14 Desember, 2009


Horas!Horas!!

Kawasan Depot Petamina Tongkang, Punggur-Batam

INDUSTRI BATAM


Horas!Horas!!
Kawasan Industri Galangan dan Pengemboran Minyak Punggur, Batam

JALAN MENUJU PUNGGUR


Horas!
Perjalanan pukul 13.30 WIB, Menuju Ecogreen yang terletak di kawasan Industri Punggur.

30 September, 2009

Sekilas Deskripsi Berita Kompas dan Majalah Tempo Bulan Juli 2005

Seperti biasa, nias kembali melakukan kliping berita tentang lingkungan terhadap Koran Kompas dan Tempo. Pada kliping kali ini dilakukan lebih spesifik, dengan membagi berita menjadi delapan wilayah. Mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku, Nusatenggra, dan terakhir Papua. Selain pembagian yang didasarkan wilayah, kliping kali ini juga dibagi atas tiga bagian, pertama adalah isu bersifat lokal, kedua berita dengan isu lokal namun implikasi kebijakan nasional. Ketiga adalah berita yang berhubungan dengan lingkungan yang bersifat nasional.

Namun dalam kliping kali ini yang akan coba dideskripsikan adalah berita yang masuk dalam kategori pertama, isu yang bersifat lokal. Dari seluruh berita yang dikliping mencakup berbagai macam tema, mulai dari infrastruktur, kerusakan jembatan sampai pada kelangkaan BBM.

Dari hasil pembacaan sekilas yang dilakukan terhadap seluruh berita yang dimuat oleh kedua media tersebut, dapat dilihat bahwa Sumatra menempati proporsi paling besar. Kecuali beberapa wilayah diatas, Papua dan Maluku, tidak masuk dalam pemberitaan Tempo. Terutama Kompas, sebaran yang menempatkan Sumatra sebagai lahan pemberitaan sangat jauh lebih besar dibanding dengan wilayah lainnya. Mengikuti Sumatra, wilayah kedua yang mendapat porsi terbesar adalah Kalimantan, menyusul Papua ( Kompas), Sulawesi, Nusatenggara, Maluku dn terakhir pulau Bali.

Sementara jika dilihat dari proporsi tema yang dimuat dalam pemberitaan tersebut. Kompas secara keseluruhan memuat berbagai tema yang beragam, dalam suatu wilayah, walaupun tetap memiliki tema yang dominan. Sementara Tempo, secara umum dapat dikatakan menuangkan tema yang hampir sama, yaitu pencemaran lingkungan.

Tema yang dimuat dalam pemberitaan Kompas wilayah Sumatra, menempatkan masalah infrastruktur pada top rangking pemberitaan. Isinya sebagian besar tentang kerusakan jalan, jembatan maupun polemik tentang pembangunaannya, dan satu berita tentang pembukaan kebali sebuah jalan. Peringkat kedua tentang muatan beritanya adalah tentang pertanian. Isinya berkisar tentang kemalangan petani akibat harga yang semakin turun, pembakaran lahan, irigasi dan kemiskinan yang dialami warga sebagai akibatnya.

Selanjutnya disusul dengan pemberitaan perompakan maupun penyeludupan, mulai dari CPO hingga kayu. Berikutnya tentang kesehatan, mulai Flu burung dan kematian bayi akibat kelahiran yang terlalu dini, dan pada akhirnya berujung pada ketidakmampuan ekonomi warga. Setelah itu baru masuk pada isu kerusakan lingkungan, berupa pencemaran, potensi pertambangan yang semakin menurun hingga Ladang Ganja Ditemukan Aceh). Dan terakhir adalah berita tentang Kelangkaan BBM (Palembang), Gangguan Trafo (Palembang), Perburuan Liar Gajah (Lampung).

Sementara Tempo untuk wilayah Sumatra mengulas tentang supplay Energi yang semakin menipis, di Aceh, pengerukan Tambang di Bangka, serta kebakaran hutan di Sumatra.
Untuk Wilayah Kalimantan Kompas menempatkan kerusakan hutan sebagai pemberitaan yang paling sering muncul. Kerusakan ini akibat penebangan liar, kebakaran hutan maupun maraknya penyeludupan kayu. Dan satu diantaranya membahas tentang perlunya lapangan kerja sebagai usaha pengurangan penebagan ilegal oleh masayarakat. Isu kedua yang mucul adalah tentang kesehatan, Flu burung dan rabies. Flu burung berisi tentang kekurangan vaksin diwilayah tersebut. Selanjutnya berisi tentang kerusakan jalan, perompak minyak sawit, kematian penyu akibat jaring nelayan di Kalimantan Timur. Untuk Tempo wilayah Kalimantan memuat sebuah berita tentang pencemaran laut akibat tumpahan minyak.

Papuan dalam ulasan kompas sebagian besar memuat tentang peristiwa yang tenggelamnya kapal Digoel. Isinya mulai dari penyebab, korban, tersangka hingga evakuasi.Mengikuti kecelakaan Digoel, isu selanjutnya adalah tentang potensi kekayaan emas Papua, khususnya wilayah Siriwo, selanjutnya adalah masalah hutan, satwa, dan kesehatan memiliki proporsi yang sama.

Sulawesi dalam pemberitaan Kompas menyajika beritanya dengan menyebar. Temanya mulai dari rencana pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit (Sultengg). Perbatasan, yang berisi tentang minimnya perhatian pemerintah, Kepanikan warga akibat gempa di Sulut, tentang Gunung yang bertambah tinggi akibat letusan. Terakhir adalah tentang relokasi buyat yang tidak manusiawi. Sementara Tempo menempatkan tentang kasus Buyat menjadi satu satunya isu Sulawesi

Nusatenggara dalam Kompas memuat tentang busung lapar, keracunan setelah memakan ikan laut, dan satu lagi tentang perpajakan, ketidakadilan yang dialami oleh pedagang mutiara. Sementara Tempo menyoroti tentang trumbu karang, dalam usaha perbaikan alam bawah laut Komodo.

Dua wilayah dengan proporsi paling sedikit dalam pemberitaan media tersebut adalah Bali dan Maluku. Untuk Maluku, Kompas hanya menempatkan tiga berita. Isinya tentang perdagangan ilegal satwa Nuri, Saluran air yang rusak, dan kesulitan yang dialami pengerajin akibat kelangkaan bahan baku. Bali, tempo memuat tentang pencemaran logam berat di pantai Kuta, yang ditakutkan akan mengancam industri pariwisata. Kompas pun mengangkat isu pencemaran sumur Bedugul, akibat adanya bau belerang.

Nandan, Jogja, 30 Sep 2005

Potret Kalimantan, lewat Foto

Selasa 8 Februari 2005 harian Kompas, seperti biasa menempatkan foto pada bagian depannya. Foto ini, seperti biasa kita ketahui dalam hal berita bisa dikategorikan sebagai foto headline. Pada tanggal itu, foto yang menjadi headline, sekilas foto itu tak lebih seperti menunjukkan segompokan rumbai. Rumbai, dulunya biasa dipakai orang sebagai atap rumah. Kini atap yang terbuat dari daun puhon ini hanya digunakan untuk atap rumah – rumahan disawah.

Itu bukan rumah tempo dulu, atau rumah – rumahan di sawah. Didalam foto terlihat, disamping gompokan rumbai berserakan kayu yang begitu licin mungkin karena diketam, siku - siku yang cukup presisi. Mungkin hal semacam itu sulit ditemui pada rumah tempo dulu, apalagi rumah – rumahan di sawah. Entahlah, pikiran banyak orang akan melihat dan coba menebak foto apa itu?


Tapi, mungkin tak akan jauh dari perkiraan saya. Itu adalah foto tempat kadang sapi atau kerbau. Karena bangunan semacam itu yang mungkin masih banyak kita temui menggunakan atap rumbai. Atau mungkin juga gudang penyimpanan tembakau ataupun hasil pertanian lainnya yang biasanya ada di sawah.

Sepertinya kalau gudang menampung hasil pertanian, tidak. Disana tak terlihat sawah ataupun ladang. Disana hanya terlihat rumah beratapkan seng dan sedikit bagian bangunan yang terbuat dari beton.

Menerka itu sebagai kadang sapi atau kerbau, mungkin lebih dekat. Soalnya disekiranya terlihat rumah – rumah yang sudah beratapkan seng. Mungkin rumah pemilik kadang sapi. Tapi, apa mungkin didekatnya bakal ada yang mau mendirikan bangunan beton semacam itu, yang tampoaknya mirip pertokoan.

Ternyata salah semua. Itu bangunan sekolah yang sedang roboh. Untung ada caption yang dapat menjelaskan. Wah, parah juga kalo sampai tempat itu terlalu lama dianggap sebagai kandang kerbau. Lah, anak – anak yang belajar itu tentu akan marah. Masak. Tapi bagaimana bisa bangunan semacam itu digunakan untuk belajar, apalagi untuk sebuah institusi pendidikan formal! Apa masih nyaman? Apalagi yang belajar disana masih anak – anak kecil, sekolah dasar. Berapa banyak nyamuk yang bersembunyi dan siap menyantap darah – darah mereka? Akan demam berdarah dan cikungunya akan menyerang mereka?

Sebenarnya ada pertanyaan biasa dan sangat terduga. Kok mau - maunya mereka belajar ditempat seperti itu. Gurunya seperti apa ya? Cewek atau Cowok? Kayaknya sih laki – laki. Sulit memikirkan perempuan yang terbiasa dengan dandan akan mengajar disana. Kalaupun itu terjadi, kayaknya aku bisa membayangkan perempuan seperti apa, dia itu pasti perempuan tangguh. Sangat tangguh. Karena tak takut saat – saat tertentu bangunan itu akan roboh. Jangan – jangan dia sudah yakin dengan kekuatannya. Tapi, sangat bisa juga dia sangat peduli dengan pendidikan. Tapi yang jelas, bayarannya takkan lebih besar dari guru ditempat dengan gedung yang mencleng.

Inikah poteret pendidikan di negeri ini. Bisa jadi, bagaimana tidak, lebih banyak kabar korupsi yang terdengar dari pada berita baik tentang pendidikan. Wah, korupsi! Apa duit untuk merawat bangunan sekolah yang roboh itu juga ikut dilahap? Sudahlah, sulit menebaknya. Sama dengan menjawab tebakan teman saya yang pintar bikin tebakan. Sampai – sampai tak pernah terjawab, karena cuman dia yang tau jawabnya.

Kembali lagi. Sebenarnya wajar juga kalau bangunan itu terbuat dari kayu. Karena memang sekolah ini berada didaratan Kalimatan, pulau dimana kayu sangat berlimpah. Sampai – sampai, hutan Kalimantan ini dimasukkan sebagai paru – paru utama dunia, dari serangan lapisan ozon yang kian menipis. Ironisnya, hutan yang harusnya dapat digunakan untuk pembangunan, lebih banyak diseludupkan.

Istilah kerennya kini, ilegal loging. Saking banyaknya ilegal loging, yang diseludupkan ke luar Kalimatantan dan luar negri hingga kayu yang bangun sekolah itupun bukan kayu pilihan. Kayu pilihan untuk dijual keluar, kayu yang biasa – biasa dipakai untuk kepentingan masyarakat setempat. Misal bangun sekolah.

Di foto, terlihat besarnya kayu penopang rumbia tak sepadan dengan besar tiang penyangganya. Kecil sekali. Kayunya habis untuk dilarikan, untuk bangun sekolah cukup dengan kayu sisa, itupun kalo ada.

Bocah kecil, melihat – lihat entah apa yang ada dalam pikirannya. Sepertinya mereka lagi mencari sesuatu. Tapi kayaknya tak sedang mencari ilmu, yang biasanya terdapat disana,dari guru yang siap mengajar. Atau jangan – jangan sedang merenungi nasib temannya, yang luka - luka karena tertimpa bangunan itu. Tetapi jika dibandingkan dengan pakaian yang digunakan bocah itu, sebenarnya terlihat kawasan itu sudahlah maju. Pakaian itu, sepertinya sudah mirip dengan baju – baju yang dipakai anak – anak di perkotaan di daerah yang sudah maju. Sangat kontras dengan kondisi sekolah yang sedang roboh. Cukup beruntung negeri ini anak – anak ini masih mau sekolah, ditengan kondisi demikian. Mereka memang punya niat untuk belajar!

Sekolah ini terdapat disekitar kota, tepatnya di jalan Raya Kakap, hanya 19 dari kota Pontianak. Sayang, nuansa kota yang biasanya tercermin dengan modernitas, yang ditunjukkan dengan asupan teknolgi termasuk bangunan sama sekali tak tampak. Sekolah disekitar perkotaan saja sudah demikian parah. Apalagi, kalau sampai membayangkan sekolah yang ada dipelosok desa. Sepertinya ini menggambarkan Kalimantan seperti yang biasa terdengar. Tertinggal.

Nandan, Jogja 8 Feb 2005

Sarjana!!!

Hari ini tepat dua hari setelah aku diwisuda dan mejadi seorang sarjana Teknik Industri. Seorang teman datang bertanya, apa rasanya setelah menjadi sarjana. Aku ingin langsung memberikan jawaban. Yang terjadi aku hanya dapat diam beberapa lama. Memikirkan apa yang menjadi jawabanku atas pertanyaan itu.

Tak ada jawaban yang begitu baik muncul dalam pikiranku. Buntutnya yang ada dalam pikiranku hanya mengatakan, "biasa saja". Tak ada yang luar biasa! Mengenang ini aku jadi ingat pula pernyataan suster Lumban Raja, “wah sudah plonglah ya, sudah selesai”
Saat itu aku hanya menjawab sepertinya tidak ada muncul rasa plong itu.

Ya rasa plong, mungkin biasanya diwakili dengan hembusan napas panjang wah……. akhirnya. Itu tidak muncul. Berbeda saat selesai ujian pendadaran, saat itu, saat dikatakan kalau anda berhasil mempertanggungjawabkan skripsi anda. Dan anda dinyatakan lulus dengan nilai A minus.

