24 Desember, 2010

Naposo Nainggolan Se-Barelang, Quo Vadis Omnes?

Ntah kenapa hari ini jariku ingin menghenttakkan keybord laptop. Tak seperti biasa, kesulitan akan ide menghantui kepala. Memang sore ini ide itu belum ada yang muncul, cuma jari sepertinya sudah terasa gatal untuk menekan kuat setiap huruf yang menantang. Mungkin ini hasil rangkain perjalanan hidup dalam minggu ini.

Sejak pertandingan bola terakhir, melawan Aritonang FC kembali membuka mata akan sulitnya mentranformasi ide dan pemikiran dengan teman-teman di komunitas Naposo Nainggolan. Maklum, sebagian besar perjalanan hidup di pulau Batam habis untuk coba berbagai teman naposo di keluarga besar Nainggolan.

Dua minggu lalu, selepas pertandingan Aritonang, keputusan mengundurkan diri sebagai manager tim sepak bola Nainggolan harapannya akan membawa kebaikan bagi komunitas ini. Setidaknya akan memberi ruang kepada segenap pengurus baru untuk bereksperimen yang lebih besar. Tak lagi terhambat oleh pemikiran lama, yang mungkin cendrung lebih tradisional. Setidaknya pikiran progresif yang ada dalam kepala mereka akan lebih cepat dituangkan. Dan bagiku gambaran akan hegemoni lebih mudah terlepas.

Sejak awal mengambil keputusan untuk keluar dari garis pengurus, didorong oleh harapan akan kontunitas kepemimpian dalam konsep penyegaran dan regenerasi dalam komunitas ini. Tak ada yang lain, satu-satunya alasan yang saya miliki adalah demikian. Setidaknya dengan jalan ini akan lebih banyak naposo Nainggolan yang bangkit dalam ide, pemikiran dan kepemimpinan tentunya.

Namun apa daya, konsep dasar ini termentahkan, karena tak banyak sumberdaya yang mampu untuk menjadi pemimpin dalam komunitas ini. Setidaknya demikian gambaran yang tampak. Tak ada kandidat baru yang berani berteriak lantang akan kesiapannya untuk tampil maju. Mau tak mau, beberapa dari teman lama harus maju dan mengambil alih nahkoda kapal naposo Nainggolan. Walaupun ini tak akan pernah menghempaskan mimpi besar nainggolan. Mimpi, harapan besar akan kontiunitas ide dan pemikiran itu kuat tetap tersimpan. Setidaknya, walaupun dengan beberapa catatan.

Nainggolan Community, rumah ide sejuta Harapan….!!!
Jika harus mencoba mengingat kembali ke titik awal masa-masa jejak kaki mulai melangkah dalam komunitas ini, mungkin sebagian besar dari orang terbaik yang mengisinya masih ingat dengan mimpi akan hamparan pulau indah dengan berbagai macam bunga kehidupan yang menghiasinya. Itulah deskripsi masa depan akan komunitas Nainggolan yang terpancang kuat dalam alam pikiran. Dimana komunitas ini akan menjadi tempat berproduksi bagi semua kepala untuk menghasilkan ide dan mengaplikasikannya bersama-sama.

Masih ingat dengan rentetan rencana yang kita sudah bangun? Mulai dari ide belajar membuat dan memasarkan kue hasil kreasi internal, mengarahkan ito-ito untuk kursus menjahit, menyulam, mendirikan usaha internet, advertisement. Hingga pada agenda pesta naposo, lomba trio, pesta dan pameran budaya Batak hingga pada mimpi menjadi inisiator forum lingkar naposo bulung Batak di pulau Batam. Semua sudah pernah kita bicarakan, bahkan hampir setengah dari isi pertemuan kita, baik personal maupun komunal.

Ini meruapakan hasil terbaik dari sharing yang menjadi kultur baru yang pernah kita bentuk sobat! Membawa komunitas ini kearah wujud intelektual, tanpa harus lepas dari bingkisan kultur kita sebagai warga Batak. Sungguh menarik, dan sangat menyenangkan berada dalam komunitas ini. Inilah kita dulu sobat dalam komunitas ini. Kini, jika harus dipandang terlalu dini atau tergesa-gesa, namun ini hanya kekawatiran akan arah kultur yang sebelumnya sulit kita tumbuhkan, kini seolah tampak akan pudar hanya dalam hitungan bulan. Sorry, aku hanya sedikit sedih, karena momentum baik itu mungkin hanya akan berjalan sependek umur jagung. Semoga aja tidak, dan semua elemen menyadari tentang apa yang sedang terjadi.

Sebelum kulanjutkan, sebenarnya sungguh sulit menuliskan ini semua. Kawatir jika ini dilihat sebagai wujud dari posh power syndrome yang menghantui kepala ini. Atau mungkin dilihat sebagai sebuah wujud hegemoni yang coba di telorkan. Sebelum alam pikiran kita terbawa kesana saya ingin katakan, tidak sama sekali sobat. Tak ada jalan yang yang bisa mengarahkan penjelasan untuk pembenaran akan kekawatiran itu sobat. Karena seluruh urat saraf hanya ingin memberi kritik membangun yang mungkin ada kebenarannya. Dan jika pun tidak, toh kita semua tetap berharap yang terbaik untuk komunitas kita ini.

Lewat tulisan, saraf kecil ini hanya mencoba membawa kita kembali ke jalan awal yang pernah kita pilih. Setidaknya jika kita masih punya paradigma yang sama tentang visi komunitas ini.

Paradigma, konsep berfikir demikian secara sederhana kita bisa memaknainya. Dalam alur sederhana pula, dapat juga mengamininaya sebagai sarana yang dapat membawa kita pada cara penemua jalan menuju visi besar yang ada dalam angan-angan kita.

Kembali pikiran saat pertemuan dengan Amir Siregar, ketua DPD Hanura Kepri kembali muncul dalam pikiranku. Pertemuan singkat, dimana kerangka otakku menempatkan Batam, sebagai kawasan industry yang lupa akan kulitnya. Tak pernah sadar, jika dia telah berkembang diatas keringat manusia-manusia muda yang pada akhirnya hanya meninggalkan tulang kering. Terutama kini pemandangan ini semakin nyata.

Sobat inilah yang menjadi landasan kita dua tahun lalu. Memulai semuanya dari hal kecil, namun memiliki kekuatan untuk membangun sesama. Kerinduan akan borneng-borneng yang memiliki kemampuan untuk menjadi creator muda, lewat usaha yang bisa membangun hidupnya pasca habis kontrak dari pabrik yang kini menghidupinya. Kita sungguh tak mau borneng-borneng muda akan kembali ke kampung halaman dengan bekal kemampuan yang hampa. Kembali manillok ditengah lahan yang makin menipis dan kering keropos. Kita sepakat menempatkan ini sebagai pilihan, dan bukan sesuatu konyol. Inilah yang membawa kita sepaham, untuk bangun bersama. Sekali lagi bersama sobat.

Kini suara ini kembali mengiang dalam kepala. Mungkin karena ini belum jadi kenyataan. Dan darah dalam nadi seakan tak puas. Maaf jika detak jantungku terlalu menggebu untuk kembali mencapainya. Maaf juga jika detak jantung ini tak sabar menunggu kapan para sobat yang kini menjadi organizer akan melangkah mencapai impian ini.

Yang jelas, harapanku hanya satu tak ingin kita terlena dengan berbagai tetek bengek rutinitas yang membawa kita terlena. Hingga paa akhirnya kita akan dibangunkan dan melihat bahwa kita masih berdiri di tempat yang sama. Mangapian, demikian orang kita Batak menyebutnya.

Kapal Naposo Nainggolan, goyangan ombak ditengah Samudra.

Kurang lebih setahun yang lalu, sebuah pernyataan dari orang terbaik dalam keluarga ini pernah menjadi pemicu semangatku untuk bangkit. Pernyataan yang menurutku konyol dari seorang yang memang dipandang sebagai manusia emas, karena kesuksesannya. Pernyataan yang menurutku menempatkan kita pada pandangan pesimistik untuk member yang terbaik. Yang seolah-olah hanya kumpulan bongkahan kepala yang hanya butuh kerinduan.

