21 Januari, 2010

Perjalanan Tanjung Uncang,...!!!



Ayunan Ombak, ditengah belenggu Napas Kehidupan.

20 Januari, 2010

Perjalanan Tanjung Uncang...



Saat segalanya harus ditekuk dengan Lutut Kehidupan,... Kebungan Air Mata

Perjalanan Tanjung Uncang




Pesona Alam Tanjung Uncang, Satu Titik –Sejuta Aksi- Salam bagi langit, Gelora untuk Samudera

16 Januari, 2010


Horas!Horas!!Horas!!!

Tajung Uncang, Jan 2010
Kawasan Industri Galangan Kapal

13 Januari, 2010

Tahun Baru 2010, Tragedi Marulas Nainggolan: Sebuah kisah-Satu Catatan




Villa Rully Indah,Batu Aji (Nainggolan Youth Base Camp), 31 Desember 2009. Malam tahun baru, sekitar pukul 23.00 malam terlihat pintu markas sudah terbuka. Mungkin manusia penghuninya sudah balik. Maklum ini adalah ketiga kalinya aku datang, malam itu. Jam 7.00 WIB, pintu tutup. Tanya tetangga, yang punya rumah keluar barusan. Jam 9.00WIB, masih tutup.

Didalam rumah Agus dengan 1 orang bere, satu orang ito dan satu orang calon parumaen. Suara tangis terdengar, dengan logat sesunggukan. "Ada yang kangen appara" cetus Agus. Yap, bere sedang bertelepon ke kampung halaman, dengan suara tangis. Kangen rumah! Gila, segitunya.

Bayangkan dengan yang punya rumah, sudah 5 tahun lebih tidak pulang bertahun baru. Mati rasa!

Tak berapa lama Botax datang dengan satu kaleng ABC. katanya ai perjamuan. "Dang pola boha molo holan sada, asal ma adong!" Botax

Memang malam tahun baru kali ini serasa aneh. Seperti tak terlihat tanda kemeriahan. Ntah,. karena memang semuanya telah hilang. Sorry!

Cerita punya cerita berlanjut, hingga terlihat di layar TV, siaran langsung RCTI sudah melakukan hitungan mundur menuju tahun 2010. Botax menyarankan kami untu8k berkumpul, sekedar berdoa. Mengucap syukur akan rahmat dan kasih Tuhan untuk nafas kehidupan di tahun 2009. Dan mohon berkat dan perlindungan tahun 2010.

Berdoa, kami hanya enam orang. Menyatukan hati mengucap syukur. Malam tahun baru yang ditemani satu kaleng ABC, 1 kotak roti snack dari Gereja, dan seteko air putih refil. Suasana sederhana, tapi yang jelas bukan sebuah kesengajaan, tapi kenyataan. Malam itu dirayakan dengan terlalu sederhana. Momen besar berlalu dengan kenikmatan malam kesederhanaan. Sebuah tema yang dicari-cari dan ntah kenapa serasa cocok.

***

Pagi pagi tanggal 1 Januari 2010. Pagi hari, sekitar pukul 8.00 WIB mata sudah terbuka. Terlihat diatas lantai sudah ada kopi dengan roti biscuit. Sisa semalam! Kulihat didapur Agus sudah mandi, bersiap masuk gereja pagi. Pagi ini aku sudah punya janji ketemu dengan teman lama semasa SMU, kebetulan bertemu lagi lewat facebook. Setelah Agus selesai dengan mandi, aku masuk dan cuci muka. Duduk sebentar, dengan hembusan asap rokok ten mild, secangkir kopi dan biscuit. Rasanya 2010 memang benar-benar sudah tiba. Gila,.. nikmat dalam kesederhanaan.

Belum tiga menit duduk minum, santai. Handphone bunyi, dan mengabarkan ada marga Nainggoan yang meninggal akibat tabrakan di malam pergantian tahun di daerah Barelang. Tewas di tempat dan sudah dilarikan ke Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB). Kepala bertanya-tanya siapakah dia? Maklum yang menelepon bukan marga Nainggolan, tetapi marga SIhombing orang Bengkong. Siapakah dia? Masuk kumpulan kah? Adakah keluarga di Batam?