Semuanya seperti lepas, tak ada yang melekat, terbang. Entah karena saat itu baru saja selesai ujian dan menghadapi empat orang dosen yang rata rata lulusan S2 dan S3. Tapi, yang jelas rasanya beda, disana ada sebuah perjuangan nyata, dan menyiratkan kemenangan besar. Kini, saat wisuda, dengan acara utama mengukuhkan kemenangan menjadi seorang sarjana, rasa tak muncul. ohhh sungguh sesuatu yang tak lengkap. Yap Plong itu tak ada

Jogja, 2 Nov 2005

Sebuah Refleksi: Salam Dalam Damai!

Entah memulai dari mana untuk mengungkapkan keluh kesah ini. Keluh kesah tentang bangsaku, Indonesia yang indah nan permai dulunya. Cerita nenek moyang akan negeri sejahtera dengan gelimpangan kekayaan alam, sepertinya hanya mirip mimpi ditengah malam. Jangankan kesejahtraan, melihat dan memandang burung berkicau atau rerimbunan hutan hijau bagaikan dansa latin saja yang sulit kutatap kini. Semua telah habis, Bapa dan Ibu yang mulia. Habis diterpa jalannya waktu yang beriringan dengan keserakahan.

Negeri itu tak menyanyi lagi. Lagu dengan suara kegembiraan dengan hentakan nada - nada kekohan sebuah bangsa berubah menjadi tangis. Ya, kini dia sedang menangis, meratapi. Ia kini hanya mampu melihat kehampaan dan kelunglayan akibat ketidakmampuan. Bagaimana tidak harta yang dulu dibanggakan, kini hanya tinggal utang dan keterpurukan. Anak kecil tak mampu sekolah akibat kemiskinan. Perempuan melahirkan ditepian jalanan. Sementara “keangkaramurkaan” menjadi simbol kehidupan yang ditonjolkan.

Sekarang yang tertatap mata hanyalah tinggal ringisan tangis bayi dipelukan ibu tak berdaya dengan ribuan rintangan membentang, yang siap menerkam masa depan. Pemandangan tumpukan senapan yang siap memuntahkan peluru. Dan jejeran kendaraan lapis baja yang siap menggilas dan menyantap anak bangsa yang hendak menatap masa depan. Menagis, memang demikian adanya. Tetapi ini hanyalah ratapan rakyat.

Semua kini sulit dipercaya, bahkan untuk percaya akan cerita nenek dan kakek moyang pun serasa harus membalikkan hati dan pikiran. Apa semua itu dulu benar. Apa benar nenek dan kakek moyangku dulu begitu hebat dan perkasa dalam membangun negeri dan bangsanya. Lah, keturanan siapakah dia, yang kini jadi panutanku. Entah dan kembali entah, semuanya jadi layak kupertanyakan. Sampai kapan kita begini, negeri ini akan tetap tertinggal, menangis tragis.

Sungguh ku tak mengerti!

Setidaknya demikianlah kecamuk dan gejolak hati dan pikiran kini. Ketika rakyat jelata yang masih coba berpikir akan nasib bangsa, negara dan diriku sendiri didalamnya. Bahkan mungkin semua anak negeri inipun sama. Bapak dan Ibu yang mulia, tak ada lagi yang bisa kita tatap dengan tenang kini. Sulit untuk menghayal dan bermimpi, ketika tau semuanya itu sekedar bungan dari gelapnya malam. Bagaiamana tidak, mulai dari masalah anak muda sampai masalah pemimpin negeriku.Semuanya hanya dapat menawarkan cerita yang tak pasti.

Salam terakhir saat hidup sudah tinggal renungan.
Jogja, 9 Nov 2005

Gubernur era Otonomi

Ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar ditengah samudra, tentunya membutuhkan seorang nahkoda yang handal. Setidaknya ada beberapa kriteria umum yang harus dipenuhi, mulai kemampuan berenang hingga kemampuan teknis dan kemampuan mengambil keputusan disaat saat kritis. Selain itu, seorang nahkoda pun harus mampu membaca kondisi perairan yang sedang diarungi. Misalnya, karakter lautnya, mulai gelombang ombak dan faktor cuacanya. Sehingga kapal yang dipimpinnya pun dapat tiba dengan selamat di dermaga sebrang.

Tak jauh dari persoalan pemimpin itu, sebentar lagi kapal yang bernama Sumatra Utara akan memilih nahkodanya (Gubernur). Melalui sebuah mekanisme– pemilihannya. Mengibaratkan Sumatra Utara sebagai sebuah kapal, memang ada perbedaan nyata dari masa sebelumnya. Sebelumnya kapal ini berlayar di samudra negara yang berbentuk sentralis--. Namun kedepan kapal ini akan berlayar mengarungi samudra otonomi.

Dimana alur birokrasi pusat - daerah berada pada daerah tingkat II, terjadi reduksi- terhadap peran pemerintah tingkat I. Prinsip utamanya, dalam otonomi daerah terjadi pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah tingkat II, yang merupakan wilayah administratif. Gubernur hanya sebagai pemimpin tertinggi wilayah administrasi otonomi, bukan lagi menjadi pemimpin utama sebuah wilayah administratif. Misalnya kebijakan pembangunan akan lebih banyak berada di daerah tingkat II.

Melihat reduksi atas munculnya otonomi daerah ini, menuntut adanya perubahan paradigma dan visi kepemimpinan. Salah satu bangunan paradigma kedepan, gubernur menjadi penyelaras perjalanan pembangunan masyarakat. Keberadaan otonomi, menempatkan gubernur sebagai pemacu jalannya pembangunan oleh pemerintah kabupaten. Sehingga persoalan krusial yang sesungguhnya adalah perlunya penanganan lintas sektoral, melalui sistem koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi baik yang bersifat horizontal di daerah masing-masing maupun vertikal dengan pemerintahan yang lebih atas, dapat teratasi.

Dengan kemampuan melihat dan membaca relaitas kawasan dan masyarakat Sumatra Utara. Mulai dari melihat potensi yang dimiliki Sumatra Utara. Sehingga konsep pembangunan yang ada tidak lagi membebankan rakyat. Karena bukan rahasia umum lagi bahwa konsep otonomi telah pula mengalami pereduksian makna. Kecendrungan ini pun sebenarnya disebabkan ketidakmampuan birokrasi pemerintah dalam menggali potensi yang ada. Akibatnya melihirkan kebijakan pembebanan pajak pada masyarakat.

Disisi lain, Gubernur selaku pimpinan daerah propinsi lebih menguatkan fungsi monitoringnya. Dengan melihat secara langsung berbagai program pembangunan utamanya yang bersumber dari dana-dana pembangunan propinsi dan pusat. Contohnya penggunaan pembangunan yang bersifat fisik seperti pembangunan gedung, kantor, jembatan dan yang lainnya, maupun nonfisik yang menyangkut peningkatan human development indeks masyarakat di daerah seperti tingkat pendidikan masyarakat, kesehatan dan kesejahteraannya.

Hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk mengevaluasi out put dan out come, termasuk kualitas kinerja pemerintah daerah kabupaten dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan, pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemaknaan sistem monitoring dan evaluasi yang dilakukan, tidak ditempatkan sebagai upaya pengawasan yang parsial.Tetapi, merupakan proses kontinuitas dari perencanaan berkelanjutan. Untuk mengetahui dan mencermati tingkat efektivitas pelaksanaan pembangunan itu yang telah dilakukan.

Upaya reinventing governance sebagai pengembangan paradigma baru dalam sistem birorkasi pemerintahan. Menempatkan pemerintahan propinsi bukan sebagai atasan langsung kabupaten Sehingga membawa konsekuensi perubahan makna sistem pengawasan, yang dilakukan gubernur. Dari struktural ke pengawasan yang bersifat fungsional.
Namun untuk mendapatkan kriteria gubernur yang ideal bukanlah persoalan gampang. Dibutuhkan dukungan semua elemen masyarakat.

Apalagi sistem pemilihannya masih melalui mekanisme DPRD. Untuk itu perlu penguatan bagi lembaga ini sehingga dapat menyalurkan hati nurani rakyat. Untuk menghindari budaya korupsi dan kolusi yang tertanam dan berakar kuat dalam lembaga ini.

Belum lagi, faktor budaya yang menaungi masyarakat Sumatra Utara. Dimana kedekatan hubungan kekerabatan masih sangat kental. Pada runutannya dapat menghasilkan proses pemilihan yang didasarkan pada ‘nepotisme’. Kultur masyarakat yang demikian tentunya membutuhkan penyadaran. Sekaligus dapat mencegah munculnya pemahaman bahwa Gubernur harus orang Sumatra Utara asli. Sebaliknya, mengarahkan pandangan masyarakat menjadi Gubernur adalah orang yang dapat melihat dan mengembangkan potensi Sumatra Utara.

Jogja, 18 April 2003

Akupun Terkejut, PASTI!

Mereka bilang itu pilihan, tapi bagiku itu nekad

Demikianlah pengalaman mengajarkan sesuatu kepadaku ketika ber—ada di Pojok Pusgiwa yang begitu gila itu. Persoalan manusia menjadi pertaruhan dan perdebatan yang selalu ada di dalamnya. Bagaimana tidak, ruangan ini memang diproklamirkan sebagai pers, memakai embel Mahasiswa lagi. Hingga sebutannya pun pers Mahasiswa. Dua kata yang memiliki arti dan tanggungjawab besar. Kita kenal, tahu dan paham apa itu Mahasiswa, demikian juga kiranya pers.

Kedua kata itu, tidak semata mata menjadi klausa, tapi juga sekaligus menjadi frase. Lantas menagapa? Mungkin itulah pertanyaannya. Benar, setidaknya jika dipahami pengertian yang terdapat dalam kedua kata itu tentunya menjadi memiliki pengertian yang jauh lebih dalam dari pada kedua kata itu berdiri sendiri. Mahasiswa, lebih jelasnya dikatakan sebagai manusia intelektual, yang memang memiliki kemampuan membangun rakyat. Lebih progresifnya, adalah golongan kritis dan kreatif terhadap pembelaan rakyat.

Sementara pers memiliki pemahaman lebih pada wadah penyambung lidah (ke-kritis-an) dan juga media pembelaan hak rakyat yang tergilas oleh kekuasaan. Dua pengertia kata yang begitu mulia, itulah identitas kita kini. Tidak bisa tidak, kita menjadi bagian golongan abu - abu (mahasiswa) yang paling berat, setidaknya itu kata Pius.

Jogja, 20 Okt 2005

Memahami

Malam memang selalu menggambarkan , kesunyian, kesepian sampai pada ketakutan. Ini hari kedua aku setelah lulus dari bangku kuliah, dan menjadi satu orang yang berhak memakai title ST (baca sudah Tua ya….) barusan saja aku menuliskan apa yang kurasakan setelah ada orang yang bertanya tentang arti dan rasa sebuah kelulusan. Semuanya nol besar.. ternyata seorang yang lulus dan menjadi sarjana ternyata tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan dirinya. Aku yakin, apalagi orang lain, pasti itu sungguh tak mungkin.

Dihari kedua ini selain itu yang muncul pertannyaan diatas, ada hal yang sama yang datang. Ini memang bukan dari luar, tetapi dari dalam diri. Apa yang kini kamu maknai hidup dan cinta. aku tak pernah mau bicara tentang yang satu ini. bagiku ini hanyalah sebuah perjalanan yang pasti dan harus dilalui setiap orang, sesuai dengan takdir. ya ini sedikit membingungkan,. Sebenarnya aku hanya percaya pada sebagian sisi takdir. Ya takdir bagiku hanya berlaku untuk dua hal, yaitu kelahiran dan kematian. Diluar itu Tuhan memberikan kita sebuah kebebasan, untuk mengisi hidup. Lantas tentunya bagaimana dengan cinta, dimana aku meletakkannya?

Aku belum pernah bisa meletakkan cinta dalam hidup secara final. Walaupun dari dua hal pendapatku tentang takdir, mau tak mau dapat disamakan dengan menempatkan cinta pada posisi diluar takdir. Sekali lagi ini inipun tak dapat kujawab dengan final, dimanakah aku telah dan harus menempatkannya ? Sungguh –sungguh pertannyaan yan g sulit. Kalo kamu membaca ini, berarti kamu siap memberikan jawaban, setidaknya yang sudah pasti menurutmu !

Salam teman.

Cerita pertama,02 Nov 2009

Kini Aku Ada Dimana.

Sekedar merasakan, melihat dan mencoba berbicara, setelah itu entah akan apa yang kulakukan?

“Selamat Datang Mahasiswa Baru” itulah bunyi Slogan yang cukup besar yang selalu di pampangkan hampir semua Universitas menyambut kedatangan mahasiswa baru, Maba. Tak ketinggalan UAJY pun turut menyapa mahasiswanya dengan spanduk yang sama dan tepat ditempelkan di pintu masuk uatama kampus III. Entahlah, mengapa sepintas aku memikirkan kata - kata itu. Apa karena kenangan empat tahun silam, kata yang sama menyambutku kala itu.

Memang kali ini agak berbeda, dulu rasa bangga dengan sambutan semacam itu. Apalagi ada bayangan bahwa kelak aku akan menjadi bagian dari sebuah komunitas akademik yang mampu memperjuangkan hati nurani rakyat. Bergabung dengan manusia yang mampu menumbangkan rezim angkara murka (baca: Suharto), setidaknya ada semangat semacam itu. Itu dulu, tiga tahun lalu!.

Kini tiga tahun lebih berada di UAJY, kampus yang cukup memiliki nama dalam jajaran perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Satu persatu mulai terlihat dan terasa jauh dari harapan. Tak banyak yang mau memiliki peran membangun sebuah komunitas impian itu, yang tinggal hanyalah generasi yang berkutat dengan impian pribadi.