Sudah pernah kita berdiskusi bersama tentang hal ini. Dan aku lihat wajah kita semua, merasa terguncang dan ingin menancapkan sebuah tonggak pembuktian. Kita bisa berbuat jauh lebih tinggi, lebih hebat, lebih membanggakan dari apa yang menjadi pandangan itu. Kita sepakat membuktikan ketidaktepatan pandangan itu. Kita akan membalikkan padangan yang beranggapan jika punguan naposo sudah cukup baik dalam batas membangun jalinan tali kebersamaan, temu kangen. Kita bisa lebih sobat. Dan saat itu kita bangun bersama rangka kaal yang tangguh, supaya bisa berlayar ditengah samudra sedasyat apapun. Dan sepertinya kita sudah hampir selesai membangunnya. Dan kita yakin kapal itu itu sudah layak dan mampu berlayar ditengah amuk gelombang sebesar apapun.


Beberapa bulan yang lalu, kapal ini resmi berlayar menuju gelombang samudra yang makin mengganas. Dan terlihat memang, kapal itu tangguh, dan sepertinya arus gelombang yang menerjang seakan tak berarti. Salute buat kita semua yang telah membangunnya dari rangkain konstruksi terbaik. Konstruksi yang ditopang oleh manusia – manusia terbaik.


Namun pertanyaan muncul, setelah engine dihidupkan, dan layar diturunkan setelah sekian bulan, kemana kapal ini sedang berlayar? Adakah tujuan yang sudah direncanakan? Jangan-jangan kapal ini hanya berputar-putar ditengah samudra yang memang terlihat tak bertepi. Aku hanya takut, sekuat apapun kapal yang kita bangun, suatu saat akan keropos jika tak ada perencanaan tujuan dan maintenance pada kapal yang kita buat. Saya taku suatu saat kapal ini akan bbreakdown, mati ditengah gelombang karena sudah terlalu lama berputar-putar tanpa tujuan ditengah hempasan gelombang. Sia-sia sudahlah nantinya kita membangunnya sobat! Dan akhirnya melihat wajah-wajah ito-itokku yang lugu seolah tak punya mimpi dan tujuan. Sayang sekali sobat, jika masih bisa berbagi ini hanya suara tangisan, sekali lagi tangisan yang mungkin yang terbaik yang bisa kuberi. Semoga semua yang terjadi nantinya hanya sekedar diluar nalar sadar kita semua. Dan suatu saat kita bisa bertemu dalam suasana tawa, dalam ketidak mengertian kita atas semua yang terjadi. Salam, sekali lagi,.. moga semua ini tak pernah terjadi. (Pius, saat sebuah mimpi menggelora ditas peti mati)

MIRDONG DI TONGAN NI BORNGIN

Hari ini aku melihat bintang ditengah gelapnya malam. Dan angin bertiup semilir dan pohon-pohon bergoyang seolah kegirangan. Sangat jelas terdengar, gesekan daun-daun terdengar riuh, seolah sedang bersorak-sarai kegirangan. Diselingi suara burung terdengar sekilas bak penambah indahnya riuh suara angin dan gesekan dedaunan yang saling menghempas ke kiri dan kanan. Aku hanya duduk termenung, semakin melihat jauh kelangit sana. Sembari menunggu kemunculan bintang yang lain, mataku fokus menanti gerakan bintang yang sedari tadi tetap menyendiri.
Bintang nan jauh disana sepertinya mengajakku berbincang, lewat artkulasi pancaran cahaya. Dia seolah menggodaku. Terkadang aku merasa dia titipan yang sengaja memang hanya ditus seorang diri. Sampai kin I belum ada bintang yang lain datang. Dia vtetap sendiri, namun terkaang bersembunyi dibalik awan malam, namun tak berapa lama muncul kembali. Dia benar-benar menggodaku. Namun tak jelas godaan apa yang sedang dia kirimkan kepadaku lewat pancaran cahaya-nya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Dasar Bintang abadi yang penuh kekuatan sang penakluk, penakluk malam, penakluk kegelapan yang tak pernah akan padam.
Saat mataku kemabali menatap tajam, tak berapa dia kembali menghilang di balik awan. Suara angin kian jelas terdengar berisik. Mengganggu. Membuyarkan tatapan mataku, lewat gesekannya yang menyetuh halus dilapisan kulitku. Halus namun tetap terasa dalam, hingga membuat gerak hentak jantungku memacu makin kencang. Otak langsung memberi komando tangan untuk melipat. Dingin..!
Dalam kepalaku hanya bisa menhentak dalam hati. Dasar angin, malam. Namun tak berapa lama hentakan itu berubah lagi lewat suara hati. Suara itu berbicara pelan mengingatkan.
“Bukankah angin juga bagian dari malam, yang punya kuasa yang sama layaknya bintang dialangit sana? Bukankah dia juga berhak untuk mendapatkan pandangan hatimu lewat rasa yang menyentuh kulit dan juga telingamu?”
Benar juga, jika angin punya kuasa yang sama untuk datang, lewat dan pergi mengitari gelapnya malam, layaknya bintang. Demikian saraf dalam batok kepala seolah berusaha mengamini apa yang barusan terjadi. Kini aku terbawa dalam perdebatan dalam otakku sendiri. Diamana pesan logika dan rasa seolah saling bertaruh mencari pembenarannya sendiri.
Bintang itu muncul lagi, melenyapkan semua perdebatan yang sedang bergolak. Dia terlihat seperti tersenyum, cahaya-nya menusuk jauh kedalam bataku, seolah berkedip dan sedikit terasa mengejek. Tersenyum sinis, melihatku bergulat dengan sebuah kenyataan yang sudah merupakan kepastian. “ tak ada yang perlu kamu perdebatkan disana” sepertinya membisikkan kata-kata itu. Memang kembali benakku mengamininya. Ya angin dan bintang punya kekealan untuk mengisi ruang gelap malam. Keduanya ahanya pengisi ruang, yang bebas untuk dinikmati tanpa harusa memintanya datang dan pergi. Dia punya kuasa untuk itu semua. Kuasa yang diberikan oleh sang pencipta dan maha Kekal.

10 April, 2010

Paskah


Setelah Maria menemukan makam itu kosong dan kemudian ia melihat Yesus berdiri di belakangnya dan ia berseru, ”Rabuni!”, dan sejak Sang Guru menampakkan diri di depan beberapa murid yang berkumpul di ruang tertutup, dan kemudian menampakkan diri lagi beberapa kali, agama Kristen merayakan Paskah sebagai hari kebangkitan kembali: tubuh yang telah mati disalib itu bangkit dari kubur. Ia kekal.


Orang-orang Arab Kristen di Nazareth terkadang menyebut Paskah sebagai , ’Îd al-Qiyâmah, ”Pe­rayaan Kebangkitan Kembali”.

Tapi Yesus yang bangkit kembali itu tak berada di bumi untuk seterusnya. Ia telah berpamit kepada Maria: ”sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu”. Dalam salah satu kitab disebut, 40 hari setelah penampakan pertama itu, tubuh Yesus naik ke surga. Pa­lestina pun senyap. Saya bayangkan para murid yang tak banyak itu hidup dengan harapan-harapan yang tak jarang guncang.

Namun sebenarnya di situ pula akhir tak terjadi. Hegel pernah me­ngatakan bahwa ”kebangkitan kembali adalah universalisasi dari penyaliban”. Jika sakit dan kematian di Golgotha itu ditafsirkan sebagai tauladan dari pengorbanan diri secara habis-habisan untuk orang lain yang dekat dan jauh, untuk siapa saja yang dikenal dan tak dikenal, jika penyaliban itu dianggap contoh bahwa sengsara dan kematian mampu untuk ditanggungkan tanpa benci dan dendam (meskipun dengan kepedihan dan kesunyian yang menusuk), maka penyaliban itu sendiri sudah merupa­kan kebangkitan kembali. Itu juga momen yang universal: sang korban bisa menggugah bahkan mereka yang tak berada di sekitar kejadian itu, berabad-abad kemudian, termasuk mereka yang bukan Kristen.