Segera kasih tahu Agus tentang berita ini. Kirim sms ke Gordon dan Botax, mana tahu mereka sudah dapat berita dan ada info yang lebih detail. Kirim sms kebeberapa orang tentang posisi masing-masing. Sekaligus meminta jika memungkinkan datang ke RSOB. Satu sms masuk, Teguh Nainggolan, kebetulan di Batu Aji. Kami bertemu dan bersama-sama menuju RSOB. Agus Nainggolan minta ijin untuk ke Greja, dan akan langsung menyusul. Di RSOB, kami bertemu dengan beberapa orang yang terlihat dengan wajah kaku, dengan mata saling menatap kosong.

Mungkin mereka bagaian dari kelaurga yang sedang berduka. Tapi apakah ini keluarga dari Nainggolan juga? Tak berapa lama ada seorang wanita, menyapa.
”Horas ito!”
”Horas,!” Teguh
Tak berapa lama Ito itu mengenalkan kakak kandung dari korban. Tidak kenal, kulihat lagi wajahnya, mana tau pernah ketemu, setidaknya di kumpulan. Tidak juga kenal. Kutanya Teguh, dia juga tak kenal. Tak berapa lama Teguh langsung bertanya kepada ito itu.
”Ito masuk kumpulan?”
”Tidak to”
Kepala Teguh menggeleng. Tapi ya sudahlah, Nainggolan tetap Nainggolan, apalagi dalam kemalangan.

***
Seorang suster keluar dari ruangan kecil, terlihat seperti kantor. Memakai pakaian operasi. Mungkin ini orangnya yang menangani mayat itu. Pakai kaca mata tebal. Dia menuju keruangan lainnya, persis didepan ruang kantor itu. Masuk kedalam dan tak berapa lama, kepalanya keluar dari jendela sambil memanggil.
”Kelaurga Marulas Naingglan!!”
”Ito ajalah yang masuk, saran salah seorang dari keluarga”
”Olo, to”

Aku masuk ke ruangan suster. Disana dibicararakan biaya yang dibutuhkan untuk membersihkan mayat.

”Kalo mau dikirim hari ini bisa suster?” tanyaku
”Bisa aja, asal biayanya cepat aja, biar langsung bisa dikerjakan” jawab suster
”Berapa kira-kira biayanya?
Ambil kalkulator, secarik kertas dan memainkan pulpen. Coret dikit, pencet kalkulator. Berulang ulang, hingga kertas kecil itu penuh dengan angka dan huruf. Ntah apa aja yang dituliskan disana. Yang jelas banyaknya angka yang diceoret sudah membuat jangtung berdegup kencang. Uang dari mana!

”Enam juta empat ratus ribu rupiah”
”Gila besar juga biayanya.” pikirku dalam hati
”Kira-kira kalo bisa diusahakan duitinya, kapan bisa berangkat? Hari ini?” tanyaku
”Kalo cepat, sebelum pukul satu siang ini, harus dah tahu kepastiannya. Karena kita juga harus hubungi penerbangan” jawab suster berkacamata tebal itu.
”Baik Bu, baiknya saya diskusikan dulu dengan keluarga diluar, secepatnya saya kabari”

Diluar ruangan sudah bekumpul. Terlihat satu orang datang mendekat, berbadan tegap dengan jaket abu-abu. Mirip tentara.
”Horas lae, Saragi, dongan ni namondingon do au” sambil besalaman.
Dia ternyata teman kerja dari yang meninggal. Dia menceritakan jika sebentar lagi akan ada utusan kantor yang bakal datang.

”Mungkin sekalian mau bicarakan tentang kematian Lae ini, sekalian aja nanti ditanyakan kira-kira solidaritas perusahaan”

Ngobrol lama dengan Lae Saragih, dia bercerita tentang keseharian Marulas. Tapi pandangan mataku tak lepa dari wajah kakak Marulas, Nasta Br. Nainggolan. Terlihat murung, lesu. Tatapan mata kosong.

