yang jelata. Rakyat yang hanya dapat mengerti tanpa dapat bertanya apalagi menggugat mengapa mereka dapat hidup miskin. Sehingga jangan terlalu pusing jika ditanah Maluku kini begitu mudah muncul konflik. Itu semua tak lebih karena mereka miskin. Miskin akan perut, miskin akan kesempatan untuk maju, belajar, dan miskin yang lainnya. Sungguhkah sulit untuk dapat memenuhi itu?

Jogja 25 Sept 2005, saat semua berpadu

15 September, 2009

"Jika"


Jika harus aku kembali
Aku hanya kembali karena ingin duduk dan mendengarmu
Memandang dan melihat gerak mata dan bibirmu
Aku tak inginkan lebih
Mendengar alunan suaramu
Kan kucoba membuatnya menjadi rangkaian lagu


Jika aku harus pergi
aku akan melangkah menjauh dan menatap hanya kedepan
Kuarahkan kepala ini melongok kebawah
Kupastikan dia tak akan melihat kebelakang
Kuyakinkan tak akan mencoba ntuk merasakan kembali
Hanya melangkah, melangkah menuju hidup yang lain


Jika aku harus menunggu
Kan kucari hamparan sawah hijau
Tempatku menanti terbitnya sang Mentari
Memancar cahaya penuh kilauan harapan
Membawaku pada sebuah kepastian
Jalan hidup

14 September, 2009

Menghela!

Aku duduk di tepian samudra
Memandang jauh hingga ke ufuk timur
Aku menatap terus
Menembus lipatan embun
Termenung dibawah kibasan sayap Rajawali
Seolah ingin bertanya

Aku jatuh dalam pelakukan alam pikirku sendiri
Bertanya kedalam tanpa sempat melihat keluar.
Siapakah kini yang duduk termenung itu

Kucoba meraih satu persatu titik nan jauh disana
Dalam angan kepala yang tak mau berhenti
Berlari terus
Sungguh aku mau berhenti
Meletakkan semua dalam tumpukan pasir yang terhempas ombak.
Hidupku

(Tarian semu, diujung samudra)

Menghempas!

Aku ingin terbang, menembus semua ruang!
Tak ada waktu yang dapat membatas
Hembusan angin tak sanggup mengejar.
Terbang secepat kilatan cahaya.

Meninggalkan ruang, meninggalkan waktu dan meninggalkan mimpi.
Aku ingin meninggalkan semua


(Ntah, Meninggalkan semua harapan)

10 September, 2009

Hilang!

Hari ini aku teriak pada langit
Melepas semua

Menembus semua angan

Menghempas segala yang kumiliki

Aku ingin telanjang
Tanpa beban hidup dan juga raihan jiwa.
Tenang dalam belaian alam


(maaf, tak ada lagi)

08 September, 2009

Zaman Edan!

Surya Respationo, ketua DPRD kota Batam 2004-2009 (www. Batampos.com), dalam pidatonya mengutip Raden Ngabehi Rangga Warsita untuk melihat situasi kekinian. ‘’Hidup di zaman edan, suasana jadi serba sulit, ikut edan tak tahan, tak ikut tak kebagian malah mendapat kesengsaraan, begitulah kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang lupa lebih bahagia orang sadar dan waspada’’

Berbagai peristiwa di negeri ini menyuguhkan ke-edan-an. Peristiwa semburan lumpur panas di Sidoarjo. Perut bumi menyemburkan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Perdebatan panjang mulai dari warga hingga elit. Memunculkan polemik yang ujungnya mengarahkan kasus ini menjadi kejadian luar biasa. Lepas tangan? Inilah wajah negeri ini.

Selain masalah diatas, sebenarnya adalagi yang lebih edan. Masih ingat polemik Bantuan langsung tunai (BLT)? Negera berperan layaknya Robin Hood, membagikan uang kepada rakyat. Berbagai kontra bermunculan. Efektifitas program, pembentukan mental malas bahkan jiwa pengemis dalam karakter warga mejadi alasan kontra yang membalutnya. Pemerintah bersikukuh mempertahankan program ini dengan alasan menjalankan fungsi sosialnya.

Anehnya begitu pemilu berakhir pemerintah memiliki pandangan yang berbeda. Menghentikan program BLT dengan alasan BLT tidak mendidik rakyat. Edan, sebuah program berjalan menghabiskan dana triliunan rupiah. Hasilnya penilaian terhadap program justru dilihat sebagai kebijakan yang tidak mendidik oleh pelaksana program itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan dikeluarkan dengan nilai triliunan hanya sekedar menghasilkan dekadensi moral bagi masyarakatnya. Pemerintahan yang menelan air ludahnya sendiri, Edan.

Yang terbaru, kasus bank Century. Ironis, lebih dari 6,7 triliun uang negara dihamburkan untuk menyelamatkan sebuah bank yang entah berapa besar perannya untuk pembangunan negeri ini. Kebijakan yang tidak lebih berbobot layaknya uang jajan demi satu bungkus petasan bagi anak kecil. Membahayakan, miskin manfaat, Edan!

Bayangkan 6.7 Triliun enam kali lipat dari APBD Propinsi Kepri. Artinya dengan dana ini dapat menjalankan pemerintahan diseantero Kepri selam 6 tahun. Namun digunakan hanya "menyelamatkan" sebuah bank yang tak jelas tujuannya.

Tak jelas karena sebuah bank bisa membutuhkan suntikan dana padahal memiliki fungsi menyerap dan meyalurkan dana dari dan untuk masyarakat. Dimana letaknya hingga sebuah bank perlu diselamatkan! Bukankah sebaliknya bank memiliki peran untuk menyelamatkan negara lewat perannya dalam pembangunan distribusi permodalan? Namun, pemimpin negara ini lebih peka terhadap sebuah bank yang ntah duit didalamnya milik siapa. bahkan duit 6.7 triliun duit rakyat sudah pindah tangan jadi milik siapa!

Salam buat negeri Edan, negeri penuh kegilaan. Jika harus kembali pada kutipan Raden Ngabehi Rangga Warsita, hidup di zaman edan, suasana jadi serba sulit, ikut edan tak tahan, tak ikut tak kebagian malah mendapat kesengsaraan. Sudah layaknya tak perlu untuk mengarahkan pikiran untuk ngikut. Karena jika demikian, ntah sampai kapan negeri ini akan Edan. Semoga cepat menemukan jamu muzarab,obat anti Edan!

07 September, 2009

Lepas!

Kemarin aku melihat batu kecil tak lagi muncul memancarkan cahaya diatas tumpukan pasir
Ombak ditepian pantai saling menghempas seolah hendak menunjukkan amarah yang menggelora!


Diujung jauh kupandang pohon hijau berbaris tersenyum sinis!
Sementara Mentari memancarkan cahaya, penuh kegeraman


Hanya angin yang datang menyapaku dengan bisikan yang membawa kesejukan
Kadang datang, kadang pergi
Hanya lewat


Terima kasih untuk semua, dia sudah mampir dan memberiku sedikit rasa, untuk tetap dapat bertahan dalam alun pikiran yang memohon untuk berhenti.

(Saat semua terasa menghilang)