Tak mengherankan jika, mahasiswa yang merupakan bagian terbesar ‘pengisi’ sebuah institusi pendidikan tinggi menelorkan karakter yang tak jauh adalah sama. Manusia yang mengisi ruang dan waktu, tak lebih hanya untuk diri sendiri. Datang kuliah pulang ke kamar kost dan mengharapkan nilai A alias istimewa. Setelah itu dapat melamar kerja dalam sebuah perusahaan atau intitusi yang memiliki pendapatan besar. Tak perlu tahu dan peduli akan nasib orang lain, diluar keluarga dan dirinya. Mau kelaparan, penyakitan, meringis atau sedih yang penting bukan Aku. Setelah itu, Kawin, anakku besok seperti itu lagi. Terus dan terus, itulah impian mereka kini, impian Poltak.

Akhirnya tak berbeda dengan apa yang di uangkapakan YB Mangunwijaya. Apa gunanya kita memiliki sekian ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintarannya.

Tak semua memang mahasiswa memiliki pandangan ataupun kemauan yang semacam itu. Banyak juga pada awal kedatangnya memiliki pandangan yang masih ‘tak terjamah’ kepentingan dan keinginan semacam itu. Mereka ingin tahu dan akhirnya memberikan sumbangan yang besar terhadap komunitas dan lingkungannya. Tapi mau apa lagi, institusi dengan berbagai kebijakannya memaksa mereka harus menjadi manusia yang individualis. Tak mau mengenal lingkungannya. Lihat saja betapa ketatnya aturan yang memaksa mahasiswa untuk bertingkah dan menjadi kost dan kampus sebagai tempat persinggahan untuk sekedar mendapatkan nilai A.

Padahal selain kemampuan dalam bidang akademik masih banyak peran lain yang ‘seharusnya’ di lakonkan mahasiswa. Perannya sebagai lokomotif perjuangan terhadap nasib rakyat. Itu merupakan bagian dari keberaniannya memakai label MAHA di depan kata siswanya. Sebab kini ia bukan lagi hanya manusia yang menuruti kebijakan ataupun tata aturan yang ada.

Tetapi juga mengambil bagian dalam memikirkan setiap kebijakan ataupun tata aturan dan mengkritisi setiap kebijakan yang ada. Kini ia menjadi salah satu motor penggerak demokrasi, bukan hanya orang yang ada untuk ikut serta berdemokrasi. Kini ia tidak hanya belajar tetapi juga mempertanyakan apa yang sedang dan ia pelajari. Kini ia pun harus mampu memberikan perannya terhadap lingkungannya. Ada yang bilang dan memang juga menjadi Agent of Change.

Sehingga seolah olah menjadi sangat sulit untuk mengelak dari pernyataan bahwa mahasiswa telah menjadi bagian dari kelas elit. Bahkan menjadi kalangan elit yang tak kenal satu sama lain. Jangankan kenal dan tahu dengan masyarakatnya, kenal dan tahu dengan lingkungan kampusnya saja mungkin hanya ada sedikit. Menempatkan diri pada strata tertentu yang sulit untuk dijamah. Sayangnya sulit untuk dijamah, tetapi mereka pun tak mau menjamah. Lihat saja betapa masyarakat mulai bosan dengan tindak tanduknya. Lihat saja, bagaimana mereka terasa sangat jauh dari masyarakatnya.

Kemana perginya pemahaman akan arti mahasiswa itu kini. Hilang ditelan apa. Kalau ditelan bumi bukankah bumi yang kita miliki hanya satu bumi yang menawarkan nafas kehidupan yang sedang kita pijak sekarang. Disebelah manakah dari bagian tubuhnya yang bulat ini, ia menempatkanya. Tapi apakah benar bumi dengan sengajanya memakan bagian dari dirinya yang sangat penting itu?

Atau jangan jangan ada planet lain yang datang menyerang dan mirip dengan bumi itu. Atau jangan jangan salah satu dari bagian tubuhnya telah ‘berzinah’. Kalau ‘bisa’ sedikit melihat bagian bumi yang paling dekat dengan mereka, institusi pendidikan. Jika diibaratkan ia menjadi ‘hati’ yang harus terus bekerja dan membersihkan darah ( mahasiswa sebagai out put) dan memprosesnya menjadi darah yang layak untuk mengisi ruang - ruang dalam tubuh(masyarakat).

Sayangnya kini selain tak mampu menghasilkan darah bersih, MAHAsiswa. Ia pun kini menjadi institusi yang mengkelaskan calon mahasiswa. Kemana Bumi ini akan dibawa, ruang dan waktunya masih mungkin. Tapi entah sampai kapan, kamu sekarang mau menempatkan dirimu menjadi apa dan siapa? Salam sobat dan selamat berjuang. Lupa selamat datang juga.

Bagiku yang berada Di Negri Suram

Negeri itu tak menyanyi lagi. Lagu dengan suara kegembiraan dengan hentakan nada nada kekohan sebuah bangsa berubah menjadi tangis. Ya, kini dia sedang menangis, meratapi semua yang terjadi. Ia kini hanya mampu melihat kehampaan dan kelunglayan akibat ketidakmampuan. Bagaimana tidak harta yang dulu dibanggakan, hanya tinggal utang dan keterpurukan disegala bidang. Anak kecil tak mampu sekolah akibat kemiskinan. Perempuan melahirkan ditepian jalanan. Sementara keangkaramurkaan menjadi simbol kehidupan yang tertonjolkan. Nasibnya kini.....

Menagis, memang demikian adanya. Tetapi ini hanyalah ratapan rakyat, bukan mereka yang duduk kongkang kaki di teras gedung mewah sana. Gambarannya memang aneh, sementara rakyat hidup dalam penderitaan akibat ketidak mapuan menjalani hidup akibat beratnya tekanan kemiskinan, ada saja sebagian manusia disana yang dapat hidup tenang dengan kaki yang mengongkang.

Mereka tak tahu, apa yang dimilikinya pun adalah bagian dari milik bersama yang harusnya dibagikan. Kenapa, karena kita adalah satu bangsa, satu tanah air dan juga memiliki Tuhan yang sama. Sisi sisi kemanusian, yang harusnya melekat pada diri, sebagi manusia telah hilang di telan peradaban yang dinamai keangkaramurkaan.

Tak ada yang beres dalam kehidupan bangsa ini kini. Pantaslah dia menangis. Nilai hakiki yang harusnya melekat pada”manusia”. Seakan akan berubah menjadi senajta masal yang setiap saat siap memangsa manusia lain. Hidup butuh ketenagan, kesenagan, adalah semboyan hidup bagianya sekarang.

Nilai nilai yang dilekatkan sang kuasa, sudah dibalikkan menjadi senjata penghacur. Menghisap darah manusia lain untuk menghidupinya tujuh puluh tujuh kali tujuh abad kedepan. Apa yang harusnya kumiliki kini. Sementara yang lain demikian adanya. Kenapa Aku tentunya menjadi pertannyaan yang sangat sulit.

Salah, Tidak juga. Walaupun paling sulit adalah menterjemahkan, dan menyadari pribadi. Tapi Sebaliknya juga, itu pulalah yang paling gampang dilakukan. Kemauan, menjadi alasan dibalik semuanya kini. Terus?

Ya aku kini berada disini. Menjadi bagian dari manusia yang turut meratapi hidup. Akibat sesuatu yang tak kumengerti sama sekali. Aku kini hidup di disebuah jerami yang didalamnya terdapat manusia yang sanma denganku. Meratapi!

Bagaimana kawan. Kita akan melakukan apa. Apa yang terjadi sekarang, akan menjadi refleksi kita bersama untuk melakukan sesuatu kedepan. Mau tidak mau memang kita harus menagmbil peran wal;aupun terasa sulit. Sesulit menanyakan dan menayadari dosa paling besar yang pernah kita lakukan. Pilihan kini menjadi berat? Karena kita berada disini.



Salam PASTI

Menatap Langit

Sobat apa kesedihan paling dalam yang pernah kamu alami. Apakah seseorang yang mati, pergi meninggalkanmu menuju alam berikutnya. Ataukah kepergian sesorang dari dekatmu? Kepergian dari segala sesuatu yang pernah dibangun bersama? Pernahkah kamu teringat apa yang terjadi pada bangsa ini sejak dulu. Masih kah kamu ingat ketika seorang bapak tua merangkak minta ampun kepada seorang penjajah atas perlakuan tak senonoh terhadap putrinya. Itu, hanyalah salah satu dari sesuatu yang menjadi landasan kebersamaan membangun bangsa ini. Sesuatu, perlawanan atas ketidakadilaan dan keserkahan atas muka bumi.

Senjata sepertinya tiba tiba meledak menghempas kepala. Ia pun jatuh tersungkur ketanah. Aduh ampun, kata terakhir yang hanya pengobat rasa sakit. Sakit atas segalanya.

Kini kita telah besar. Kini kita telah merdeka dan sudah melewati pasca reformasi. Pada akhirnya, semua menagajak manusia dalam bumi pertiwi ini bertanya pada dirinya akan arti merdeka hidup dan kehidupan.

Kamu tahu kenapa aku bertanya demikian. Jelas, ini kulakukan karena aku tak melihat perbedaan, antara masa lalu dan masa kini. Dulu bangsaku hidup dalam tekanan keangkaramurkaan bangsa lain. Kini bagsa ini tertekan oleh dirinya sendiri. Dimana rama dan rahwana berada dalam satu tubuh. Pergolakan dalam satu ring memang menjadi tontonan yang mengasikkan bagi sebagian orang. Sayang kita sering tak tahu kalau kita segaja dijual untuk dipertontonkan. Sebuah keuntungan besar bagi mereka. Ini hanya refleksi ngawur tapi nyata, dulu dan sekarang.

Bagaimana kalau kita bicara dalam frame yang lebih kecil. Namun tak menghilangkan sudut kekompleksan persoalan yang sama. Kamu hidup dimana, seberapa besar. Bagi yang baca ini, mungkin aku bisa tarik batas kecil yang jelas yang menjelaskan keberadaan kita yang sama Kita berada dalam kawasan pusgiwa nan murka akan jalannya kehidupan. Kalaulah memang tak semua demikian adanya. Mari kita sempitkan frame, biar kita bisa melihat lebih jelas, telangjang bulat. Tak ada yang perlu kusembunyikan darimu, dari dunia yang sangat kecil ini. Kita selalu berbicara betapa sesaknya dunia sana. Dunia yang penuh dengan kebengisan, keserakahan dan penghianatan.

Jogja 20 Sept 2009, Saat Menghilang

Maluku Miskin ,Maluku Sayang

Miskin maka kelaparan atau kelaparan makanya miskin? Entah, tapi demikian yang selalu terjadi. Di negeri ini jika topik pertanyaan mengenai yang tak mengenakkan akan sangat sulit dijawab mana sebab mana akibat. Kalau ditannya pada yang seharusnya mengurusi hal miskin dan kelaparan, sepertinya jawabannya ya kelaparan dulu baru miskin. Memang bagi pemerintah, kemiskinan sering baru tampak jika ada pertunjukan kelaparan dengan tokoh utama mereka yang busung lapar. Setelah itu baru tampak kalau rakyatnya telah melarat.

Beda dengan Wa Amra warga Maluku yang punya anak busung lapar itu (Rumah dan Bilik Pengungsian, Kompas 29 juni 2005 hal 36). Kalau ditanya yakin jawabannya pasti yang pertama, miskin maka kelaparan. Itulah sebabnya Wa Amra tidak lagi begitu mengeluh dan berputus asa, karena kelaparan yang dia alami hanyalah akumulasi dari sekian lama miskin dan akhirnya tak mampu lagi memenuhi kebutuhan perutnya. Dan akhirnya busng lapar. Pertanyaan diatas menjadi bagian dari keseharian yang selalu terjadi disekitar kita.

Harus kelaparan dulu baru tau kalo rakyatnya miskin.

Maluku dikenal kaya akan alamnya kini hanya mampu menampilkan pertujukan kemiskinan dan konflik. Tetapi menilik kondisi negeri yang katanya kaya dan budaya kekerabatan masyarakat yang begitu kuat. Sungguh sangat sulit membayang masalah kemiskinan dan konflik muncul. Lihat saja, Maluku sejak dulu dikenal sebagai tambang kekayaan akan rempah – rempah. Bahkan Spanyol dan Portrugis harus mengangkat senjata demi perebutan kekuasaan akan kekayaan ini. Secara kekerabatan, wilayah ini bahkan sangat dikenal dengan budaya gotong royong, pela gandong-nya. Warganya begitu toleran terhadap sesama. Namun semua ini serasa hilang ditelan waktu. Kini yang tampak adalah wajah manusia miskin yang sarat dengan kebencian.

Secara gampangan, konflik dapat ditimbulkan oleh bentuk ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan. Harapan yang sebenarnya sederhana. Harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan perut ditanah yang begitu kaya. Harapan bersekolah ditengah negeri yang merdeka, harapan akan rumah yang layak dan harapan sederhana lainnya. Sayangnya harapan itu hanya mimpi yang sulit digapai. Tengok saja, sepanjang tahun 2004 saja ada sekitar 133.023 atau setara dengan 46, 34 % keluarga di Maluku masuk dalam golongan rakyat miskin. (Kompas, Rumah Warga, Potret Kemiskinan di Maluku, 29 Juni 2005, hal. 36).

Ada banyak cerita dibalik semua penderitaan yang dialami oleh warga Maluku. Hasil kekeyaan tanahnya yang terkuras namun tak pernah memberikan sumbangan bagi terbangunnya kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Ternyata kini tanah yang dulunya subur itu hari demi hari telah berubah menjadi lahan yang tandus.