Mungkin itu sebabnya, disebutkan dalam kisah dan sejarah, para murid tetap setia, dan pengikut bertambah meluas. Keyakinan yang dilahirkan dari ajaran baru yang kemudian membedakan diri dari doktrin Yahudi itu—ajaran justru yang pada dasarnya berdasar hampir sepenuhnya pada kata dan laku Yesus, bukan pada hukum yang tersusun lengkap—malah semakin kuat ketika Yesus tak ada lagi.

Agaknya itulah sebabnya, yang terjadi di hari Paskah, ketika para murid melihat Sang Guru bangkit dari kematian, bukanlah cuma sebuah kejadian penghibur buat yang berkabung.

Ada satu bagian yang menarik dalam The Monstro­sity of Christ: sebuah tukar pikiran antara John Millbank dan Slavoj Zizek. Zizek, yang mengambil posisi sebagai seorang atheis yang menawarkan sebuah ”theologi materialis”, menunjukkan bahwa kebangkitan kembali Kristus tak terjadi dengan lenyapnya tubuh dari makam. ”Tubuhnya yang disiksa tetap selamanya sebagai pengingat yang bersifat zat,” kata Zizek. Tapi sementara jasadnya demikian, Kristus ”bangkit kembali dalam kebersamaan orang-orang yang mukmin”, the collective of believers.

Zizek mengambil contoh lain. Ada sebuah lagu dari tahun 1925 tentang Joe Hill, seorang aktivis buruh Amerika yang mati dibunuh. Penyanyi Joan Baez pernah melagukannya:

I dreamed I saw Joe Hill last night

Alive as you and or me.

Says I, ”But Joe, you’re ten years dead”

”I never died,” says he.


”The copper bosses killed you, Joe.

They shot you, Joe,” says I.

”Takes more than guns to kill a man”.

Says Joe, ”I didn’t die.”


And standing there as big as life,

And smiling with his eyes.

Joe says, ”What they forgot to kill

Went on to organize.”


”Joe Hill ain’t dead,” he says to me,

”Joe Hill ain’t never died.

Where working men are out on strike,

Joe Hill is at their side.”


Joe Hill tak pernah mati, tapi bukan sebagai sosok yang ada di luar ruang dan waktu para buruh itu. ”Ia hidup di sini, persis dalam jiwa para pekerja yang mengingatnya dan melanjutkan perjuangannya,” kata Zizek.

Dengan kata lain, ”pahlawan tak mati-mati”, seperti kata H.R. Bandaharo—tapi bukan sebagai patung yang dipuja kapan saja di mana saja, melainkan sebagai yang hadir dalam laku yang konkret. Bagi Zizek, kesalahan para pengikut Kristus ialah ketika mereka terjatuh ke dalam ”reifikasi” (katakanlah: pemberhalaan) dan melupakan kata-kata Yesus yang terkenal: ”Jika akan ada kasih di antara kalian berdua, aku akan ada di sana.”

Kasih, dalam konteks ini, adalah laku yang menempuh hidup dengan tubuh yang lemah, yang kadang-kadang kesakitan atau tergoda, tapi tiap kali bisa mengatasi diri karena laku itu tak hanya untuk diri sendiri. Di situlah kebangkitan kembali akan selalu berupa kebangkitan, bukan pengulangan.

Goenawan Mohamad, Senin, 05 April 2010
http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/2010/04/05/mbm.20100405.CTP133202.id.html

02 Februari, 2010

Realitas dibalik Pilkada, Sebuah Catatan


Seberapa jauh ia bisa dipercaya, terutama dikaitkan dengan rekam jejak karir politik dan ekonominya? Adakah jejak korupsi politik dan/atau ekonomi dalam karir itu? Seberapa mampu ia membangun kepemimpinan kolektif yang propesional, kompeten dan berintegritas? Demikian Ade Sulistiani memberi pandangan tentang munculnya isu putera daerah dalam Pilkda Kepri. (Batam Pos, 23 Januari 2010) Sebuah sudut pandang menarik sekaligus membanggakan.

Menarik, karena pandangan ini coba membawa kita kembali pada cita-cita luhur founding fathers tentang makna hakiki dari kemerdekaan negeri ini. Kemerdekaan yang didasarkan pada kesamaan hak bagi seluruh warga bangsa. Melepas sekat-sekat individualistik-kelompok maupun etnic dalam kehidupan bernegara. Apalagi dalam konteks kompetisi demokrasi yang bertujuan mencari yang terbaik dalam kepemimpinan.

Menilik pertanyaan Ade Sulistiani diatas, sekilas dapat diartikan sebagai ajakan bagi seluruh masyarakat untuk mengenal lebih jauh tentang kompetensi setiap kandidat dalam prespektif Kepri masa depan. Dengan demikian, lewat referensi yang cukup voter dapat menjatuhkan pilihan yang tepat.

Dari sekian banyak kandidat yang bermunculan, hampir semuanya merupakan wajah lama, yang cukup sering menghiasi media lokal. Mereka adalah tokoh yang punya catatan panjang dalam pembangunan daerah ini. Publik sudah begitu familiar dengan nama dan wajah mereka. Mulai dari duet Ismet-Sani yang sepertinya akan terbelah, Nyat Kadir, Mustofa Widjaya, Syamsul Bachrum hingga Aida Ismeth isteri sang incumbent, merupakan tokoh lama. Sekarang yang menjadi salah satu perhatian kita adalah sejauh mana masyarakat punya referensi kuat akan situasi kekinian dan konsep Kepri masa depan.

Membaca Realitas, Sebuah Prespektif

Kemunculan berbagai kandidat, dengan bekal pengalaman panjang dalam pembangunan propinsi kepulauan ini, tak ada salahnya jika seluruh warga Kepri berharap banyak. Apalagi masih ada sejumlah masalah yang hingga kini menjadi perdebatan publik, belum terselesaikan. Mulai dari isu lingkungan, kesejahtraan hingga pada masalah ketimpangan pembangunan.

Pesatnya pembangunan yang terlihat tidak serta merta membawa pemerataan hasil pembangunan itu sendiri. Realitas ini dapat dengan mudah dibaca lewat pemandangan ketimpangan sosial yang terjadi. Munculnya berbagai perumahan yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga. Sementara sebagian lain harus terdesak masuk ke dalam kubangan kawasan hijau, membangun rumah ilegal akibat ketiadaan finansial. Pilihan yang sulit untuk sekedar bertahan di tanah perantauan.

Dampak domino lain mulai mengancam. Sumber air semakin menipis, terlihat dari semakin berkurangnya debit air di seluruh dam. Bahkan ada prediksi yang menakutkan, dimana tak berapa lama lagi berbagai sumber air ini akan habis. Sebuah pertanda yang tak juga memunculkan aksi untuk mencegahnya. Lihat saja sejumlah lahan masih masih didorong untuk disulap menjadi kawasan hunian maupun industri.

Kebijakan tak visioner lain, maraknya pembangunan pusat perbelanjaan ditengah kota. Semisal pembangunan Carrefour di simpang Kabil, Top Seratus di Batu Aji, disamping sekian banyak mall lainnya yang sudah berdiri di pusat perkotaan. Sepertinya, pengambil kebijakan tak pernah belajar dengan situasi Jakarta ibukota negeri ini. Dimana arus kemacetan lalu lintas, ancaman banjir dan juga masalah penyebaran penduduk sudah menjadi beban ibukota yang paling sulit diatasi kini. Tak terbayangkan wajah simpang Kabil, beberapa saat setelah mall itu berfungsi seratus persen. Seberapa banyak kendaraan yang berjubel akibat macet panjang. Berapa banyak bahan bakar yang akan terbuang sia-sia. Seberapa parah kualitas udara yang siap menyerang paru-paru warga kota ini? Suatu dampak yang tak sulit untuk membacanya, bahkan kemungkinan hampir semua pengambil kebijakan mengerti hal ini.

