30 September, 2009

Sebuah Refleksi: Salam Dalam Damai!

Entah memulai dari mana untuk mengungkapkan keluh kesah ini. Keluh kesah tentang bangsaku, Indonesia yang indah nan permai dulunya. Cerita nenek moyang akan negeri sejahtera dengan gelimpangan kekayaan alam, sepertinya hanya mirip mimpi ditengah malam. Jangankan kesejahtraan, melihat dan memandang burung berkicau atau rerimbunan hutan hijau bagaikan dansa latin saja yang sulit kutatap kini. Semua telah habis, Bapa dan Ibu yang mulia. Habis diterpa jalannya waktu yang beriringan dengan keserakahan.

Negeri itu tak menyanyi lagi. Lagu dengan suara kegembiraan dengan hentakan nada - nada kekohan sebuah bangsa berubah menjadi tangis. Ya, kini dia sedang menangis, meratapi. Ia kini hanya mampu melihat kehampaan dan kelunglayan akibat ketidakmampuan. Bagaimana tidak harta yang dulu dibanggakan, kini hanya tinggal utang dan keterpurukan. Anak kecil tak mampu sekolah akibat kemiskinan. Perempuan melahirkan ditepian jalanan. Sementara “keangkaramurkaan” menjadi simbol kehidupan yang ditonjolkan.

Sekarang yang tertatap mata hanyalah tinggal ringisan tangis bayi dipelukan ibu tak berdaya dengan ribuan rintangan membentang, yang siap menerkam masa depan. Pemandangan tumpukan senapan yang siap memuntahkan peluru. Dan jejeran kendaraan lapis baja yang siap menggilas dan menyantap anak bangsa yang hendak menatap masa depan. Menagis, memang demikian adanya. Tetapi ini hanyalah ratapan rakyat.

Semua kini sulit dipercaya, bahkan untuk percaya akan cerita nenek dan kakek moyang pun serasa harus membalikkan hati dan pikiran. Apa semua itu dulu benar. Apa benar nenek dan kakek moyangku dulu begitu hebat dan perkasa dalam membangun negeri dan bangsanya. Lah, keturanan siapakah dia, yang kini jadi panutanku. Entah dan kembali entah, semuanya jadi layak kupertanyakan. Sampai kapan kita begini, negeri ini akan tetap tertinggal, menangis tragis.

Sungguh ku tak mengerti!

Setidaknya demikianlah kecamuk dan gejolak hati dan pikiran kini. Ketika rakyat jelata yang masih coba berpikir akan nasib bangsa, negara dan diriku sendiri didalamnya. Bahkan mungkin semua anak negeri inipun sama. Bapak dan Ibu yang mulia, tak ada lagi yang bisa kita tatap dengan tenang kini. Sulit untuk menghayal dan bermimpi, ketika tau semuanya itu sekedar bungan dari gelapnya malam. Bagaiamana tidak, mulai dari masalah anak muda sampai masalah pemimpin negeriku.Semuanya hanya dapat menawarkan cerita yang tak pasti.

Salam terakhir saat hidup sudah tinggal renungan.
Jogja, 9 Nov 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!