Curah hujan anatara 1000 – 2000 mm per tahun bahkan tak mampu lagi menahan rakusnya manusia mengeksploitasi tanah Maluku dan berakibat pada 1,1 juta hektar, sekitar 26,74 % dari seluruh luas wilayah Maluku menjadi lahan yang kritis. Tanah yang dulunya subur untuk ditanami kini hanya dapat menhasilkan debu yang merusak kesehatan paru - paru. Sayangnya ini semua terjadi disebabkan perilaku buruk manusia. Salah satunya kebiasaan negeri ini dalam menebangi hutannya tanpa penuh dengan pertimbangan. Dan pelakunya tak sulit untuk ditebak, mulai dari masyarakat hingga perusahaan penebangan hutan. Anehnya sungguh sulit membedakan mana yang dilakukan dengan legal dan yang ilegal.

Lantas apa memang sungguh sulit untuk menjaga kayu yang ada di hutan? bukankah kayu yang di hutan itu sunggu berat dan sulit untuk dipindahkan? Tapi itu pulalah ciri paling khas negeri ini. Untuk memindahkan harta curian begitu mudah dilakukan, dan sebaliknya begitu sulit untuk dilacak oleh mereka yang berkewajiban. Lihat saja kayu jenis merbau ilegal dari hutan Wae Sarputih, kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah sebanyak 3.738 meter kubik yang sudah tertangkap saja bisa hilang! (Kompas, 3.738 Meter Kubik Kayu Temuan Raib. 13 Juni 2005, hal. 28) Apalagi kayu yang masih berada di hutan sana? Pastilah lebih mudah untuk di curi.

Bayangkan jenis kayu ini memiliki nilai mencapai Rp 700.000 per meter kubiknya, sehingga nilainya mencapai Rp 2.616.600.000. Sungguh nilai yang tak sedikit bagi Wa Amra dan mereka yang miskin dan hidup di bilik – bilik pengungsian. Walaupun nilai yang sebenarnya jauh lebih besar dari angka itu. Karena tanah yang rusak akibat penebangan semacam ini tentunya memiliki nilai yang masih jauh lebih besar nilainya.
Tak cukup berhenti sampai disitu. Hidup dibilik dengan berbagai resiko akan berbagai penyakit tak cukup. Itu semua ternyata tak cukup untuk membuat rasa haru bagi sebagian manusia yang ada di tanah Pattimura sana. Lihat saja dana yang harusnya dibagikan bagi mereka yang tinggal dipengungsian justru ditilep, mereka yang tak bertanggungjawab. (Kompas, Pemalsu Data Pengungsi Dilaporkan ke Polisi. 7 Juni 2005, hal. 20). Sungguh sulit membayangkan mereka akan dapat hidup lebih baik kala orang yang harusnya memiliki tanggungjawab akan hidup mereka justru tak lagi dapat dipercaya.

Tapi ini semua hanya ada di pikiran rakyat yang jelata. Dimana pemimpin dan rakyat memang jelas berjarak. Sekali lagi, ini semua hanya ada di pikiran rakyat yang jelata. Rakyat yang hanya dapat mengerti tanpa dapat bertanya apalagi menggugat mengapa mereka dapat hidup miskin. Sehingga jangan terlalu pusing jika ditanah Maluku kini begitu mudah muncul konflik. Itu semua tak lebih karena mereka miskin. Miskin akan perut, miskin akan kesempatan untuk maju, belajar, dan miskin yang lainnya. Sungguhkah sulit untuk dapat memenuhi itu?

Jogja 25 Sept 2005, saat semua berpadu

15 September, 2009

"Jika"


Jika harus aku kembali
Aku hanya kembali karena ingin duduk dan mendengarmu
Memandang dan melihat gerak mata dan bibirmu
Aku tak inginkan lebih
Mendengar alunan suaramu
Kan kucoba membuatnya menjadi rangkaian lagu


Jika aku harus pergi
aku akan melangkah menjauh dan menatap hanya kedepan
Kuarahkan kepala ini melongok kebawah
Kupastikan dia tak akan melihat kebelakang
Kuyakinkan tak akan mencoba ntuk merasakan kembali
Hanya melangkah, melangkah menuju hidup yang lain


Jika aku harus menunggu
Kan kucari hamparan sawah hijau
Tempatku menanti terbitnya sang Mentari
Memancar cahaya penuh kilauan harapan
Membawaku pada sebuah kepastian
Jalan hidup

14 September, 2009

Menghela!

Aku duduk di tepian samudra
Memandang jauh hingga ke ufuk timur
Aku menatap terus
Menembus lipatan embun
Termenung dibawah kibasan sayap Rajawali
Seolah ingin bertanya

Aku jatuh dalam pelakukan alam pikirku sendiri
Bertanya kedalam tanpa sempat melihat keluar.
Siapakah kini yang duduk termenung itu

Kucoba meraih satu persatu titik nan jauh disana
Dalam angan kepala yang tak mau berhenti
Berlari terus
Sungguh aku mau berhenti
Meletakkan semua dalam tumpukan pasir yang terhempas ombak.
Hidupku

(Tarian semu, diujung samudra)

Menghempas!

Aku ingin terbang, menembus semua ruang!
Tak ada waktu yang dapat membatas
Hembusan angin tak sanggup mengejar.
Terbang secepat kilatan cahaya.

Meninggalkan ruang, meninggalkan waktu dan meninggalkan mimpi.
Aku ingin meninggalkan semua


(Ntah, Meninggalkan semua harapan)

10 September, 2009

Hilang!

Hari ini aku teriak pada langit
Melepas semua

Menembus semua angan

Menghempas segala yang kumiliki

Aku ingin telanjang
Tanpa beban hidup dan juga raihan jiwa.
Tenang dalam belaian alam


(maaf, tak ada lagi)

08 September, 2009

Zaman Edan!

Surya Respationo, ketua DPRD kota Batam 2004-2009 (www. Batampos.com), dalam pidatonya mengutip Raden Ngabehi Rangga Warsita untuk melihat situasi kekinian. ‘’Hidup di zaman edan, suasana jadi serba sulit, ikut edan tak tahan, tak ikut tak kebagian malah mendapat kesengsaraan, begitulah kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang lupa lebih bahagia orang sadar dan waspada’’

Berbagai peristiwa di negeri ini menyuguhkan ke-edan-an. Peristiwa semburan lumpur panas di Sidoarjo. Perut bumi menyemburkan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Perdebatan panjang mulai dari warga hingga elit. Memunculkan polemik yang ujungnya mengarahkan kasus ini menjadi kejadian luar biasa. Lepas tangan? Inilah wajah negeri ini.

Selain masalah diatas, sebenarnya adalagi yang lebih edan. Masih ingat polemik Bantuan langsung tunai (BLT)? Negera berperan layaknya Robin Hood, membagikan uang kepada rakyat. Berbagai kontra bermunculan. Efektifitas program, pembentukan mental malas bahkan jiwa pengemis dalam karakter warga mejadi alasan kontra yang membalutnya. Pemerintah bersikukuh mempertahankan program ini dengan alasan menjalankan fungsi sosialnya.

Anehnya begitu pemilu berakhir pemerintah memiliki pandangan yang berbeda. Menghentikan program BLT dengan alasan BLT tidak mendidik rakyat. Edan, sebuah program berjalan menghabiskan dana triliunan rupiah. Hasilnya penilaian terhadap program justru dilihat sebagai kebijakan yang tidak mendidik oleh pelaksana program itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan dikeluarkan dengan nilai triliunan hanya sekedar menghasilkan dekadensi moral bagi masyarakatnya. Pemerintahan yang menelan air ludahnya sendiri, Edan.

Yang terbaru, kasus bank Century. Ironis, lebih dari 6,7 triliun uang negara dihamburkan untuk menyelamatkan sebuah bank yang entah berapa besar perannya untuk pembangunan negeri ini. Kebijakan yang tidak lebih berbobot layaknya uang jajan demi satu bungkus petasan bagi anak kecil. Membahayakan, miskin manfaat, Edan!

Bayangkan 6.7 Triliun enam kali lipat dari APBD Propinsi Kepri. Artinya dengan dana ini dapat menjalankan pemerintahan diseantero Kepri selam 6 tahun. Namun digunakan hanya "menyelamatkan" sebuah bank yang tak jelas tujuannya.

Tak jelas karena sebuah bank bisa membutuhkan suntikan dana padahal memiliki fungsi menyerap dan meyalurkan dana dari dan untuk masyarakat. Dimana letaknya hingga sebuah bank perlu diselamatkan! Bukankah sebaliknya bank memiliki peran untuk menyelamatkan negara lewat perannya dalam pembangunan distribusi permodalan? Namun, pemimpin negara ini lebih peka terhadap sebuah bank yang ntah duit didalamnya milik siapa. bahkan duit 6.7 triliun duit rakyat sudah pindah tangan jadi milik siapa!

Salam buat negeri Edan, negeri penuh kegilaan. Jika harus kembali pada kutipan Raden Ngabehi Rangga Warsita, hidup di zaman edan, suasana jadi serba sulit, ikut edan tak tahan, tak ikut tak kebagian malah mendapat kesengsaraan. Sudah layaknya tak perlu untuk mengarahkan pikiran untuk ngikut. Karena jika demikian, ntah sampai kapan negeri ini akan Edan. Semoga cepat menemukan jamu muzarab,obat anti Edan!

07 September, 2009

Lepas!

Kemarin aku melihat batu kecil tak lagi muncul memancarkan cahaya diatas tumpukan pasir
Ombak ditepian pantai saling menghempas seolah hendak menunjukkan amarah yang menggelora!


Diujung jauh kupandang pohon hijau berbaris tersenyum sinis!
Sementara Mentari memancarkan cahaya, penuh kegeraman


Hanya angin yang datang menyapaku dengan bisikan yang membawa kesejukan
Kadang datang, kadang pergi
Hanya lewat


Terima kasih untuk semua, dia sudah mampir dan memberiku sedikit rasa, untuk tetap dapat bertahan dalam alun pikiran yang memohon untuk berhenti.

(Saat semua terasa menghilang)

28 Agustus, 2009

KRITERIA DAN PROSEDUR ANALITIS DALAM MEMBUAT KEPUTUSAN MENGENAI INVESTASI YANG DIUSULKAN

Disusun oleh :
SWANRO PIUS.P.NAINGGOLAN
CHRISNA HADI BASKORO

Hasil yang paling dari menerima atau menolak usulan-usulan yang terutama berdasarkan pada bagaimana pentingnya usulan itu ialah bahwa rencana pengangguran modal tampaknya berubah menjadi suatu kontes kepribadian. Bagian terbesar dari uang modal-pengeluaran akan pergi ke Kepala-kepala divisi yang paling pandai bicara dan paling ngotot dalam mengajukannya daripada kepada mereka yang telah mempergunakan waktu dan usaha untuk membuat perkiraan perkiraan yang obyektif mengenai nilai ekonomis proyek itu.
Hasilnya adalah bahwa semua proyek muncul untuk dibahas dalam suasana terburu-buru dan darurat, dengan ruang lingkup yang penuh dengan seni membujuk dan menasihati। Tidak hanya proyek yang kelayakan ekonomisnya meragukan akan diajukan supaya diterima, tetapi juga proporsi investasi yang besar yang bisa menghasilkan penghematan besar dan keuntungan tinggi mungkin ditunda untuk waktu yang tidak tertentu।


Meskipun investasi dalam bentuk aset fisik terlihat di dalam keadaan sebenarnya yang dijelaskan secara singkat, konsep yang diberikan dapat diterapkan secara luas untuk segala macam pengambilan keputusan. Dalam hal ini, kita melihat lebih khusus pada konsep yang relevan keputusan untuk jenis investasi yang begitu sering diperlukan jika terdapat alternatif teknik.

I. Kriteria Keputusan
Jelasnya, kriteria itu harus digunakan pada perbedaan dalam konsekuensi yang diperoleh dari pilihan di antara alternatif yang berlainan।

Dengan referensi pada usulan untuk investasi alternatif dalam bentuk aset fisik, telah dinyatakan bahwa konsekuensi dari sebuah pilihan harus dinyatakan sejauh yang dapat dilakukan dalam bentuk aliran dana (atau angka-angka moneter lainnya) pada titik waktu yang dinyatakan। Disarankan dalam hal ini bahwa harus selalu ada kriteria primer yang diterapkan pada angka-angka moneter itu. Dalam berhubungan dengan jenis-jenis usulan tertentu, bisa juga lebih disukai untuk mempunyai satu atau lebih kreiteria tambahan atau sekunder yang diterapkan pada angka-angka moneter tersebut.

Dinyatakan diatas bahwa tidak semua konsekuensi keputusan yang prospektif mengenai investasi dalam aset fisik dapat disederhanakan menjadi bentuk angka moneter. Bobot sering perlu untuk diberikan pada kata yang tak dapat di sederhanakan itu. Hal itu menyebabkan bahwa bisa terdapat kriteria sekunder untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perbedaan-perbedaan dalam konsekuensi perkiraan yang belum dinyatakan dalam angka-angka moneter.

I.1. Kriteria Primer
Kriteria primer yang digunakan dalam sebuah pilihan diantara alternatif usul-usul investasi dalam aset fisik harus dipilih dengan tujuan untuk membuat penggunaan terbaik dari sumber daya yang terbatas। Apakah kita berpikir mengenai sebuah individu, keluarga, kegiatan bisnis, atau sebuah unit pemerintah seperti sebuah kota, negara bagian, atau bangsa, biasanya benar bahwa pada setiap saat terdapat keterbatasan sumber daya yang ada yang dapat diberikan untuk investasi dalam bentuk aset fisik.

Sumber-sumber daya yang terbatas itu bisa berbagai macam, seperti tanah, buruh, atau bahan-bahan। Tetapi karena pasar memberikan pada kita penilaian uang terhadap kebanyakan sumber-sumber itu, biasanya beralasan untuk menyatakan pembatasan keseluruhan dalam bentuk uang.