Sebentar, aku permisi sama Lae Saragih, untuk menumui Ito Nasta. Kutanyakan bagaimana dengan orang tua di kampung.
”Keluarga dikampung sudah dikabari to?”
”Sudah to”
”Gmana, memang harus dibawa ke kampung ya?”
”Ya, to”
”Appara Teguh yang kurus itu dah kasih tau ito biaya berapa?”
”Udah to”
”Gimana, kira-kira?”
“Ndak ada uangku to”

Waduh,.. tak ada uang, bagaimana mau berangkat. Kudekati beberapa orang yang dari tadi pagi bersama dengan ito itu. Ada seorang ibu-ibu, sudah lupa ntah boru apa namboru itu.
”Ito itu katanya tak punya uang namboru?”
”Terus bagaimana ya, tapi tunggu aja to kami kumpul-kumpul dulu”

Belum sempat kuberitakan jika kepastian uangnya harus cepat, Lae Saragih memanggil.
”Lae, utusan kantor mendiang sudah mau datang”
”Ok, Lae kita bicara disini aja”

Tak berapa lama, ada dua orang datang, wajah tegap besar, satu orang membawa tas. Kami persilahkan duduk dilantai, dekat pintu masuk sisi timur. Aku mulai menjelaskan jika mendiang dan keluarganya, sesuai tradisi Batak menginginkan jenazah dimakamkan di kampung halaman. Situasi ekonomi yang memang di perantauan hanya bersandarkan ada gaji operator, sungguh sulit untuk mendapatkan uang sebesar permintaan rumah sakit. Belum lagi dengan situasi dkampung. Belum lama, Ibu dari mendiang meninggal dunia.
”Semua serba sulit mas, jadi jika memungkinkan tolong kiranya di bantu semaksimal mungkin”
”Terimaksih, kami turut perihatin dan belasungkawa, Cuma kami juga lagi follow up ke kantor Jakarta” ungkap Tony, pria yang datang tanpa tas.
”Memang tidak ada dalam aturan, untuk kejadian semacam ini, mas?”
”Belum ada, mungkin karena ini baru pertama kali” jawab Tony
”Ok-lah, sembari mas cek, kira-kira berapa yang bisa dibantu untuk sementara ini?”
”Sementara ini yang pasti, kami hanya bisa bantu Rp.1.500.000”

Mendengar ini kepala tambah pening. Rp.6.400.000, bisa bantu Rp.1.500.000, lantas Rp.4.900.000 dapat dari mana? Ito itu ndak punya uang!

Kulihat kearah luar, cari angin dulu, sementara mereka kutinggalkan saling tawar menawar. Sekiranya pihak perusahaan dapat menambah jumlah uang. Terlihat lingkaran manusia dekat pintu berbicara serius. Bahkan sedikit agak tegang.

Jam sudah mununjukkan pukul 12.15 WIB. Kulihat dari tangga muncul Agus Nainggolan. Yang tadi pagi kutinggalkan dirumah. Maklum manusia yang satu ini sangat aktif ke gereja. Dia janji, jika sudah pulang, langsung meluncur kerumah sakit.

”Sudah gimana, pra?” tanya Agus
”Belum tahu, ntah mau di bawa pulang kapan. Itu masih diskusi tentang biaya yang bisa dikasih tempat kerjaya”
”BPH natua-tua dah pada tahu?”
”Belum kepikiran kesana, tapi kalo bisa coba aja hubungi dulu”

Sementara Agus menekan tobol handphone-nya, aku ambil sebatang rokok ten mild. Tarik yang panjang, gila luar biasa. Empat jam sudah tidak merokok. Dalam situasi seperti ini, asap rokok seolah membawa semua masalah ikut terbang keangkasa. Tak lama Agus berbicara di telepon. Dia mengatakan sebentar lagi Pak Roy, wakil ketua Umum akan datang bersama Bang Morris, Ketua Natal dan Bang Geby, penasehat Naposo. Lumayan, setidaknya dapat membantu bertukar pikiran atau malah men-take over masalah ini. Bisa sedikit lebih santai.

Ngobrol agak santai bersama Agus, menikmati udara dibawah pohon, persis ditepian jalan raya, depan Gedung jenazah. Nikmat sekali rasanya, walaupun merasa sepertinya ada yang kurang. Tikar dan bantal guling. Hembusan anginnya sudah pas! Enak sekali menggunakan jalan raya ini untuk tempat duduk santai. Maklum jalan ini jarang dilewati kendaraan, karena merupakan bagian dari jalan bundar, penghubung pertigaan jalan raya.