Padahal ada kesempatan belajar dari daerah lain yang telah lebih dahulu terbelenggu oleh minimnya perencanaan dalam kebijakan pembangunannya. Tidak bermaksud untuk mengulangi, tapi Jakarta, Surabaya, Medan sudah menjadi bagian kongkrit penyimpangan pembangunan kota yang sulit dikendalikan kini. Setiap tahun warganya bersiap layaknya situasi perang untuk menghalau serangan banjir. Bahkan Jakarta harus menghabiskan dana lebih dari lima triliun untuk membangun bendungan kanal timur. Sekedar untuk mengurangi dampak banjir, bukan menghilangkannya! Ntah bakal berhasil? Bukankah kita harus berkaca dengan ini?

Disisi lain hampir seluruh lingkar garis pantai pulau ini telah berubah menjadi kawasan industri galangan kapal. Tepi pantai yang indah dijejali bongkahan baja yang sibuk siang dan malam. Pantai dikeruk, pohon-pohon ditebang, tanah berbukit diratakan. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, demi satu cita-cita mencari sumber baru meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Wajah Batam yang berubah total, dengn segenap eksploitasi yang membungkusnya, wajar jika muncul pertanyaan. Sejauh mana seluruh kebijakan ini membawa kesejahtraan bagi warganya?

Sepertinya, mimpi itu jauh dari pandangan. Tak banyak yang dapat merasakannya. Lihat saja masyarakat kecil yang kian hari kian terjepit di sekat-sekat pembangunan itu sendiri. Gedung-gedung boleh semakin banyak berdiri, kantor-kantor pemerintahan seperti, kecamatan dan kelurahan terlihat megah penuh dengan hawa dingin. Namun pertanyaannya, sejauh mana itu dapat memberi sumbangan berarti bagi masyarakat. Atau jangan-jangan gedung mewahnya megah itu hanya menambah panjangnya jalur birokrasi yang menggeliat didalamnya.

Belum lagi wajah pendidikan di daerah ini yang semakin hari semakin jauh dari keterjangkauan. Hak dasar paling hakiki menjadi barang mewah yang tak terbeli. Setiap tahun ajaran baru, orang tua kebingunan bahkan berdesakan sekedar untuk mencari tempat sekolah bagi putera-puterinya.

Tak sulit mencari sebabnya. Logika pasar bisa digunakan mencari jawabannya. Mahal dan sulitnya mencari sekolah. Jumlah lembaga pendidikan yang minim jika dibandingkan dengan calon anak didik yang terus membengkak. Ntah mengapa begitu sulit untuk menanam uang demi masa depan generasi penerus untuk daerah ini.Mendirikan sekolah baru terasa mahal bagi pengambil kebijakan didaerah ini.

Terkadang hati meringis mendengar cerita ibu-ibu buruh pabrik yang bergelut siang dan malam. Waktu panjang, menguras tenaga, bergelut dengan rengsekan suara mesin pabrik tak cukup untuk memberi biaya sekolah dan susu anak kecilnya. Inikah hasil dari konsep pembangunan selama ini? Inikah jalan baik yang sedang ditawarkan oleh eksploitasi sumber daya lokal yang sedang kita jalani? Saya yakin, sebagian besar dari kita berteriak, Tidak!

Hal ini berbanding terbalik dengan tiang-tiang lampu jalan yang berdiri begitu menawan tapi ntah kapan akan berfungsi dengan sempurna. Sebagian besar hanya menjadi tiang mati tanpa cahaya lampu. Kebijakan yang terburu-buru, tanpa kematangan dalam pertimbangannya. Karena memang semua tahu, jika daerah ini sepanjang tahun mengalami krisis listrik. Seharusnya mereka paham, jika tiang-tiang itu butuh arus yang besar, untuk membuatnya memancarkan cahaya. Duit itu terbuang sia-sia.

Paradigma baru, menjadi sangat penting untuk perjalanan daerah ini kedepan. Melihat segenap potensi dan juga problema aktual yang membingkainya menjadi sangat penting, sebelum semua diarahkan menuju tujuan. Segalanya keluh kesah ini, coba disampaikan bagi kita semua. Terutama dimasa-masa penggodokan calon baru pemimpin daerah Kepri. Referensi kecil, logika berfikir sederhana memndang realitas yang ada, semoga cukup memberi bekal bagi kita untuk menentukan kandidat mana yang terbaik bagi daerah ini. Semoga mereka mendengar, dan menjadikan realiats ini bagian dari titik-titik kecil rangkaian visi mereka akan Kepri masa depan.

01 Februari, 2010

Selayang Pandang: Komunitas Naposo Bulung- Komunitas Tertinggalkan- Sebuah Prespektif!



Bergabung dalam komunitas sebenarnya bukanlah pengalaman yang pertama. Semasa memasuki bangku kuliah, saya sudah pernah bergabung dengan beberapa komunitas kemahasiswaan. Mulai dari komunitas Jurnalistik, Senat Mahasiswa hingga pada komunitas diluar bangku kuliah. Dan juga diluar Universitas, seperti Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) hingga membentuk komunitas studi riset-art yang kita namai komunitas Nias (Nandan Institute for Art Stadies). Semua memberi makna, semua memberi pelajaran akan esensi terdalam dalam hidup, memberi kehidupan bagi sesama.

Hal ini berlanjut kembali saat empat bulan setelah memasuki dunia kerja. Batam, kawasan industri menjadi tempat dimana dunia kembali menawarkan godaan yang sama. Masuk dalam komunitas, berbagi dengan sesama.

Berawal dari ajakan seorang ito. Ito dalam konteks Batak bisa dimaknai sebagai saudara perempuan sebaya semarga atau dapat juga diberikan kepada teman perempuan yang belum tahu persis hubungan kekerabatannya, atau bahkan untuk perempuan sebaya lainnya. Ito Lusi boru Nainggolan, memberikan undanganku untuk bergabung. Banyak cerita yang dia sispkan dalam usahanya membawaku untuk menyatu dengan komunitas itu. Komunitas Naposo Bulung Nainggolan.

Sekian panjang sudah perjalanan sudah dilalui dengan berbagai kegiatan. Mulai dari kegiatan punguan bulanan (persekutuan, sekaligus temu kangen, berbagi) hingga pada aksi sosial, membantu anggota yang kemalangan dan memberi informasi pekerjaan hingga membuat momen berupa perayaan natal dan juga pesta budaya. Tak terasa, lebih dari tiga tahun sudah berjalan bersama komunitas ini, bahkan hampir dua tahun menjadi nahkodanya.

Ntah kenapa malam sunyi tanpa bintang membawa pikiran kembali teringat dengan semua ini. Perbincangan kecil semalam sepertinya memberi sedikit pertanyaan besar dalam bongkahan kepala. Ya, pertanyaan kecil, yang mungkin perlu untuk direnungkan. Dari semua kisah perjalanan hidup bersama komunitas muda mudi Nainggolan. Komunitas marga, didasari dengan ikatan aliran darah dalam marga.

Komunitas marga sebetulnya sudah umum dalam masyarakat Batak dimana pun, bahkan ada yang mengikat marga hingga seluruh dunia. Dasarnya hanya satu, dipersatukan oleh aliran darah garis keturunan marga.


Komunitas Naposo Bulung Batak-Mengiba?
Dari tiga tahun lebih perjalan bersama dengan komunitas marga, ada satu kecendrungan yang secara ilmiah belum pernah dibuktikan namun nyata dalam keseharian. Bahkan cendrung tinggal dalam bingkai hipotesis permanen.