Dalam mengevaluasi investasi yang diusulkan, pertanyaan yang harus dinyatakan apakah investasi itu cukup produktif, segala sesuatunya dipertimbangkan. “Cukup produktif” bisa ditafsirkan sebagai menghasilkan suatu pengembalian modal yang memadai jika dibandingkan dengan satu atau lebih alternatif yang disebutkan.
Paper ini akan mengasumsikan bahwa sebuah keputusan dapat dan telah dibuat pada tingkat suku bunga minimum yang menguntungkan untuk setiap keadaan dan bahwa keputusan ini adalah dasar untuk kriteria primer yang digunakan untuk keputusan investasi।

Kita akan melihat bahwa kita perlu untuk menggunakan matematika mengenai bunga majemuk untuk mengunakan kriteria primer yang berdasarkan pada tingkat bunga minimum yang menguntungkan. Empat cara yang berhubungan dengan I* (tingkat bunga) yang berlainan untuk melaksanakan kriteria ini adalah:
1. Aliran dana tahunan uniform ekivalen (Equivalent Uniform Annual Cash flow), dengan tingkat bunga minimum menguntungkan I* yang ditentukan sebelumnya sebagai tingkat suku bunga.
2. Nilai sekarang (Present Worth), dengan tingkat bunga minimum yang menguntungkan I* yang telah ditentukan sebelumnya sebagai tingkat suku bunga.
3. Tingkat pengembalian prospektif (rate of return) dengan tingkat bunga yang dihitung dan dibandingkan dengan tingkat bunga minimum I* yang telah ditentukan sebelumnya.
4. Rasio manfaat-ongkos (Benefit – Cost Ratio), dengan tingkat bunga minimum menguntungkan I* yang telah ditentukan sebelumnya digunakan sebagai tingkat suku bunga.

Ditunjukan pada cara-cara diatas bahwa dengan satu input yang sama, maka keempat metode itu mengarah kepada sebuah kesimpulan yang sama yaitu apakah kriteria primer telah dipenuhi atau belum.
Dimana pajak pendapatan dipungut, pajak semacam itu cenderung mengurangi tingkat suku bunga dari investasi di aset-aset fisik। Namun, Undang-undang dan peraturan pajak pendapatan jenis investasi tertentu dibandingkan dengan jenis lainnya; untuk berbagai alasan yang berhubungan dengan hal-hal teknis dari pajak pendapatan; tingkat bunga setelah pajak pajak bukan merupakan persentase yang tetap dari bunga sebelum pajak.

Secara prinsip, diperoleh bahwa konsekuensi pajak pendapatan dari investasi yang diusulkan harus diperkirakan, dan bahwa tingkat suku bunga minimum menguntungkan yang ditetapkan pada industri swasta haruslah tingkat suku bunga setelah pajak dan bukan tingkat suku bunga sebelum pajak.
Penggunaan tingkat bunga minimum yang menguntungkan setelah pajak digambarkan dalam contoh yang dimulai dengan menggunakan asumsi-asumsi tertentu yang disederhanakan mengenai hubungan antara aliran dana sebelum pajak dan setelah pajak.

Pembahasan mengenai kerumitan kritis dari cara-cara dimana pajak pendapatan mempengaruhi keuntungan-keuntungan relatif dari investasi yang diusulkan ditunda. Sebagai contoh, dengan menggunakan tingkat bunga minimum yang menguntungkan setelah-pajak, kriteria primer bisa dinyatakan dengan aturan keputusan sebagai “meminimumkan ongkos untuk memperoleh sejumlah tertentu barang atau jasa.”

I.2. Kriteria Sekunder
Perkiraan-perkiraan yang paling telitipun dari konsekuensi moneter dalam memilih alternatif yang berlainan ternyata hampir pasti tidak tepat. Sering berguna untuk seorang pengambil keputusan menggunakan kriteria sekunder yang mencerminkan tidak adanya kepastian yang berhubungan dengan semua perkiraan-perkiraan di masa yang akan datang.

Keputusan-keputusan diantara alternatif investasi harus memberikan bobot untuk setiap perbedaan dalam konsekuensi yang belum disederhanakan ke dalam bentuk uang maupun dalam konsekuensi yang telah dinyatakan dalam bentuk uang।

Dicetakan kedua dari Engineering Economics-nya, yang diterbitkan tahun 1923, Profesor J।C.L. Fish menggunakan frasa “data yang tak dapat disederhanakan dari persoalan investasi” untuk digunakan pada perbedaan-perbedaan prospektif diantara alternatif yang tidak disederhanakan menjadi penerimaan-penerimaan dan pembayaran-pembayaran yang diperkirakan untuk maksud-maksud analisa. Kata-kata lain yang telah digunakan untuk perbedaan non-moneter seperti itu adalah “faktor-faktor penilaian” , “tak terduga’ , dan “tak dapat dilihat”.

Tak ada kata lain atau frasa pendek yang dengan sendirinya membawa ide yang tepat dari suatu yang relevan dalam keputusan tertentu tetapi belum dinayatakan dalam bentuk uang karena sesuatu hal atau yang lainnya। Seiring tidak banyak dipercaya oleh seorang analisis bahwa perbedaan yang dipertanyakan akhirnya tidak akan mempengaruhi penerimaan dan pembayaran karena dia tidak mempunyai dasar kepuasan untuk memperkirakan berapa banyak pengaruhnya pada aliran dana dan kapan pengaruhnya pada aliran dana dan kapan pengaruh ini akan terjadi.

Didalam buku ini kita telah memilih untuk menggunakan hal-hal yang dapat disederhanakan atau data yang tak dapat disederhanakan di dalam pengertian teknik khusus dari perbedaan-perbedaan yang relevan terhadap konsekuensi yang diharapkan dari sebuah keputusan yang belum disederhanakan ke dalam bentuk uang।

Ada dua alasan untuk pemilihan, satu alasan bersifat historis, ialah bahwa pemakaian ini mulai sejak tahun 1923। Alasan lain ialah bahwa kata atau frasa itu tidak umum digunakan dalam pembicaraan sehari-hari dan oleh sebab itu mempunyai arti populer yang berbeda yang bisa menjadi sebab salah taksirannya.
Hal-hal yang tidak dapat disederhanakan mungkin memainkan bagian yang sangat besar di dalam keputusan-keputusan investasi pribadi। Sebagai contoh, pertimbangkan pilihan antara memiliki sebuah rumah atau menyewa. Jelas bahwa banyak aspek persoalan yang harus ditaksir dalam bentuk uang sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan yang tepat.

Namun, hal-hal selera pribadi yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk uang harus diberikan bobot yang tepat di dalam keputusan semacam ini। Jadi kebanggaan memiliki rumah bisa menjadi kepentingan utama bagi sebuah keluarga dan merupakan persoalan pelengkap biasa bagi yang lain.

Untuk alasan yang dibicarakan, hal-hal yang tidak dapat disederhanakan kecil dapat juga diberi bobot yang besar di banyak keputusan oleh pemerintah.

II. Segi Pandangan Sistem
Sering terdapat efek-efek samping yang cenderung diabaikan jika keputusan-keputusan individu dibuat. Untuk mempertimbangkan efek-efek samping rencana semacam itu dengan memadai, mungkin perlu untuk memeriksa antar hubungan diantara sejumlah keputusan setiap keputusan individu bisa dibuat.

Persoalan dasarnya di sini ialah apakah segi pandangan yang terlalu sempit yang diambil dari alternatif yang sedang dibandingkan. Jika efek-efek samping dari sebuah keputusan tidak cukup penting mungkin sebuah studi tentang mereka tidak akan mengubah keputusan mungkin diperlukan untuk memberikan sebuah dasar untuk penilaian mengenai apakah efek-efek samping itu tidak penting.

Pada studi kasus kita dapat lihat pengambilan suatu keputusan, dalam suatu perusahaan listrik yang sudah berjalan 20 tahun berencana memaksimalkan keuntungan dengan jalan menambah energi. Proyek tersebut telah terdapat dua alternatif dalam memperbaharui sumber daya listrik, alternatif pertama disebutkan untuk membeli dan memasang pembangkit listrik yang baru, sedangkan alternatif kedua menyebutkan untuk mengefektifkan pembangkit listrik yang lama dengan jalan meng- elektrifikasi peralatan tersebut.
Ketika perkiraan dana untuk kedua alternatif ini dihitung , terbukti bahwa mengefektikan pembangkit listrik yang lama dananya lebih murah dari pada beli yang baru ,tetapi yang menjadi permasalahan adalah biaya perawatan, apakah jika menggunakan pembangkit yang lama akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar daripada pembangkit listrik yang baru.

Analisa dibuat dalam biaya perawatan, ternyata dengan membeli pembangkit listrik yang baru biaya perawatannya lebih murah, karena pada tahun pertama dan kedua masih mendapat garansi dari perusahaan sedangkan pada pembangkit yang lama karena sudah lama diperlukan biaya perawatan yang lebih.

Kriteria kedua dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk, jika tiap tahun penduduk bertambah , maka akan lebih efektif jika membeli pembangkit listrik yang baru, karena dengan membeli yang baru perusahaan itu akan memiliki dua pembangkit listrik, dan dengan begitu dapat melayani konsumen dengan mudah, tetapi memerlukan tambahan tempat untuk pembangkit yang baru dan menambah pekerja.sedangkan jika perusahaan itu mengelektrifikasi pembangkit listrik yang lama akan mengurangi jumlah karyawan dan dapat menghemat pengeluaran.

Dalam hal tenaga kerja , jika membeli pembangkit listrik yang baru maka akan diperlukan operator yang baru juga, sedangkan pada pembangkit yang lama kita tidak perlu operator yang baru.

Dalam pengambilan keputusan, akhirnya diperlukan beberapa orang (kelompok) untuk membuat keputusan. Pilihan diantara alternatif investasi harus berdasarkan pada kriteria primer yang dipilih. Dalam kasus harus ada kriteria sekunder dalam menyederhanakan pilihan-pilihan yang ada.dalam contoh diatas analisa memihak pada alternatif membeli pembangkit istrik yang baru.

Kesimpulan
Keputusan- keputusan harus berdasarkan kepada konsekuensi yang diharapkan dari alternatif ,semua konsekuensi ini akan terjadi masa depan। Dalam membandingkan alternatif- alternatif lebih disukai membuat konsekuensi- konsekuensi sesuai satu sama lainnya selama masih dapat dilaksanakan. Yaitu konsekuensi itu harus dinyatakan dalam angka dan satuan -satuan yang sama harus digunakan pada angka- angka ini. Dalam keputusan ekonomi satuan uang merupakan Satu- satunya satuan yang memenuhi spesifikasi sebelumnya.

Daftar Pustaka
1. EL। Grant,W।G. Ireson, R.S. Leavenworth,1993, Dasar-Dasar Ekonomi Teknik, edisi 1, PT Melton Putra, Jakarta,hal 20-25.
2. J.C.L. Fish, 1923, engineering economics,jilid 2.
3. M. joyowiyono,1983 , ekonomi teknik (engineering economics),jilid 2.

25 Agustus, 2009

Muda-Mudi Nainggolan Mengisi Tujuah Belasan

Batu Aji, Minggu 16 Agustus 2009, Muda-Mudi Toga Nainggolan dan Bere Se-Barelang mengadakan rapat final untuk perayaan kemerdekaan. Rencana tempat akan dilaksanakan ditepian selat Malaka. Kawasan pantai Sekupang berjarak kira-kira 15km dari Batam Center, pusat kota. Perayaan kemerdekaan Negeri yang bernama Indonesia, panitia merencanakan telah merencanakan berbagai acara. Mulai dari acara liturgi semacam rekoleksi hingga ke berbagai aneka permainan. Seminggu sebelumnya, panitia telah melakukan survey tempat, untuk memastikan berbagai peralatan pendukung. Mulai dari tenda, listrik hingga ke properti perlombaan. Konsumsi dan hadiah perlombaan dikerjakan senin dinihari.

Pukul 4.00 WIB sore hari Teguh Nainggolan, Ketua pelaksana perayaan dan rekoleksi menginformasikan tentang persiapan konsumsi dimulai, senin pukul 2.00 WIB pagi. Manusia kurus dari tanah Sibolga ini bertanya tentang persiapan bumbu dan daging. Jujur aku juga tidak tahu. Kusarankan dia bertanya kepada Ito Sariani Br. Nainggolan, Bendahara BPH dan juga appara Botax, penanggungjawab pembelian daging. Tak berapa lama, kurang dari 15 menit telepon kembali masuk. Teguh sudah mulai terlihat mengeluh. Botax ternyata belum mendapatkan daging. Sementara Sariani belum juga belanja bumbu.

"Gimana ni appara" Teguh dengan nada mengeluh.
"Tidak apa-apa pra, tapi pinahan sama ayamnya lagi dicari kan?"
"Ya, cuma udah malam. Gimana kalo ndak ada, plan B?"
"Serba lima ribu"
"Ok, pra, ntar dikabari lagi" jawab Teguh sambil menutup pembicaraan.

Tidak ada lagi telepon, tak ada kabar. Ada dua kemungkinan semuanya sudah beres atau masih sibuk mencari. Jam 7.00 malam, Putri 7 Blok P No. 13, rumah Ito Sedia Br. Nainggolan. Tempat mempersiapkan lauk dan membungkus kado. Sudah rame. Didapur ito-ito Br. Nainggolan sudah sibuk. Ada yang didepan kompor, menggiling bumbu, menguliti bawang. Para amang boru (bere), tangannya penuh darah, mengeksekusi pinahan dan ayam.

Sementara para appara sedang sibuk diskusi, pimpinan Teguh. Semakin kuperhatikan topik pembicaraan sekitar rencana keberangkatan dan acara.