Kira-kira 10 menit kami ngobrol, dan seorang bapak – bapak datang. Belum kenal. Di menjulurkan tangan, untuk bersalaman.

”Nainggolan”
”Malau” balasnya.

Dia menceritakan jika pembicaraan dengan perusahaan sudah selesai. Dan hasilnya tetap Rp.15.00.000. Namun pihak perusahaan Batam akan berusaha mengurus biaya ke Jakarta. Tapi belum ada kepastian biaya dapat dicairkan.
”Jadi dananya sekarang baru ada satu setengah ya, Lae”
”Olo, Lae” Malau.

Kuajak Lae Malau dan Agus menuju ruang Jenazah, untuk menemui keluarga mendiang lainnya. Untuk membicarakan kepastian dana yang bisa disiapkan.
”Kira-kira gmana to, soal dana yang bisa disiapkan?” Agus
”Gmana to, kami minta tolong, duitnya Cuma ada yang satu setengah juta aja.” Nasta
”Memang ndak ada lagi yang bisa dipinjam?” Agus
”Gini aja, kami coba dulu kumpulin diantara kami, sebenatar ya to” salah satu dari keluarga mendiang yang belakangan kutahu Br. Simbolon

Mereka berkumpul semua, sambil melihat isi tas dan dompet masing-masing. Setelah beberapa menit, duit sudah terkumpul ditangan namboru Br. Simbolon.

”Rp.3.400.000, semuanya to” Br. Simbolon
“Masih kurang tiga juta” Agus

Tak berapa lama, dating telepon dari Pak Roy, mereka sudah di daerah sekupang. Dia minta agar di cek, besaran biaya rumah sakit. Mana tahu jika memberangkatkan sendiri biaya bisa lebih murah.

Telepon ditutup. Aku masuk ke ruang suster bersama Agus.
”Maaf suster, jika hanya biaya rumah sakit sama peti kira-kira berapa ya? Agus

Utak-atik kalklator lagi. Terlihat selembar kertas ukuran kecil mulai dicoret-coret lagi.

”Rp.3.200.000, Mas,” Suster
”Itu termasuk jika kami berangkatkan besok, tanggal 2 Januari 2010” Agus
”Ya Mas, itu termasuk sampe besok, dan biaya antar ke Bandara” Suster
”Terimakasih Suster” Agus, kami keluar.

Diluar sudah terlihat, Pak Roy, Bang Geby dan Bang Morris. Bang Morris mengajak diskusinya di sebelah belakang ruang Jenazah, kebetulan ada taman. Duduk membentuk lingkaran. Agus menjelaskan tentang biaya rumah sakit.
”Itu bisa jadi lebih murah, karena biaya karantina paling Rp.50.000, surat jalan polisi, Rp. 20.000, biaya penerbangan paling mahal Rp.1300.000” Pak Roy

Mendengar penjelasan ini, total biaya hanya sekitar empat setengah juta rupiah. Bisa diirit lebih satu juta rupiah. Lumayan bisa ongkos pengantar jenazah, ito Nasta. Bang Geby minta kami untuk mengurus surat-surat secepatnya. Pukul 2.30 WIB, Agus, Teguh dan Aku berangkat menuju Poltabes Barelang, mengurus surat jalan.

***
Sekitar pukul tiga kami sampai di Poltabes Barelang. Masuk ruang yang mengurusi kecelakaan lalu lintas, KAKALANTAS. Disana bertemu dengan seorang polisi, dibajunya tertulis, Budi.
”Selamat sore Pak” Agus
”Selamat, sore” Budi
”Kami mau mengurus surat jalan, atas nama Marulas Nainggolan yang meninggal kecelakaan semalam pak” Agus
”Disini tidak ada nama yang anda sebutkan” Budi, sambil menunjukkan kertas dan menjelaskan memang ada satu orang korban tanpa identitas.
”Mungkin itu pak! Yang tanpa identitas itu” Agus
”Mana bisa mungkin, harus pasti, coba cek dia pake no polisi motor-nya cocok ndak?” Budi
”Kebetulan kami ndak tau pak, kami hanya ngurus” Agus
”Memangnya ndak ada yang tau, saudaranya?” Budi
”Ada kakaknya, Cuma kami tanya dia juga ndak tau” Agus
”Wah gimana ini, tadi juga data jenazah yang tiga juga salah semua, ntar ini juga salah lagi, kan bisa jadi masalah mas,” Budi
”Baik pak, kami coba tanya lagi” Agus