Sebagin besar dari komunitas Naposo Bulung marga di pulau Batam diisi pekerja dibalik gedung pabrik hingga pada pekerja kasar di galangan kapal. Ntahlah, sangat jarang aku melihat mereka, manusia yang punya pekerjaan lumayan, seperti staff atau pegawai kantoran. Bahkan ini kadanga membawaku kearah kerinduan akan keheningan. Gerangan apakah yang ada dalam alam pikiran mereka. Miris!

Sekali lagi, walaupun tak ditunjang dengan data resmi. Namun pandangan mata dari keseharian setidaknya keyakinan saya pada besarnya komunitas Batak di pulau ini sungguh menakjubkan. Mungkin lebih dari 35%, mungkin komunitas etnis terbesar yang ada di pulau ini. Memang sebagian besar merupakan buruh. Maklum, daerah ini merupakan kawasan industri manufaktur. Dan mayoritas adalah kaum muda yang mengadu nasib peruntungan!

Kembali pada perkenalan saya dengan ito Lusi, cerita inilah yang menjadi bahan baginya dan membawaku untuk mengatakan bergabung. Benar, rasa rindu akan akan suasana kampung halaman dan dibumbui dengan cerita tentang eksistensi komunitas Naposo Bulung Batak di tanah perantuan, Batam. Semalam, diatas motor Suzuki smes 125cc yang sudah lebih dua bulan tak masuk bengkel pikiranku kembali terbayang pada masa tiga tahun lalu. Perjumpaan dengan Lusi. Malam ini kembali muncul.

Lusi bagiku seorang perempuan lugu, sederhana, kental dengan tradisi dalam gulatan pertarungan nasib di pulau Batam. Namun tak terbelenggu dengan arus baru yang disuguhkan suasana baru daerah perantuan. Gemerlap kota Batam, seolah sekedar warna baru, hiasan yang tak pernah terlihat sebelumnya. Namun bukan sebuah keharusan yang melekat pada jiwanya. Sangat menyenangkan, melihat wajah ini. Menghempaskan sebagian rasa rindu yang selalu menggebu akan tanah Samosir yang eksotik. Meluapkan semua kenangan akan Inong pangintubu, menjadi semangat baru memberi yang terbaik. Bagaimana tidak, Kerinduan itu menghilang lewat wajah dirinya saat membukan pintu rumah, dengan sapaan hangat, seakan-akan kita sedang berada di tanah Samosir. Memanggilku dengan sapaan ito, dengan menawarkan makan atau segelas kopi hangat. Terkadang dalam hati kecil aku memanggil dia boru Nainggolan, tanpa menyebut namanya. Ya, wajah orginal manusi bona pasogit, di pulau Batam. Thanks, ito Lusi.

Sebuah pertanyaan muncul, berapa banyak sekarang boru Nainggolan atau marga Nainggolan yang memiliki originalitas semacam ini di tanah Batam, atau perntuan lainnya.

Setapak demi setapak, kucoba membalik memori selama lebih dari tiga tahun bersama komunitas Naposo Bulung Nainggolan, sekaligus juga komunitas Naposo Bulung Batak lainnya di pulau ini. Memang pengalaman di Batam masih jauh lebih baik, jika dibandingkan dengan di daerah perantuan lainnya. Semangat kebersamaan masih lebih kental kurasakan disini. Dibandingkan dengan Jogja, yang lebih dari enam tahun menjadi tempatku mengadu ilmu atau Jakarta, yang sering menjadi tempat singgah bagiku disaat-saat liburan sekolah. Batam jaug lebih dekat dengan gambaran bona pasogit.

Namun, kekentalan akan tradisi yang melekat di pulau ini seolah berjalan dengan minimnya sumbangan dari mereka yang punya kemampuan. Ya, kempuan, yang bagiku tidak sekedar dijelmakan sebagai bentuk materi, tetapi yang lebih penting adalah sumbangan peran, ide pemikiran dari mereka yang punya kempuan intelektualitas menuju komunitas yang lebih eksis dan juga visioner.

Jika dilakukan pendataan akan penghuni komunitas Naposo Bulung Batak, saya yakin hanya sebagian kecil diisi oleh manusia yang memiliki dasar pendidikan yang lumayan bahkan tinggi. Walaupun saya yakin jumlah manusia Batak yang lulusan perguruan tinggi cukup banyak menyebar di pulau ini.

Padahal saya sangat yakin, jika peran mereka diberikan, komunitas ini akan juh lebih bear dalam perannya membangun masyarakat yang lebih baik. Membuat komunitas semacam ini menjadi jalan kuat dalam memfasilitasi anak muda Batak dalam perantuan dalam menemukan jati dirinya.


Saya ingin berandai-andai pada sebuah pertanyaan kepad kita semua yang sedang merantau di pulau ini. Apa yang menjadi cita-cita kita sekarang? Coba tutup mata, dlam keheningan cita-cita apa saja yang muncul dalam batok kepala kita. Mungkin akan muncul ratusan bahakan ribuan cita-cita, mulai dari yang besar hingga yang kecil. Mulai dari pejabat hingga pada harapan akan kasesoris hidup seperti mobil mewah yang mewarnai hidup.

Adakah muncul cita-cita untuk berbagi dengan sesama? Dengan mereka yang membutuhkan sesuatu dari kita. Sesuatu yang tidak harus mahal dari yang kita miliki. Sesuatu yang tidak harus membuat kita kehilangan besar. Sesuatu itu salah satunya adlah memberikan pengetahuan, keilmuan bagi sesama kita yang mungkin bermanfaat bagi mereka.

Saya teringat satu hal sewaktu masih bekerja di Panasonic Electronic Devices Batam, sinkom demikian orang lebih mengenalnya. Saat dimana seorang operator mengeluh dengan permintaan uang untuk satu hal penting bagi keluarganya di kampung. Dia begitu kebingungan. Setelah tiga tahun bekerja di Batam, dia kesulitan untuk mengirimkan uang sebesar tiga juta rupiah. Tiga juta yang begitu berharga bagi keluarganya.

Kucoba bertanya kepada operator ini, kenapa tak memiliki tabungan sebesar itu setelah bekerja tiga tahun. Dia hanya diam terpaku. Air matanya yng memberikan jawaban. Jawaban kosong, penuh makna. Tapi bagiku itu cukup untuk menarik kesimpulan positif tentang benaknya.

Kucari jawaban penegasan dari beberapa opertor lainnya. Ya, mereka jauh lebih lugas memberikan jawaban. Mereka mulai mengungkapkan kemana uang itu selama ini bertebaran. Ada yang difungsikan untuk hal baik, logis namun juga ada yang terkesan untuk kebutuhan konyol. Mulai dari melanjutkan sekolah, memberi kiriman rutin pada orang tua di kampung, membeli kebutuhan, semisal baju, handphone terbaru, make up ternama. Namun yng terasa pahit adalah saat uang itu bertebaran utuk hal konyol seperti menghidupi pilihan hidup menganggur dari pacarnya, hidup dengan dunia malam yang ntah bertujun kearah mana?

Ini adalah gambaran realitas yang dituangkan sebagian efek gemerlapnya Batam. Sebagian yang membawa operator tadi tidak memiliki uang lebih, sebagai saving life. Hidup seolah hanya untuk hari ini, tak mengenal hari esok. Yang penting enjoy. Ibatart kata teman, Teguh Nainggolan, today is today tomorrow we will see. Namun pada akhirnya hanya bisa meratapi nasib, saat semuanya datang tak terduga. Berapa banyak diantara kita yang hanya dapat menangis sama seperti operator tadi saat menghadapi masalah yang sama? Sorry, tidak sedang mengingatkan masa-msa sulit?