Botak melaporkan jumlah peserta yang daftar hingga malam itu.
"Udah baguslah, 60 orang sudah daftar" tanggap Teguh
"Tapi mungkin besok akan tambah lagi, biasa!" jawab Botax Nainggolan
"Tumben, otik" Timpal Ruddin Nainggolan
"Tidak masalah, mudah-mudahan besok nambah. Penting sekarang kita persiapkan acara" saran Agus Nainggolan.

Malam itu mereka mendiskusikan acara termasuk rencana berangkat dari dua titik, pertama, Simpang Putri 7, Batu Aji dan Mall Panbil, Mukakuning. Ditemani kopi khas buatan Br. Nainggolan diskusi ini berlangsung hingga pukul 23.30 WIB. Namun, satu persatu terlihat mulai tertidur. Alex dan Agus sudah memperdengarkan suara aneh. Mendengkur!

Mendengar suara aneh makin keras, Teguh membangunkan Agus, membantu Ito Leli Br. Nainggolan memasak nasi di Kandang Ayam (aneh ya, ini nama tempat bos). Wajah mabok, seperti habis minum tuak sepuluh gelas.

"Apa,...! udah jam berapa ini?" Agus tampang bingung
"Dua belas, Kekandang ayam" Teguh
Agus masih terlihat setengah sadar, menggaruk kepala.
"Jaketku mana?"
Dasar ngantuk, dia lupa kalau tak memakai jaket. Semua diam, dan memeriksa semua jaket diatas lantai. Tak ada yang cocok.
"Apa tadi aku ndak bawa ya?" Agus, wajah dah mulai sehat.
"Kayaknya tadi tak pake appara" Jawab Ricardo Nainggolan

Sepertinya dia sudah yakin datang tak memakai jaket. Sambil berdiri, dia menanyakan makanan.
"Dang adong" Ito Valen, Hetty, Teguh serentak.
"Sudahlah, male-malelah aku memasak disana ya" Agus
"Olo...!" hampir semua yang tinggal disana menjawab.
Dia pergi pergi munuju Kandang Ayam bersama amang boru Gultom.

***

Setengah jam setelah Agus berangkat jam dinding yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 1.15 WIB. Botax meminta Ito Valen memisahkan bumbu sangsang dan ayam rendang. Dapur rumah sangat sempit. Maklum tipe 30 bos.
Dapur berukuran 2m x 3m terlihat sangat sempit. Botax menyarankan agar sangsang dimasak di halaman rumah. Satu persatu peralatan mulai dipindah. Mulai dari kompor minyak tanah, belanga (penggorengan) panci dll

"Boha, ngaboi tamulai (udah bisa dimulai)?" Botax.
"Baru tengah dua, sebaiknya mulai jam dua saja" Teguh
"Baen majo Kopi i muse Ito Naburju" Botax sambil melihat Valen
"Holan na kopi-on"jawab Valen, sambil berjalan menuju dapur.
Dari pintu depan terlihat Valen mempersiapkan kopi. Salute buat Ito Valen, walaupun kesal dia tetap saja menyuguhkan kopi.

Kurang dari sepuluh menit kopi datang dari dapur, wajah Valen tersenyum. Ntah apa yang membuatnya tersenyum. Mungkin senyum gondok!

"Ima nian Ibotokkon, naburjuon" Teguh
"Olo..., "Valen sambil ketawa kecil.

***
Penantian setengah jam bersama kopi dan juga bermacam cigarette. Ntah kenapa sebuah topik pembicaraan muncul Tentang kepatuhan kepada orang tua. Budi Nainggolan alias pulsa mulai mengeluarkan perenungan panjangnya. Bercerita tentang orang tua dan masa kelamnya. Dia bercerita tentang kehidupan mapan keluarganya namun berbalik 180 derajat karena kelakuannya.
"Jatuh bangkrut, miskin appara" Pulsa
Terdiam sejenak. Dia menarik napas panjang, seprti mencoba mengingat sesuatu. Sehabis SMP dia sudah pindah sekolah ke Medan, masuk STM. Disanalah kehidpan yang lebih parah dilakoninya. Berbagai macam cerita dikarang untuk satu tujuan uang. Mengakali orang tua. Mulai dari sambilan menarik becak, namun melakukan dengan setengah hati. Tak berapa lama, becak dijual. Duitnya? Habis ntah kemana.

Tapi terkadang tak semua demikian.
"Kadang ada juga orangtua yang berlebihan" timpal Botax
"Benar mungkin ada, tapi tak ada orang tua yang senang melihat kemunduran anaknya" Pulsa
"Ya, tapi kacaunya kadang terlalu memaksa" Botax
"Aku cuma berangkat dari pengalamanku, kadang aku berfikir janga-jangan hidup seperti ini da hubungannya dengan masa lalu dengan kedua orang tua" jelas Pulsa.

Belum Pulsa melanjutkan ceritanya, Valen datang.
"Loh, cerita terus, kapan masaknya?"
"Ambil Minyak itu Kurus" perintah Botax ke Kurus Nainggolan.
Botax menyalakan kompor minyak dan meletakkan belanga (penggorengan) diatasnya. Tuangkan minyak goreng sampai habis.
"To, mana minyak gorengnya" Valen
"Udah habis, dipakai semua" Botax
"Terus masak rendangnya?"
"Waduh.., pakai minyak ayam aja to"

Dasar anak muda, cepat menemukan jalan pintas. tak ada akar rotan pun jadi. Tak ada minyak goreng minyak ayam pun jadi.
Valen menuju kedapur dengan majah mengkerut. Marah ni..ye...
Satu persatu bumbu dimasukkan Botax hingga daging. Goyang kiri-goyang kanan. Celup jari dikit, rasakan.

"Masih kurang, coba dulu Kurus apanya yang kurang" Botax
Celup lagi
"Udah enak" Kurus
"Sude do diho tabo, ayo Pulsa" Botax
"Kurang garam, sama daun salam" Pulsa
Botax langsung kedapur, dia bawa air dan daun jeruk. Ternyata lagi-lagi jalan pintas. Tak ada daun salam daun jeruk pun jadi. Gila sulit membayangkan rasanya, masakan sangsang "tipe jalan pintas" maked by Mr. Botax.

Aduk lagi.. Aduk lagi..

Agak lama juga, membolak-balik hingga jam sudah menunjukkan pukul 4.00 WIB. Ayam tetangga Ito Sedia sudah berkeliaran. Tanda matahari sudah dekat.

Sentuhan terakhir. memisahkan daging namargota (pakai darah) dan tak margota (tak pakai darah). Dari caranya pencapuran terlihat Botax memang ahlinya. Salute buat appara Botax. Selesai, masakan siap dibungkus. Dan tidur menunggu jam berangkat, pukul 8.00WIB. Tidur, nyeyak, jangan lupa bangun!

***

Pukul 6.30 WIB Teguh Nainggolan sudah tak ada di rumah. Yang terlihat hanya Ito Valen.
"teguh dimana to" Rosaldi Nainggolan
"Bergerilya, meminjam toples sama panci. Makanya bangun yang cepat" Valen
"Ito Hetty mana?"
"Dah pulang ke Piayu, koordinir yang berangkat dari sana"
"O, o..." Rosaldi rebahan lagi

Melihat Rosaldi mau melanjutkan tidur, Ito Valen langsung bersuara.
"Ayo,.. bangun semua"

Semua terbangun. Wajah masih pucat. Maklum kurang tidur. Sebagian pulang untuk mandi sekalian menyiapkan bus. Dan yang lain mengingatkan anggota yang hendak berangkat.

Teguh datang dengan dua buah toples dan satu panci.
"Dapat dari mana appara" Rosaldi
"Biasa calon parumaen" teguh, wajah tersipu. Senyumnya pagi itu melebihi cerahnya cahaya mentari.

***
Bus sudah tiba tepat waktu pukul 7.45 WIB. Belum ada Nainggolan yang terlihat kecuali yang bertugas memasak semalam.
"Gila, tudia be do" Teguh
Kesepakatan sebelumnya bus harus berangkat pukul 8.00 WIB, teng. Karena bus yang sama harus mengangkut carteran lain jam 9.00 WIB. Mulai panik! Semua manusia didekat bus memencet handphone. Menanyakan keberadaan anggota.

"Kami dah di Panbil Mall to, 30-an orang" Ito Fitri Br. Nainggolan
"Ok, siap disana, bentar lagi bus menjemput" teguh Nainggolan.
"Bengkong ada tiga orang pra, tapi langsung ketempat" Gordon

Hingga pukul 8.30 di Putri tujuh baru 20-an orang. Supir bus sudah mulai tegang.
"Paling lambat 15 menit lagi harus berangkat" Supir bus.
"Ok, tulang" Teguh
Tak lama jemputan Panbill tiba. Gabung dengan bus Putri tujuh. Selang lima menit nainggolan dari Piayu, rombongan ito Hetty juga tiba bareng dengan Ito dari dormitory. Semua kumpul dalam satu bus. Tidak muat, sebagian akhirnya menggunakan sepeda motor. Meluncur menuju Tanjung Pinggir Sekupang, singgah di kandang ayam, jemput nasi.

***

Tanjung Pinggir 10.30 WIB, cerah. Singapura terlihat dekat. Gedung pencakar langitnya terlihat bahagia saat rombongan Nainggolan memandang kemolekan bentuknya.

Sambil berjalan menuju bibir pantai, sebagian Br. Nainggolan memasang aksi. Berfoto dengan backgroud Selat Malaka berhiaskan Singapura. Bergaya layaknya model. Lenggok kiri-lenggok kanan.

***

Acara liturgi mulai 10.30 WIB. Diisi dengan doa dan nyanyian pujian. Semua terlihat bahagia. Rasa capek satu malam serasa hilang lepas ditelan selat Malaka. Ito Irma Br. Nainggolan membawakan renungan. Salute buat Ito Irma, masih muda sudah mau berbagi dan belajar membawa renungan. Ito dan appara yang lain ditunggu gilirannya!

Liturgi ini berlangsung singkat, kurang dari satu jam. Selanjutnya sambutan ketua panitia. Teguh maju kedepan. Memulai sambutan dengan sapaan syalom!

Teguh memulai sambutannya dengan curhat tentang perjalanan kepanitiaan. Dia meminta maaf untk semua kekurangan. Dan yang paling menarik, Teguh mengungkapkan tentang rencana pesta Muda-Mudi Toga Nainggolan dan Bere Se-barelang 2010.
"Ini baru latihan, tahun 2010, kita akan mendesain Pesta Naposo yang jauh lebih besar dari perayaan ini dan juga Pesat naposo sebelumnya!" Teguh
Semua tepuk tangan. Siang itu wajah semua Nainggolan's terlihat berapi-api. Darah empat lima seperti tampak membahana dalam tubuhnya. Darah yang siap membanjiri Singapura dan Malasia, yang tampak di depan mata. Merdeka! Optimis, full..
"Saya bangga semua semangat, pertahankan!" Teguh mengakhiri sambutannya.

Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Waktunya menikmati hidangan spesial khas appara Botax. Sangsang ala "jalan pintas" dan rendang ala Valen. Diiringi suara merdu Nainggolan Trio dan hembusan angin spoi-spoi tiga negara. Gila! menyenangkan. Hembusan angin tiga negara ditepian laut selat Malaka, mengubah rasa sangsang Botax ala "jalan pintas" menjadi senikmati sangsang terbaik ala Siltor. Sementara rendang ala Valen berubah lebih nikmat melebihi rendang rumah makan Pada Sederhana yang terkenal itu. Luar biasa!!

Untuk semua yang belum pernah menikmati makan di tepian selat Malaka diiringi Nainggolan trio. Menyesal anda tak pernah menikmatinya.

***

Kenyang sudah perut, sulit untuk bergerak. Seolah lambung tak lagi punya ruang kosong. Perut Azis Nainggolan sudah terlihat menonjol kedepan. Sementara Gordon Nainggolan terlihat berusaha menahan ngantuk, bawaan dari daging pinahan yang tertelan. Semua terlihat tenang mendengar Nainggolan Trio. Ntah menikmati, mungkin juga tapi sepertin ya tak sepenuhnya. Efek Pinahan sudah menjalar. Bosur!!

Hampir setengah jam waktunya untuk kembali mengajak perut yang membengkak untuk kompromi. Masih ada sedikit rasa sesak. Tapi Teguh terlihat sudah mempersiapkan acara selanjutnya bersama Valen dan Dasalon Nainggolan.

***

"Ayo semua kumpul melingkar" Dasalon dengan pengeras suara.
"Hitung sampai sepuluh yang tak ikut dalam lingkaran akan di denda" lanjut Teguh.
"Ayo, Pisang kesini kalian" seru Saut Nainggolan, memanggil sebagian yang masih dibibir pantai.

Lingkaran sudah terbentuk. Saling berpegangan tangan. Lihatkiri -lihat kanan. Lingkaran sudah terlihat rapi. Untuk membagi kelompok menjadi lima. Valen meminta semua untuk menyebut angka berurutan, mulai dari satu hingga lima- berulang.
"Mulai dari, Saut Nainggolan" Valen

Saut mulai berhitung dan dilanjutkan terus hingga semua menyebut angka. Terbentuklah lima kelompok. Now, time for game!!

Permainan pertama, setiap kelompok diminta untuk membuat yel-yel kemerdekaan. Yel terbaik akan menjadi pemenang. Semua kelompok saling mendekat. Sebagian ada yang curi-curi dengar, mau nyontek ide. Dasar Batak muda. Juara satu dimenangkan kelompok Pulsa Nainggolan. Berhak mendapatkan hadiah satu kaleng roti 2 kaleng Khong Guan tambah dua bungkus Kopiko. Mantap! Juara dua, Kelompok Fitri Br. Nainggolan, mendapatkan Satu kaleng bungkus roti Biscuits, satu bungkus Oreo dan Kopiko. Menggiurkan!! Juara tiga, kelompok Lucca Nainggolan, dapat Oero satu bungkus saja. Kacian!! Kelompok Pius Nainggolan tak dapat. Kacau!