Kami keluar dari ruangan. Diluar kami ngobrol, tak lama Agus minta Teguh menghubungi kakak mendiang.
”Kakaknya ndak tau pra, dia Cuma kenal dengan motor itu”

Agus masuk lagi keruangan pak Budi.
”Pak, ndak ada yang tahu no polisi motor itu, suratnya juga ndak ada yang tahu disimpan dimana. Cuma ada yang kenal motornya.” Agus
”Suruh aja datang biar dilihat benar ndak motor itu” Budi.

Agus keluar lagi dari ruangan. Kami diskusikan lagi. Jam sudah menunjukkan pukul 16. 30 WIB. Hari sudah mulai menuju gelap. Diputuskan, lebih baik mengurus surat karantina dulu. Karena jika harus menunggu Nasta, akan memakan waktu. Jadi telepon dulu jumpa di Poltabes jam enam sore.

Kami berangkat ke kantor Karantina di Batu Ampar. Tidak lama hanya sekitar setengah jam. Cuma total biaya tak seperti perkiraan, bengkak jadi Rp.100.000,-. Kami langsung meluncur balik ke Poltabes dan tiba setengah enam. Nasta belum tiba.
Kami duduk, merokok sambil ngobrol. Terlihat asap rokok meluncur dan moncong begitu cepat. Gila, seperti orang sakau merokok.

Setengah jam Nasta tiba. Masuk kantor polisi. Dan pk Budi memanggil anggotanya untuk menunjukkan gudang tempat motor disimpan. Begitu pintu dibuka, senter diarahkan, Nasta sudah mengenali motor mendiang.
Kami naik keatas, melapor balik ke pak Budi. Surat keterangan di berikan untuk dibawa ke Intelkam. Agus meluncur ke Intelkam, membawa berkas dari pak Budi. Tak lama, urusan sudah beres. Di kantor polisi, tanpa biaya. Lumayan, ada kemajuan. Kami berangkat dari Poltabes sekitar pukul tujuh malam. Kami langsung pulang menuju batu Aji, ketempat Agus.

Sesampai di rumah ada yang kelupaan, jika kami harus telepon suster untuk memastikan jam keberangkatan. Teguh angkat telepon, cerita pendek. Tugas malam ini selesai.

***
Pukul 6.00 WIB, kami sudah bagun. Dan berangkat menuju RSOB. Aku boncengan bersama Agus, bersama kami ikut, Appara Botax, Azis. Kami tiba di RSOB sekitar jam tujuh pagi. Disana sudah terlihat keluarga mendiang. Kami menjumpai suster dan menanyakan perkembangan.

”Jam 9 nanti sudah selesai mas”

Kami duduk-duduk didepan ruang jenazah sambil merokok dan minunm kopi. Tak terasa sudah jam sembilan, suster memanggil pertanda jenazah siap di berangkatkan. Agus minta agar didoakan sebelum dimasukkan ke mobil ambulance. Kami berdoa. Ambulance berangkat menuju bandara Hang Nadim.

Di bandara, tiba sekitar jam sepuluh. Pesawat akan berangkat jam 12.00WIB, Cuma butuh karantina bandara sekitar satu jam. Sekitar pukul sebelas siang, kami mengantar ito Nasta dan satu lagi adik mendiang munuju ruang tunggu, di temani Agus. Aku, pak Roy, Bang Morris menungggu di warung kopi Bandara. Ngobrol panjang, lupa waktu. Jam sudah menunjukkan pukul 13.20 WIB. Kami bubar. Puas sudah tahun baru tahun ini, berseleweran diatara Sekupang, Batu Ampar dan Bandara Hang Nadim. Salam. (PS)