Sepertinya gambaran ini sudah menjadi potret sosial yang mengisi pulau ini. Kasihan, minimnya pengetahuan, bimbingan atau arahan akan kehidupan membawa sebagian besar anak muda Batak menjadi terombang ambing dan akhirnya tenggelam oleh samudera kehidupan Batam. Berapa banyak diantara mereka yang kini hidup bebas tanpa garis araha yanh kuat akan tujuan hidup. Berhubungan terlalu jauh, tanpa rasa tanggung jawab yang kuat sebagai sebuah pasangan. Akhirnya penyesalan datang pada kahir cerita. Terima kasih jika masih banyak yng kuat dengan tekanan. Tapi sayang tak jarang banyak yang melayng di jembatan Barelang. Meloncat, atau diterjunkan paksa. Akibat hubungan terlarang tanpa rasa tanggungjawab. Gila sudah,... siapakah yang harus bertanggungjawab dengan semua ini, siapa yang semetinya memberi peran untuk mengubah semua ini?

Saya yakin kepala kita akan tertuju kepada pemerintah. Institusi agama, atau lembaga formal lainnya. Tapi sayang, saya tak terlalu yakin semua itu dapat membalikkan kondisi sekarang ini. Namun ada sebuah jalan yang bisa membuatnya semakin mudah, komunitas Naposo Bulung. Dimana didalamnya masih berjalan tali silaturahmi tradisi, dengan ikatan moral yang masih terjaga, ditambah dengan pola kekerabatan yang masih kental. Dalihan Natolu. Filosofi Batak yang begitu mengakar.

Namun yang tampak dilapangan ini hanya menjelma dalam kehidupan Naposo Bulung yang dtang dari alam bonapasogit, dari mereka yang mengejar hidup sebagai buruh. Hal ini sangat sulit dijumpai dengan mereka yang mengenyam pendidikan tinggi. Seolah perguruan tinggi telah memberangus akar budaya ini. Semua seolah merasa alergi dengan akar kuat tradisi ini. Kasihan!

Padahal, jika merunut pada Tri Dharma perguruan tinggi, tempat dimana ia telah mempertajam pengetahuan, sekaligus memberi sumpah intelektualitasnya. Layaknyalah manusia demikian memiliki kesadaran lebih. Memberi peran seperti pesan Tri Dharma perguruan tinggi yang menjadi almamaternya, man for the poor. Salah satu pesan, Tri Dharma. Sekedar mengingatkan sobat!

Memang betul berperan tidak hanya lewat komunitas Naposo Bulung. Benar sekali. Masih banyak wadah lain mengaktualkn peran sosial seseorang. Bisa lewat gereja, komunitas kepemudaan lainnya. Namun sejauh mana ini sudah kita lakukan di tanah tandus namun penuh harta ini? Sejauh mana peran kita lewat komunitas yang kita ikuti sekarang ini dapat membangkitkan manusia yang memang paling membutuhkan..

Saya yakin mereka yang ada dalam komunitas Naposo Bulung memiliki kompleksitas persoalan yang jauh lebih dalam. Manusia kecil kesepian yang belum mengenal jalan terbaik dalam hidupnya. Manusia yang tak tahu cara menggerakkan kaki melangkah menuju cita-cita hidup sesungguhnya. Atau bahkan merek tak tahu cita-cita itu apa. Sobat, inilah peran kita semua. Tangan-tangan manusia tk mengenal malu, tak mengenal miskin, tak mengenal rasa capek bertarung untuk saling membangun.Menarik, sekaligus menjemukan, menyenangkan sekalgus menjengkelkan. Saya hanya berharap bukan kenyamanan personal yang membawa kita memilih tempat pengabdian sosial. Sedikit rasa sinis, sorry! (Pius Naingglan: Suara Kecil dari peraduan bilik kamar)

21 Januari, 2010

Perjalanan Tanjung Uncang,...!!!



Ayunan Ombak, ditengah belenggu Napas Kehidupan.

20 Januari, 2010

Perjalanan Tanjung Uncang...



Saat segalanya harus ditekuk dengan Lutut Kehidupan,... Kebungan Air Mata

Perjalanan Tanjung Uncang




Pesona Alam Tanjung Uncang, Satu Titik –Sejuta Aksi- Salam bagi langit, Gelora untuk Samudera

16 Januari, 2010


Horas!Horas!!Horas!!!

Tajung Uncang, Jan 2010
Kawasan Industri Galangan Kapal

13 Januari, 2010

Tahun Baru 2010, Tragedi Marulas Nainggolan: Sebuah kisah-Satu Catatan




Villa Rully Indah,Batu Aji (Nainggolan Youth Base Camp), 31 Desember 2009. Malam tahun baru, sekitar pukul 23.00 malam terlihat pintu markas sudah terbuka. Mungkin manusia penghuninya sudah balik. Maklum ini adalah ketiga kalinya aku datang, malam itu. Jam 7.00 WIB, pintu tutup. Tanya tetangga, yang punya rumah keluar barusan. Jam 9.00WIB, masih tutup.

Didalam rumah Agus dengan 1 orang bere, satu orang ito dan satu orang calon parumaen. Suara tangis terdengar, dengan logat sesunggukan. "Ada yang kangen appara" cetus Agus. Yap, bere sedang bertelepon ke kampung halaman, dengan suara tangis. Kangen rumah! Gila, segitunya.

Bayangkan dengan yang punya rumah, sudah 5 tahun lebih tidak pulang bertahun baru. Mati rasa!

Tak berapa lama Botax datang dengan satu kaleng ABC. katanya ai perjamuan. "Dang pola boha molo holan sada, asal ma adong!" Botax

Memang malam tahun baru kali ini serasa aneh. Seperti tak terlihat tanda kemeriahan. Ntah,. karena memang semuanya telah hilang. Sorry!

Cerita punya cerita berlanjut, hingga terlihat di layar TV, siaran langsung RCTI sudah melakukan hitungan mundur menuju tahun 2010. Botax menyarankan kami untu8k berkumpul, sekedar berdoa. Mengucap syukur akan rahmat dan kasih Tuhan untuk nafas kehidupan di tahun 2009. Dan mohon berkat dan perlindungan tahun 2010.

Berdoa, kami hanya enam orang. Menyatukan hati mengucap syukur. Malam tahun baru yang ditemani satu kaleng ABC, 1 kotak roti snack dari Gereja, dan seteko air putih refil. Suasana sederhana, tapi yang jelas bukan sebuah kesengajaan, tapi kenyataan. Malam itu dirayakan dengan terlalu sederhana. Momen besar berlalu dengan kenikmatan malam kesederhanaan. Sebuah tema yang dicari-cari dan ntah kenapa serasa cocok.

***

Pagi pagi tanggal 1 Januari 2010. Pagi hari, sekitar pukul 8.00 WIB mata sudah terbuka. Terlihat diatas lantai sudah ada kopi dengan roti biscuit. Sisa semalam! Kulihat didapur Agus sudah mandi, bersiap masuk gereja pagi. Pagi ini aku sudah punya janji ketemu dengan teman lama semasa SMU, kebetulan bertemu lagi lewat facebook. Setelah Agus selesai dengan mandi, aku masuk dan cuci muka. Duduk sebentar, dengan hembusan asap rokok ten mild, secangkir kopi dan biscuit. Rasanya 2010 memang benar-benar sudah tiba. Gila,.. nikmat dalam kesederhanaan.

Belum tiga menit duduk minum, santai. Handphone bunyi, dan mengabarkan ada marga Nainggoan yang meninggal akibat tabrakan di malam pergantian tahun di daerah Barelang. Tewas di tempat dan sudah dilarikan ke Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB). Kepala bertanya-tanya siapakah dia? Maklum yang menelepon bukan marga Nainggolan, tetapi marga SIhombing orang Bengkong. Siapakah dia? Masuk kumpulan kah? Adakah keluarga di Batam?

Segera kasih tahu Agus tentang berita ini. Kirim sms ke Gordon dan Botax, mana tahu mereka sudah dapat berita dan ada info yang lebih detail. Kirim sms kebeberapa orang tentang posisi masing-masing. Sekaligus meminta jika memungkinkan datang ke RSOB. Satu sms masuk, Teguh Nainggolan, kebetulan di Batu Aji. Kami bertemu dan bersama-sama menuju RSOB. Agus Nainggolan minta ijin untuk ke Greja, dan akan langsung menyusul. Di RSOB, kami bertemu dengan beberapa orang yang terlihat dengan wajah kaku, dengan mata saling menatap kosong.