Permainan berikutnya mengisi air dalam balon dan dilanjutkan dengan mangultong (menghembus pra!) sampai bulat besar. Gerimis mulai turun. Gelora kemerdekaan dari anak muda Nainggolan tak gentar. Maju terus pantang mundur. Semangat empat lima memang sudah tertanam kuat didalam dada, generasi muda Nainggolan. Jangankan gerimis, hujan batu sekalipun takkan membuatnya mundur. Merayakan kemerdekaan adalah penghormatan bagi mereka yang berjuang mati-matian bagi tumpah darah. Merdeka! sekali lagi bos, Merdeka! Barisan diatur, dari tepi pantai memanjang. Yang paling dekat dengan pantai mengisi air kedalam balon. Barisan kedua dan seterusnya mangultong (Akka sibalga butuha ma dison) hingga bulat besar. Dan barisan terakhir mengikat dan mengantarkannya ke tempat yang sudah disiapkan.

Tak jauh dari dugaan, kelompok Saut Nainggolan menjadi juara. Maklum badannya besar, butuha (perut) pun bolon! Juara dua Kelompok Pesta Br. Nainggolan, Ketiga Kelompok Azis Nainggolan. Semua berhak mendapatkan hadiah yang sama seperti sebelumnya. Kelompok Pius Nainggolan kembali KO. Mulai curiga!

Permainan terakhir, memberi makan pisang. Setiap kelompok akan berjalan mundur sambil mengacungkan pisang ke arah belakang. Dan seorang teman sudah menunggu sambil; membri arahan. Ada yang jalan mundur hingga ke tepi pantai. Ntah begu apa yang mengarahkan! Perlombaan ini di menangkan kelompok Azis Nainggolan. Wajar, raja pisang dari hita-an. Urutan kedua Kelompok Pulsa Nainggolan dan kelompok Lucca nainggolan urutan ketiga. Hadiah, sama lagi. Tak mengapa yang penting nilai semaraknya Bung! Kelompok Pius Nainggolan kalah lagi. Memang tak berbakat!!

Habis sudah permainan, selanjutnya acara terakhir. Aksi nyanyi bebas. Semua Naposo Nainggolan mengekspresikan keindahan suara masing-masing. Ada yang menyanyikan lagu dangdut, Pop, Luar Negeri, yang pasti tak ketinggalan lagu Batak. Acara ini berlangsung hingga pukul 5 sore. Waktu yang disepakati untuk kembali pulang. Maklum sebagian dari Ito dan appara ada yang masuk kerja malam. Batam Bung!!!

semua berkemas. Satu persatu alat musik diangkat kembali menuju parkiran bus. Termos, panci, dan perlatan lainnya di cek satu persatu. Takut ada yang ketinggalan. Maklum barang pinjaman.

Semua sudah di tumpuk di parkiran, tapi bus belum juga datang. Alex Nainggolan koordinator bus terlihat sibuk. Angkat telpon, gaya preman terminal Amplas. Sibuk!

" Barelang macet appara" Alex lapor kepada Teguh.

Semua duduk tenang, menanti bus. Sebagian wajah sudah terlihat lemas, sedikit mengantuk. Ada yang tidur-tiduran diatas rumput di bawah pohon. Menikmati angin sore. Pukul 18.30 WIB bus tiba. Semua bergerak cepat menaikkan semua perabot dan peralatan. Bus berangkat pulang dengan kepuasan akan sebuah kebrsamaan. Merdeka Indonesia. Merdeka Nainggolan.

24 Agustus, 2009

Berita Miris

Berita miris sering menjadi titik tolak yang membawa manusia untuk kembali berfikir akan makna hidup. Nafas bukan lagi sekedar aliran udara yang bersirkulasi dalam tubuh. Jiwa tak hanya sebuah makna kosong tanpa arti. Rasionalitas telah terjungkal oleh belenggu kenyataan yang jauh dari alam pikiran. Ipat, seorang teman baru yang belum lama bergabung dalam satu korps kerja, Panasonic. Dia terbaring lemah tak berdaya.

Ini bukan berita pertama yang kualami setelah mengijakkan kaki di bumi Batam. Beberapa bulan lalu orang tua teman satu rekrutan dari Jogja, Ima mantan trainer MTC, meninggal dunia, akibat serangan Jantung. Setelah itu datang kabar seorang teman, Manungkol juga tergelak dipinggir jalan setalah ditabrak lari. Tak berapa lama nafas terkahir juga menyela, meninggal dirumah sakit Otorita. Hanya beselang beberapa bulan kembali, seorang teman terbaring di rumah sakit.

Buatku atau kita, doa adalah sarana yang paling ujung yang bisa kita serahkan, selain memberi sesuatu yang sekiranya dapat membantu dalam hal yang bersifat dunia. Seorang teman berkata akan ada semcam sumbangan bersama anak-anak Panasonic. Sebuah berita baik yang kembali menyadarkan kita akan kekuatan hati. Demi sesama, teman, sahabat atau apapun itu. Kadang berita miris datang kepada orang-orang dekat kita, akan membawa kita pada sebuah titik, merenung kembali akan makna hidup.

Hidup, Jalan Tuhan Pilihan Milik Manusia
Hidup tak jarang dimaknai sebagai keberadaan fisik. Pendapat ini setidaknya diamini oleh para penganut faham meterialis. Dimana hidup adalah dunia, tanpa ada setelahnya. Namun untuk konteks kita dengan sudut pandang religiusitas, menempatkan hidup seperti dua titik, kosong dan ada. Kosong saat kita tak mengisinya dengan berbagai makna positif dan hidup jika melakukan hal yang sebaliknya, berbuat sesuatu untuk orang lain.

Entah menagapa aku kembaliteringat dengan seorang teman. Bukan berita kematian, bukan pula berita kepedihan. Tapi berita kegigihan yang penuh heroisme. Seorang teman yang mengantarkan pikiranku balik ke tahun 2003, saat dimana pundak masih ringan dan kepala masih ganas. Benhard Simanjuntak, Bang Ben demikian teman-teman menyapanya. Benhard, manusia tak biasa yang ditempatkan luar biasa oleh manusia yang tak paham apa yang ada dalam pikiranya. Bagaimana tidak, dia yang coba beridiri didepan dan menghalau tirani habis ditindas untuk sebuah alasan yang tak jelas. Tapi aku masih yakin dengan dunia ide ala aristoteles. Badan bisa dibelenggu tapi hati dan pikiran siapa yang bisa menghalau. Hanya orang bodoh yang mencoba mencegah sebuah cita-cita, perjuangan atau pemikiran sekalipun dengan menggunakan pembelengguan.

Sorry jika sedikit sentimentil.

Namun kala kekuatan hati terkadang juga membutuhkan pertimbangan rasionalitas. Teman, menyumbang dengan hati adalah kebaikan. Tapi ada hal lain yang kita lupakan saat kita harus merenung akan arti hidup yang sesungguhnya. Perjuanagn. Perjuangan melawan penyakit, melawan kematian (dalam prespektif pecegahan tanpa mengurangi kehendak yang Kuasa) dengan alam berfikir kita. Perjuangan untuk mengubah keadaan kita saat semua keyataan miris itu tiba.

Kini kehidupan memberikan manusia akan akal pikiran selain perasaan. Ini adalah anugrah terbesar dan terlengkap yang pemberian Ilahi bagi ciptaanya. Perasaan, kita sudah menunjukkannya lewat kerelaan berbagi dengan sesama. Akal pikiran (rasionalitas) menjadi senjata ampuh, jaminan bagi manusia untuk dapat tetap bertahan hidup untuk melawan kemungkin akan bahaya bagi kehidupannya.

Bagimu, bagi kita, sudahkah berfikir akan jaminan yang lebih baik untuk kehidupan kita? Berita miris ini datang menyapa kita sekarang lewat seorang sahabat. Setelahnya kita tak tahu. Saat semacam inilah akal pikiran saatnya kembali menyatu dengan perasaan. Membangun sebuah sistem yang memebrikan kita akan jaminan dalam mempertahankan hidup yang lebih baik. Jika sakit kita bisa berobat dengan layak. Jika ada bagian keluarga utama kita mengalami musibah, ada jaminan untuk dapat memebri penghormatan yang layak.

Pernah berfikir akan hal ini. Moga dan saya yakin. Namun sudahkah atau akankah itu akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Mungkin tak tepat untuk bertanya pada rumput yang bergoyang, saat kepala kita masih mungkin untuk digoyang memikirkannya. Satu hal yang ingin kusampaikan, Tuhan memiliki semua jalan, mati dan hidup. Namun jangan lupa, manusia diberi pilihan akan penggunaan jalan itu. Berlari diatas jalan kehidupan atau merangkak dijalur kematian. Ini adalah pilihan dari yang Ilahi. Satu pilihan terbesar yang memungkinkan manusia dengan sang pencipta hidup dalam suasana demokrasi. Dengan juri paling adil sang Ilahi.
(PIUS: Catatan: manusia dengan manusia)

Kedai Namboru Juminten Nadeak

Kedai Namboru Juminten Nadeak, pukul 5-an sore hari selepas kerja ada janji ketemu dengan beberapa teman. Keda Namboru yang satu ini memang jadi semacam tempat pertemuan rutin bagi komunitas kami. Tak disangka ketemu dengan Benhard Simanjuntak, manusia aneh bin gila. Aneh akan kekuatan semangatnya dan gila dengan cita-citanya untuk satu dunia yang lebih beradab.

Dua Gelas Gopi Berjuta Resah
Sambil menunggu, Benhard memesan dua gelas kopi. dua gelas kopi sejuta mimpi, demikian bang Benh memulai pembicaraan. Dimulai diri situasi kerja yang kian hari kian menjemukan. Tak ada satu yang baru, semua tetap sama, samar perlahan menuju gelap. Satu persatu yang kita miliki mulai hilang. Kini adakah yang bertanya, kenapa hidup masih seperti ini? "Kadang kita hanya dihargai sebatas waktu dan tenaga!" cetus Benhard.

Bayangkan kerja yang dibebankan terkadang memaksa kita harus menuangkan segala isi kepala, demi sebuah tututan besar, target. Mulai dari productivity yang tinggi, efisiensi hingga kepada peningkatan kualitas. Ini semua menjadi beban kerja yang selalu dan hampir tiap hari menjadi titik pencapaian yang diharapkan perusahaan.

Namun, disisi lain terkadang segala pencapaian tidak memiliki imabas yang sama terhadap sebuah pencapaian. Bertanyalah, berapa besar sudah peningkatan produktivitas yang tercapai? berapa banyak sudah penghematan yang terjadi? Atau seberapa besar usaha yang telah dilakukan untuk mencapai titik kualitas tertinggi? Adakah hal yang istimewa datang kepada kita saat semua pencapaian itu telah menjadi sebuah kenyataan?

Ya sebuah kenyataan memang datang, pahit. Semkin lama kita hidup di dalam rumah (PT) yang kita tinggali ini semakin banyak hal aneh yang kita jumpai, kejanggalan. Masih ingat pertama beberapa tahun lalu dengan bingkisan ulang tahun? Atau mungkin masih ingat dengan lapangan sepakbola yang dibelakang rumah kita ini? satu persatu hilang, tak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Mungkin efisiensi. Tapi efisiensi yang sungguh keterlaluan, dimana sisi media motivasi semacam itu ditarik demi satu dewa tua bernama efisiensi.

Itu hanya satu dua cupilikan kilas balik yang kita jumpai di rumah kita kini. Sebuah dewa lama berwajah baru. Ntah ini akan berhenti disini atau masih lanjut. Dan jika harus dilanjutkan hal apa lagi dari yang sekarang akan menghilang. Mungkin serapan pagi akan di hapus, mungkin parcel tahunan atau jangan - jangan ada hal ekstrim yang bisa juga dicabut, seperti aturan overtime untuk malam hari.

Hal ini sudah terjadi dengan saudara tiri kita (karyawan dari Global dan Petra- red) yang bekerja di rumah kita ini. Malam hari mereka hanya mendapatkan kurang dari 50% dari yang seharusnya mereka dapatkan diwaktu kerja lembur di malam hari.

Memang kita yang menjadi anak kandung masih merasakan hal yang normal, 4 jam untuk malam. Tapi siapa yang bisa menerka mereka yang diatas akan juga memperlakukan anak setengah kandung itu pun akan dijatuhi dengan aturan yang sama dengan sadara kita anak tiri itu.

Pada akhirnya bagiku semua yang menjadi visi mereka (perusahaan) hanya sebuah mimpi yang membawa kita terlena akan kemirisan hidup. Rumah kita ini tak lebih melihat penghuninya sebagai bilangan angka. Manusia dengan nomor. Hingga akhirnya setiap kepala kita hanya akan dihargai dengan angka-angka mati. Ada Rp5800, Rp.8000 atau ada sedikit diatas Rp.10000, per jam. Kita ada dimana? Manusia dengan harga perjam berapakah kita sekarang? Sungguh memalukan sebuah rumah besar seperti yang kita tinggali hanya memaknai penghuninya dengan bilangan-bilangan mati, miskin motivasi dan juga kompetisi.

Mungkin ada yang berfikir, tapi mudah mudahan bukan dari komunitas kita (SPMI-red) bahwa manusaia dengan kerja keras menghasilkan 20 juta barang dengan kualitas terbaik mendapatkan reward yang sama dengan manusia yang duduk tenang seolah tak melihat masalah.

