24 Agustus, 2009

Berita Miris

Berita miris sering menjadi titik tolak yang membawa manusia untuk kembali berfikir akan makna hidup. Nafas bukan lagi sekedar aliran udara yang bersirkulasi dalam tubuh. Jiwa tak hanya sebuah makna kosong tanpa arti. Rasionalitas telah terjungkal oleh belenggu kenyataan yang jauh dari alam pikiran. Ipat, seorang teman baru yang belum lama bergabung dalam satu korps kerja, Panasonic. Dia terbaring lemah tak berdaya.

Ini bukan berita pertama yang kualami setelah mengijakkan kaki di bumi Batam. Beberapa bulan lalu orang tua teman satu rekrutan dari Jogja, Ima mantan trainer MTC, meninggal dunia, akibat serangan Jantung. Setelah itu datang kabar seorang teman, Manungkol juga tergelak dipinggir jalan setalah ditabrak lari. Tak berapa lama nafas terkahir juga menyela, meninggal dirumah sakit Otorita. Hanya beselang beberapa bulan kembali, seorang teman terbaring di rumah sakit.

Buatku atau kita, doa adalah sarana yang paling ujung yang bisa kita serahkan, selain memberi sesuatu yang sekiranya dapat membantu dalam hal yang bersifat dunia. Seorang teman berkata akan ada semcam sumbangan bersama anak-anak Panasonic. Sebuah berita baik yang kembali menyadarkan kita akan kekuatan hati. Demi sesama, teman, sahabat atau apapun itu. Kadang berita miris datang kepada orang-orang dekat kita, akan membawa kita pada sebuah titik, merenung kembali akan makna hidup.

Hidup, Jalan Tuhan Pilihan Milik Manusia
Hidup tak jarang dimaknai sebagai keberadaan fisik. Pendapat ini setidaknya diamini oleh para penganut faham meterialis. Dimana hidup adalah dunia, tanpa ada setelahnya. Namun untuk konteks kita dengan sudut pandang religiusitas, menempatkan hidup seperti dua titik, kosong dan ada. Kosong saat kita tak mengisinya dengan berbagai makna positif dan hidup jika melakukan hal yang sebaliknya, berbuat sesuatu untuk orang lain.

Entah menagapa aku kembaliteringat dengan seorang teman. Bukan berita kematian, bukan pula berita kepedihan. Tapi berita kegigihan yang penuh heroisme. Seorang teman yang mengantarkan pikiranku balik ke tahun 2003, saat dimana pundak masih ringan dan kepala masih ganas. Benhard Simanjuntak, Bang Ben demikian teman-teman menyapanya. Benhard, manusia tak biasa yang ditempatkan luar biasa oleh manusia yang tak paham apa yang ada dalam pikiranya. Bagaimana tidak, dia yang coba beridiri didepan dan menghalau tirani habis ditindas untuk sebuah alasan yang tak jelas. Tapi aku masih yakin dengan dunia ide ala aristoteles. Badan bisa dibelenggu tapi hati dan pikiran siapa yang bisa menghalau. Hanya orang bodoh yang mencoba mencegah sebuah cita-cita, perjuangan atau pemikiran sekalipun dengan menggunakan pembelengguan.

Sorry jika sedikit sentimentil.

Namun kala kekuatan hati terkadang juga membutuhkan pertimbangan rasionalitas. Teman, menyumbang dengan hati adalah kebaikan. Tapi ada hal lain yang kita lupakan saat kita harus merenung akan arti hidup yang sesungguhnya. Perjuanagn. Perjuangan melawan penyakit, melawan kematian (dalam prespektif pecegahan tanpa mengurangi kehendak yang Kuasa) dengan alam berfikir kita. Perjuangan untuk mengubah keadaan kita saat semua keyataan miris itu tiba.

Kini kehidupan memberikan manusia akan akal pikiran selain perasaan. Ini adalah anugrah terbesar dan terlengkap yang pemberian Ilahi bagi ciptaanya. Perasaan, kita sudah menunjukkannya lewat kerelaan berbagi dengan sesama. Akal pikiran (rasionalitas) menjadi senjata ampuh, jaminan bagi manusia untuk dapat tetap bertahan hidup untuk melawan kemungkin akan bahaya bagi kehidupannya.

Bagimu, bagi kita, sudahkah berfikir akan jaminan yang lebih baik untuk kehidupan kita? Berita miris ini datang menyapa kita sekarang lewat seorang sahabat. Setelahnya kita tak tahu. Saat semacam inilah akal pikiran saatnya kembali menyatu dengan perasaan. Membangun sebuah sistem yang memebrikan kita akan jaminan dalam mempertahankan hidup yang lebih baik. Jika sakit kita bisa berobat dengan layak. Jika ada bagian keluarga utama kita mengalami musibah, ada jaminan untuk dapat memebri penghormatan yang layak.

Pernah berfikir akan hal ini. Moga dan saya yakin. Namun sudahkah atau akankah itu akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. Mungkin tak tepat untuk bertanya pada rumput yang bergoyang, saat kepala kita masih mungkin untuk digoyang memikirkannya. Satu hal yang ingin kusampaikan, Tuhan memiliki semua jalan, mati dan hidup. Namun jangan lupa, manusia diberi pilihan akan penggunaan jalan itu. Berlari diatas jalan kehidupan atau merangkak dijalur kematian. Ini adalah pilihan dari yang Ilahi. Satu pilihan terbesar yang memungkinkan manusia dengan sang pencipta hidup dalam suasana demokrasi. Dengan juri paling adil sang Ilahi.
(PIUS: Catatan: manusia dengan manusia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!