Mungkin mereka bagaian dari kelaurga yang sedang berduka. Tapi apakah ini keluarga dari Nainggolan juga? Tak berapa lama ada seorang wanita, menyapa.
”Horas ito!”
”Horas,!” Teguh
Tak berapa lama Ito itu mengenalkan kakak kandung dari korban. Tidak kenal, kulihat lagi wajahnya, mana tau pernah ketemu, setidaknya di kumpulan. Tidak juga kenal. Kutanya Teguh, dia juga tak kenal. Tak berapa lama Teguh langsung bertanya kepada ito itu.
”Ito masuk kumpulan?”
”Tidak to”
Kepala Teguh menggeleng. Tapi ya sudahlah, Nainggolan tetap Nainggolan, apalagi dalam kemalangan.

***
Seorang suster keluar dari ruangan kecil, terlihat seperti kantor. Memakai pakaian operasi. Mungkin ini orangnya yang menangani mayat itu. Pakai kaca mata tebal. Dia menuju keruangan lainnya, persis didepan ruang kantor itu. Masuk kedalam dan tak berapa lama, kepalanya keluar dari jendela sambil memanggil.
”Kelaurga Marulas Naingglan!!”
”Ito ajalah yang masuk, saran salah seorang dari keluarga”
”Olo, to”

Aku masuk ke ruangan suster. Disana dibicararakan biaya yang dibutuhkan untuk membersihkan mayat.

”Kalo mau dikirim hari ini bisa suster?” tanyaku
”Bisa aja, asal biayanya cepat aja, biar langsung bisa dikerjakan” jawab suster
”Berapa kira-kira biayanya?
Ambil kalkulator, secarik kertas dan memainkan pulpen. Coret dikit, pencet kalkulator. Berulang ulang, hingga kertas kecil itu penuh dengan angka dan huruf. Ntah apa aja yang dituliskan disana. Yang jelas banyaknya angka yang diceoret sudah membuat jangtung berdegup kencang. Uang dari mana!

”Enam juta empat ratus ribu rupiah”
”Gila besar juga biayanya.” pikirku dalam hati
”Kira-kira kalo bisa diusahakan duitinya, kapan bisa berangkat? Hari ini?” tanyaku
”Kalo cepat, sebelum pukul satu siang ini, harus dah tahu kepastiannya. Karena kita juga harus hubungi penerbangan” jawab suster berkacamata tebal itu.
”Baik Bu, baiknya saya diskusikan dulu dengan keluarga diluar, secepatnya saya kabari”

Diluar ruangan sudah bekumpul. Terlihat satu orang datang mendekat, berbadan tegap dengan jaket abu-abu. Mirip tentara.
”Horas lae, Saragi, dongan ni namondingon do au” sambil besalaman.
Dia ternyata teman kerja dari yang meninggal. Dia menceritakan jika sebentar lagi akan ada utusan kantor yang bakal datang.

”Mungkin sekalian mau bicarakan tentang kematian Lae ini, sekalian aja nanti ditanyakan kira-kira solidaritas perusahaan”

Ngobrol lama dengan Lae Saragih, dia bercerita tentang keseharian Marulas. Tapi pandangan mataku tak lepa dari wajah kakak Marulas, Nasta Br. Nainggolan. Terlihat murung, lesu. Tatapan mata kosong.

Sebentar, aku permisi sama Lae Saragih, untuk menumui Ito Nasta. Kutanyakan bagaimana dengan orang tua di kampung.
”Keluarga dikampung sudah dikabari to?”
”Sudah to”
”Gmana, memang harus dibawa ke kampung ya?”
”Ya, to”
”Appara Teguh yang kurus itu dah kasih tau ito biaya berapa?”
”Udah to”
”Gimana, kira-kira?”
“Ndak ada uangku to”

Waduh,.. tak ada uang, bagaimana mau berangkat. Kudekati beberapa orang yang dari tadi pagi bersama dengan ito itu. Ada seorang ibu-ibu, sudah lupa ntah boru apa namboru itu.
”Ito itu katanya tak punya uang namboru?”
”Terus bagaimana ya, tapi tunggu aja to kami kumpul-kumpul dulu”

Belum sempat kuberitakan jika kepastian uangnya harus cepat, Lae Saragih memanggil.
”Lae, utusan kantor mendiang sudah mau datang”
”Ok, Lae kita bicara disini aja”

Tak berapa lama, ada dua orang datang, wajah tegap besar, satu orang membawa tas. Kami persilahkan duduk dilantai, dekat pintu masuk sisi timur. Aku mulai menjelaskan jika mendiang dan keluarganya, sesuai tradisi Batak menginginkan jenazah dimakamkan di kampung halaman. Situasi ekonomi yang memang di perantauan hanya bersandarkan ada gaji operator, sungguh sulit untuk mendapatkan uang sebesar permintaan rumah sakit. Belum lagi dengan situasi dkampung. Belum lama, Ibu dari mendiang meninggal dunia.
”Semua serba sulit mas, jadi jika memungkinkan tolong kiranya di bantu semaksimal mungkin”
”Terimaksih, kami turut perihatin dan belasungkawa, Cuma kami juga lagi follow up ke kantor Jakarta” ungkap Tony, pria yang datang tanpa tas.
”Memang tidak ada dalam aturan, untuk kejadian semacam ini, mas?”
”Belum ada, mungkin karena ini baru pertama kali” jawab Tony
”Ok-lah, sembari mas cek, kira-kira berapa yang bisa dibantu untuk sementara ini?”
”Sementara ini yang pasti, kami hanya bisa bantu Rp.1.500.000”

Mendengar ini kepala tambah pening. Rp.6.400.000, bisa bantu Rp.1.500.000, lantas Rp.4.900.000 dapat dari mana? Ito itu ndak punya uang!

Kulihat kearah luar, cari angin dulu, sementara mereka kutinggalkan saling tawar menawar. Sekiranya pihak perusahaan dapat menambah jumlah uang. Terlihat lingkaran manusia dekat pintu berbicara serius. Bahkan sedikit agak tegang.

Jam sudah mununjukkan pukul 12.15 WIB. Kulihat dari tangga muncul Agus Nainggolan. Yang tadi pagi kutinggalkan dirumah. Maklum manusia yang satu ini sangat aktif ke gereja. Dia janji, jika sudah pulang, langsung meluncur kerumah sakit.

”Sudah gimana, pra?” tanya Agus
”Belum tahu, ntah mau di bawa pulang kapan. Itu masih diskusi tentang biaya yang bisa dikasih tempat kerjaya”
”BPH natua-tua dah pada tahu?”
”Belum kepikiran kesana, tapi kalo bisa coba aja hubungi dulu”

Sementara Agus menekan tobol handphone-nya, aku ambil sebatang rokok ten mild. Tarik yang panjang, gila luar biasa. Empat jam sudah tidak merokok. Dalam situasi seperti ini, asap rokok seolah membawa semua masalah ikut terbang keangkasa. Tak lama Agus berbicara di telepon. Dia mengatakan sebentar lagi Pak Roy, wakil ketua Umum akan datang bersama Bang Morris, Ketua Natal dan Bang Geby, penasehat Naposo. Lumayan, setidaknya dapat membantu bertukar pikiran atau malah men-take over masalah ini. Bisa sedikit lebih santai.

Ngobrol agak santai bersama Agus, menikmati udara dibawah pohon, persis ditepian jalan raya, depan Gedung jenazah. Nikmat sekali rasanya, walaupun merasa sepertinya ada yang kurang. Tikar dan bantal guling. Hembusan anginnya sudah pas! Enak sekali menggunakan jalan raya ini untuk tempat duduk santai. Maklum jalan ini jarang dilewati kendaraan, karena merupakan bagian dari jalan bundar, penghubung pertigaan jalan raya.