Lantas untuk apa bekerja keras? "Sebuah pemikiran yang dibentuk oleh sistem yang bodoh yang dirancang oleh manusia-manusia aneh yang tak mengerti apa sesungguhnya arti dari manusia sebagai ciptaan tersempurna dari sang Ilahi. Ntahlah mereka mengerti dengan apa yang mereka lakukan dan akan mereka lakukan." tandas Benhard Simanjuntak sambil memanggil Namboru Juminten Nadeak yang sedang menyanyikan Sinanggar tullo dengan gaya sinden. Salam melihat. (disarikan: Pius Nainggolan)

22 Agustus, 2009

Refleksi:

Berita miris sering menjadi titik tolak yang membawa manusia untuk kembali berfikir akan makna hidup. Nafas bukan lagi sekedar aliran udara yang bersirkulasi dalam tubuh. Jiwa tak hanya sebuah makna kosong tanpa arti. Rasionalitas telah terjungkal oleh belenggu kenyataan yang jauh dari alam pikiran. Ipat, teman yang belum lama bergabung dalam satu korps kerja, Panasonic. Dia terbaring lemah tak berdaya.

Ini bukan berita pertama yang kualami setelah mengijakkan kaki di bumi Batam. Beberapa bulan lalu orang tua teman satu rekrutan dari Jogja, Ima meninggal dunia. Setelah itu datang kabar seorang teman, Manungkol juga tergelak dipinggir jalan setalah ditabrak lari. Tak berapa lama nafas terkahir juga menyela, meninggal dirumah sakit Otorita. Berita miris datang kepada orang-orang dekat kita, sebuah titik kecil bagi sang pencipta yang mampu membawa kira merenung kembali akan makna hidup.

Hidup, Jalan milik Tuhan, Berbagi jalan untuk Manusia.
Hidup tak jarang dimaknai sebagai keberadaan fisik. Pendapat ini setidaknya diamini oleh para penganut faham meterialis. Hidup adalah dunia, tanpa ada sebelum dan setelahnya. Berbeda dengan kehidupan kita, hidup adalah sebuah rangkaian dari yang sebelumnya (Tuhan/Kebaikan) dan akan berujung pada setelahnya, Tuhan (abadi atauau kematian kekal. Sebagian orang menempatkan hidup seperti dua titik, kosong dan ada. Kosong saat kita tak mengisinya dengan berbagai makna psoitif dan hidup jika melakukan hal yang sebaliknya, berbuat sesuatu untuk orang lain.

Refleksi, perenungan adalah saat dimana manusai mengosongkan segala pikiran dan mengisinya kembali setelah melakukan pembedahan kritis dari setiap perjalanan hidupnya. Kematian dari manusia tercinta atau pun belenggu yang menimpa teman-teman dekat, kadang menjadi medium yang sering membawa manusia pada situasi perenungan. Kematian seorang orang tercinta kadang membawa kita pada ke-ada-an kita. Ini yang terlihat saat sahabat kita tertipa berita duka, kita saling berbagi memberi atau saling mengulurkan tangan. Refleks sosial dari hati terhadap sesama.

Berbagi, dalam bahasa sederhana dapat kita arikan memberikan sebagian dari yang kita punya untuk sesama. Namun sering konsep berbagi dipahami dalam arti materil. Inilah yang tampak dari kita saat ada hal yang mengganjal. Tak perlu dipungkiri semanagt seluruh komunitas pekerja Panasonic saat memberikan donasi duka. Tapi sayang sebagai komunitas pekerja yang sangat besar kita kadang terlupa akan sebuah sebab yang mendasar. Apa arti sesungguhnya donasi yang selama ini terlah berjalan? Pertanyaan sederhana yang mungkin bisa membawa kita pada sebuah alam sadar.

Pertanyaan sederhana ini sesungguhnya muncul atas sebuah refleksi. Saat dimana seorang teman terbaring di rumah sakit tapi tak punya kempuan membeli obat yang lebih baik demi keselamatan jiwanya. Atau mungkin sebuah berita duka datang dan butuh untuk kembali, namun harus berfikir seribu kali, ongkos dari mana? Ini adalah sebuah realitas yang membawa kita pada sebuah arti donasi, berbagi saling merasakan.
Namun pernahkah kita merenung, beban yang kita alami juga seharusnya merupakan beban dari sebuah raksasa yang lebih besar dan tentunya bukan kita? Disinilah kita lupa bahwa kita tak pernah berbagi dengan sungguh-sungguh memikirkan kenapa kita menjadi sangat penting untuk berfikir akan subuah donasi yang sungguh mulia itu. Akhir kata, jika ada waktu marilah sedikit merenung dan coba mencari siapa yang seharusnya menjadi donatur kita saat dalam kemalangan, kedukaan? Kalo pun aku harus menjawab, aku hanya bisa mengatakan donsiku hanyalah receh kecil bagi ‘sesuatu’ yang pada dasarnya harus menjadi penyumbang kita. “ciptaan terbesar’ yang berubah jadi raksasa berwajah manis.

Sebuah kesadaran baru, dimana kita perlu untuk berbagi dalam banyak hal, terutama ide, cita-cita atau mungkin juga keluahan. Ini akan mebawa kita pada dunia yang sesungguhnya. Dunia dimana ruang-ruang jalur saraf dan hati menjadi saling menyatu untuk satu tujuan, dunia dimana kita mengingjakkan kaki yang bernama berbagi. Salam teman.

Sonny Boy, Man for the Poor?,Please women for who

Sobat, hari ini berita duka datang menyapa. Setelah dua bulan lalu, kabar duka ini menghampiri keluargaku, kini dia pun kembali mendatangi keluarga seorang teman, Minggu lalu, (15/07/07) ayahanda Ima, teman satu rekrut dari Jogja, dipanggil menghadap Ilahi. Kematian memang selalu datang seperti kibasan angin. Baru dua bulan lalu, sang ayah datang melihat kondisi Ima, sekalian untuk berlibur. Dua minggu mereka manfaatkan untuk berpuas kegembiraan, mengunjungi negeri Singa hingga Kuala Lumpur. Kegembiraan, sebuah kenangan yang akhirnya ditutup dengan kabar tak terduga. Serangan jantung telah membuatnya tak kuat bertahan, kematian.
Bukan sebuah duka yang ingin kubagi Sonny Boy. Saat suara kematian berdenting di telinga, sungguh hanya satu yang menyelusuri seluruh urat - urat saraf, refleksi. Sebuah perenungan tentang hidup, bagaimana seharusnya manusia hidup, saat kematian telah menjadi kepastian. Ntahlah, kamu pernah merasakan bisikan itu, bisikan sebuah lagu dengan nada-nada mengerikan. Sonny Boy, bisikan itu sebelumnya telah menyapa Bapakku, suara itu membisikkan sebuah kalimat. “ Minggu 13 May 2007, saat mentari dipuncak langit, sang Ilahi ingin bertemu dan berjamu anggur mulia.” bisik malaikat pejemput nyawa diiringi hentakan nada surgawi. Tak ada yang tau, giliran bisikan itu akan datang kapan ketelinga siapa pun yang masih menghembuskan napas kehidupan, sobat. Bagaimana denganmu Sonny Boy, sudah siap dengan bisikan surgawi?
Sorry, bukan maksud mengajakmu memasuki ruang-ruang teologi, sobat. Sungguh mengerti akan pendapatmu jika menyinggung ranah itu. Karena aku selalu ingat dengan kalimatmu itu. “Jika semuanya harus melewati jalur filsafat yang satu itu, marilah kita mengucapkan kata amin.” Memang, tapi biar bagaimana pun, itu adalah sebuah pengharapan, bukan sesuatu akhir, tapi jalan menemukan jutaan alternatif akan hidup. Untuk itu aku tak mau mengatakan amin. Gimana Sonny Boy, tak masalah bukan?
Cerita lamamu saat dibawah pohon mangga di depan Pusgiwa, saat-saat api heroik masih membakar dadamu. Sebuah mimpi akan negeri indah, damai dan sejahtera. Saat dimana, kepalamu tak hentinya setiap hari menjejali sejuta pertanyaan tentang penderitaan. Sungguh saat yang menyenangkan kala mentari sudah makin mendekat ke tepian barat. Secangkir kopi dengan bungkusan rokok kretek telah terletak diatas meja kayu bundar. Cerita, diskusi panjang menjadi begitu menarik. Tema semakin tak terbatas, bahkan tawa pun tak jarang mengiringi. Sungguh saat yang indah. Walaupun tak jarang suara kerasmu memekik bak ayam jantan, tiba-tiba mengeluarkan nada protes. Dasar Sonny Boy!!. Kepalamu memang selalu ingin berdiskusi, berdebat tentang kemelaratan.
Saat ini, sudah hampir satu setengah tahun lebih, suasana bawah pohon menghilang sobat. Disini tak ada perbincangan yang menarik, tak ada lagi kopi yang diaduk dengan indahnya diskusi. Kopi hanyalah obat penjaga mata menanti jam menunjuk pukul 10 .00 malam. Sorry, tolong jangan keluarkan kalimat saktimu itu. Aku tahu, kalau jam segitu bencong belum tidur. Mungkin karena itu, karena aku bukan bencong makanya tidur jam segitu. Haa.. aku ingat sedikit dengan orang – orang tua itu. Ketika mereka dengan bangga menamai komunitasnya dengan komunitas banci! Gila, dasar orang tua tak tau diri, udah lulus begitu lama, tapi juga masih tak tahu malu menamai komunitasnya dengan sebutan itu. Memang kata mereka itu bentuk resistensi. Sayang kami disini tak memiliki keberanian itu. Sayang!
Resistensi sobat! Diskusi, meluangkan waktu disaat yang lain sibuk dengan musik pop, cerita sinetron, romantisme film, berduaan atau apapun itu. Menurutku juga bagian dari resistensi itu. Resistensi, upaya mempertahankan diri dari lingkungan yang cendrung keluar dari jalur yang diinginkan. Disaat dunia menawarkan segala hal dengan kemungkinannya, maka manusia juga dituntut untuk memilah segala kemungkinan tersebut. Ada dengan jalan menghidarinya secara frontal, berlari keluar batas lingkaran. Sebagian ada yang tetap berada didalam lingkaran dan berusaha kuat untuk tetap mengasah identitasnya. Ada yang memang bertarung didalam lingkaran itu, berusaha mengubahnya.
Aku teringat dengan film, Gie Sonny Boy. Saat rezim orde lama hampir tumbang oleh penderitaan rakyat. Beberapa kekuatan muda yang berjuang didalamnya diberi pilihan yang sama. Berada diluar lingkaran kekuasaan, bak Ho Gie. Atau masuk dalam lingkaran seperti Akbar Tanjung. Keduanya adalah pilihan. Ahh, memang benar katamu hidup memang pilihan, sobat. Tetapi pilihan juga menuntut konsistensi sobat, sepakat? Aku yakin kamu akan sepakat, karena pilihanmu membusuk di bangku tanah Jogja ditepian kali Code sudah jadi kenyataan yang berbunyi. Salut, sekaligus miris buatmu. Walaupun demikian tak ada yang memaksamu, memang itulah pilihan.
Sekarang setelah lebih dari setahun tinggal di Batam. Moga pikiran dan anganmu tak membayangkan gedung megah dengan luncuran air mancur. Batam, tak lebih maju dari Medan sobat. Bahkan Semarang kotanya si Ucok manusia batak logat jawa pun masih jauh lebih maju dan megah dari kota ini. Megah, tidak hanya dalam konteks fisik, tapi juga rohnya. Bagiku, kota ini hampir mirip dengan bangunan – bangunan mati. Mati, oleh manusia yang memang hanya dikondisikan untuk bergerak bak roda pedati, yang mati itu. Akses apapun sangat sulit, sulit bukan karena tak ada. Sulit karena memang semuanya diukur dengan uang.
Evander, teman kuliah dulu di kota Gudeg. Mungkin kamu tak kenal dengannya. Manusia yang terlihat cool, namun pikirannya ternyata penuh gejolak, pemberontak. Dunia kerja baginya bukan kali pertama dalam hidupnya. “Kalo tahu kayak gini saya tak mau ke Batam. Apaan ini!” tandasnya dengan logat Batak. Sebuah perlawanan, gejolak, sayang semua hanya ada dalam alam pikir dan bibir. Cukup besar harapan, teman - teman dengan dasar pendidikan yang lumayan. Sorry aku menyebutnya demikian, karena demikianlah kami diperlakukan disini, sobat. Sonny Boy, dulu kita sering menyebutnya dengan kaum intelektuil, terpelajar. Bahkan dalam sebuah tema khusus diskusi alam sadar, dengan satu teko teh kampung, intelektuil menjadi ulasan panjang.
Intelektuil, selain kemampuan dasar formalistik pendidikan yang melekat, juga memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungannya. Intelektuil, juga dapat difahami sebagai kaum yang memiliki kemapuan untuk mempertimbangkan baik –buruk, dan menjadi motor perubahan untuk mencapai kesejahtraan, keadilan bagi lingkungannya. Dan, masyarakat memandang mahasiswa, alumninya masuk dalam golongan ini. Sebenarnya, tak perlu diperdebatkan, karena sejalan dengan tri dharma perguruan tinggi, dimana manusia itu bermetafora.
Sorry aku teringat dengan sentilan kecil si Wiwit Black saat minum tempura Pakualaman, saat melihat gemerlapnya lampu, dan ramainya meja billyard di seberang pintu masuk itu. “ Man for the poor, women for me, peta inteletual sudah lebih mendekat pada yang kedua.”
Di Batam ini Sonny Boy, hanya sedikit manusia yang merupakan keluaran tembok tembok penjara pendidikan tinggi. Walaupun hanya sedikit, sayangnya penjara perguruan tinggi ternyata tak cukup kuat merubahnya menjadi manusia edan, manusia gila. Edan akan perubahan, gila akan penindasan. Semuanya, ikut sobat. Ikut dengan seperti alur air sungai Asahan yang tak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya untuk menghidupkan turbin PLTA Siguragura. Ntahlah hidup yang mereka berikan untuk apa. Kata mereka itu demi ke-pasti-an. Tapi, sorry, bagiku itu hanya “mimpi kepastian”. Bagaimana denganmu, Sonny Boy?