Kira-kira 10 menit kami ngobrol, dan seorang bapak – bapak datang. Belum kenal. Di menjulurkan tangan, untuk bersalaman.

”Nainggolan”
”Malau” balasnya.

Dia menceritakan jika pembicaraan dengan perusahaan sudah selesai. Dan hasilnya tetap Rp.15.00.000. Namun pihak perusahaan Batam akan berusaha mengurus biaya ke Jakarta. Tapi belum ada kepastian biaya dapat dicairkan.
”Jadi dananya sekarang baru ada satu setengah ya, Lae”
”Olo, Lae” Malau.

Kuajak Lae Malau dan Agus menuju ruang Jenazah, untuk menemui keluarga mendiang lainnya. Untuk membicarakan kepastian dana yang bisa disiapkan.
”Kira-kira gmana to, soal dana yang bisa disiapkan?” Agus
”Gmana to, kami minta tolong, duitnya Cuma ada yang satu setengah juta aja.” Nasta
”Memang ndak ada lagi yang bisa dipinjam?” Agus
”Gini aja, kami coba dulu kumpulin diantara kami, sebenatar ya to” salah satu dari keluarga mendiang yang belakangan kutahu Br. Simbolon

Mereka berkumpul semua, sambil melihat isi tas dan dompet masing-masing. Setelah beberapa menit, duit sudah terkumpul ditangan namboru Br. Simbolon.

”Rp.3.400.000, semuanya to” Br. Simbolon
“Masih kurang tiga juta” Agus

Tak berapa lama, dating telepon dari Pak Roy, mereka sudah di daerah sekupang. Dia minta agar di cek, besaran biaya rumah sakit. Mana tahu jika memberangkatkan sendiri biaya bisa lebih murah.

Telepon ditutup. Aku masuk ke ruang suster bersama Agus.
”Maaf suster, jika hanya biaya rumah sakit sama peti kira-kira berapa ya? Agus

Utak-atik kalklator lagi. Terlihat selembar kertas ukuran kecil mulai dicoret-coret lagi.

”Rp.3.200.000, Mas,” Suster
”Itu termasuk jika kami berangkatkan besok, tanggal 2 Januari 2010” Agus
”Ya Mas, itu termasuk sampe besok, dan biaya antar ke Bandara” Suster
”Terimakasih Suster” Agus, kami keluar.

Diluar sudah terlihat, Pak Roy, Bang Geby dan Bang Morris. Bang Morris mengajak diskusinya di sebelah belakang ruang Jenazah, kebetulan ada taman. Duduk membentuk lingkaran. Agus menjelaskan tentang biaya rumah sakit.
”Itu bisa jadi lebih murah, karena biaya karantina paling Rp.50.000, surat jalan polisi, Rp. 20.000, biaya penerbangan paling mahal Rp.1300.000” Pak Roy

Mendengar penjelasan ini, total biaya hanya sekitar empat setengah juta rupiah. Bisa diirit lebih satu juta rupiah. Lumayan bisa ongkos pengantar jenazah, ito Nasta. Bang Geby minta kami untuk mengurus surat-surat secepatnya. Pukul 2.30 WIB, Agus, Teguh dan Aku berangkat menuju Poltabes Barelang, mengurus surat jalan.

***
Sekitar pukul tiga kami sampai di Poltabes Barelang. Masuk ruang yang mengurusi kecelakaan lalu lintas, KAKALANTAS. Disana bertemu dengan seorang polisi, dibajunya tertulis, Budi.
”Selamat sore Pak” Agus
”Selamat, sore” Budi
”Kami mau mengurus surat jalan, atas nama Marulas Nainggolan yang meninggal kecelakaan semalam pak” Agus
”Disini tidak ada nama yang anda sebutkan” Budi, sambil menunjukkan kertas dan menjelaskan memang ada satu orang korban tanpa identitas.
”Mungkin itu pak! Yang tanpa identitas itu” Agus
”Mana bisa mungkin, harus pasti, coba cek dia pake no polisi motor-nya cocok ndak?” Budi
”Kebetulan kami ndak tau pak, kami hanya ngurus” Agus
”Memangnya ndak ada yang tau, saudaranya?” Budi
”Ada kakaknya, Cuma kami tanya dia juga ndak tau” Agus
”Wah gimana ini, tadi juga data jenazah yang tiga juga salah semua, ntar ini juga salah lagi, kan bisa jadi masalah mas,” Budi
”Baik pak, kami coba tanya lagi” Agus

Kami keluar dari ruangan. Diluar kami ngobrol, tak lama Agus minta Teguh menghubungi kakak mendiang.
”Kakaknya ndak tau pra, dia Cuma kenal dengan motor itu”

Agus masuk lagi keruangan pak Budi.
”Pak, ndak ada yang tahu no polisi motor itu, suratnya juga ndak ada yang tahu disimpan dimana. Cuma ada yang kenal motornya.” Agus
”Suruh aja datang biar dilihat benar ndak motor itu” Budi.

Agus keluar lagi dari ruangan. Kami diskusikan lagi. Jam sudah menunjukkan pukul 16. 30 WIB. Hari sudah mulai menuju gelap. Diputuskan, lebih baik mengurus surat karantina dulu. Karena jika harus menunggu Nasta, akan memakan waktu. Jadi telepon dulu jumpa di Poltabes jam enam sore.

Kami berangkat ke kantor Karantina di Batu Ampar. Tidak lama hanya sekitar setengah jam. Cuma total biaya tak seperti perkiraan, bengkak jadi Rp.100.000,-. Kami langsung meluncur balik ke Poltabes dan tiba setengah enam. Nasta belum tiba.
Kami duduk, merokok sambil ngobrol. Terlihat asap rokok meluncur dan moncong begitu cepat. Gila, seperti orang sakau merokok.

Setengah jam Nasta tiba. Masuk kantor polisi. Dan pk Budi memanggil anggotanya untuk menunjukkan gudang tempat motor disimpan. Begitu pintu dibuka, senter diarahkan, Nasta sudah mengenali motor mendiang.
Kami naik keatas, melapor balik ke pak Budi. Surat keterangan di berikan untuk dibawa ke Intelkam. Agus meluncur ke Intelkam, membawa berkas dari pak Budi. Tak lama, urusan sudah beres. Di kantor polisi, tanpa biaya. Lumayan, ada kemajuan. Kami berangkat dari Poltabes sekitar pukul tujuh malam. Kami langsung pulang menuju batu Aji, ketempat Agus.

Sesampai di rumah ada yang kelupaan, jika kami harus telepon suster untuk memastikan jam keberangkatan. Teguh angkat telepon, cerita pendek. Tugas malam ini selesai.

***
Pukul 6.00 WIB, kami sudah bagun. Dan berangkat menuju RSOB. Aku boncengan bersama Agus, bersama kami ikut, Appara Botax, Azis. Kami tiba di RSOB sekitar jam tujuh pagi. Disana sudah terlihat keluarga mendiang. Kami menjumpai suster dan menanyakan perkembangan.

”Jam 9 nanti sudah selesai mas”

Kami duduk-duduk didepan ruang jenazah sambil merokok dan minunm kopi. Tak terasa sudah jam sembilan, suster memanggil pertanda jenazah siap di berangkatkan. Agus minta agar didoakan sebelum dimasukkan ke mobil ambulance. Kami berdoa. Ambulance berangkat menuju bandara Hang Nadim.

Di bandara, tiba sekitar jam sepuluh. Pesawat akan berangkat jam 12.00WIB, Cuma butuh karantina bandara sekitar satu jam. Sekitar pukul sebelas siang, kami mengantar ito Nasta dan satu lagi adik mendiang munuju ruang tunggu, di temani Agus. Aku, pak Roy, Bang Morris menungggu di warung kopi Bandara. Ngobrol panjang, lupa waktu. Jam sudah menunjukkan pukul 13.20 WIB. Kami bubar. Puas sudah tahun baru tahun ini, berseleweran diatara Sekupang, Batu Ampar dan Bandara Hang Nadim. Salam. (PS)