30 September, 2009

Maluku Miskin ,Maluku Sayang

Miskin maka kelaparan atau kelaparan makanya miskin? Entah, tapi demikian yang selalu terjadi. Di negeri ini jika topik pertanyaan mengenai yang tak mengenakkan akan sangat sulit dijawab mana sebab mana akibat. Kalau ditannya pada yang seharusnya mengurusi hal miskin dan kelaparan, sepertinya jawabannya ya kelaparan dulu baru miskin. Memang bagi pemerintah, kemiskinan sering baru tampak jika ada pertunjukan kelaparan dengan tokoh utama mereka yang busung lapar. Setelah itu baru tampak kalau rakyatnya telah melarat.

Beda dengan Wa Amra warga Maluku yang punya anak busung lapar itu (Rumah dan Bilik Pengungsian, Kompas 29 juni 2005 hal 36). Kalau ditanya yakin jawabannya pasti yang pertama, miskin maka kelaparan. Itulah sebabnya Wa Amra tidak lagi begitu mengeluh dan berputus asa, karena kelaparan yang dia alami hanyalah akumulasi dari sekian lama miskin dan akhirnya tak mampu lagi memenuhi kebutuhan perutnya. Dan akhirnya busng lapar. Pertanyaan diatas menjadi bagian dari keseharian yang selalu terjadi disekitar kita.

Harus kelaparan dulu baru tau kalo rakyatnya miskin.

Maluku dikenal kaya akan alamnya kini hanya mampu menampilkan pertujukan kemiskinan dan konflik. Tetapi menilik kondisi negeri yang katanya kaya dan budaya kekerabatan masyarakat yang begitu kuat. Sungguh sangat sulit membayang masalah kemiskinan dan konflik muncul. Lihat saja, Maluku sejak dulu dikenal sebagai tambang kekayaan akan rempah – rempah. Bahkan Spanyol dan Portrugis harus mengangkat senjata demi perebutan kekuasaan akan kekayaan ini. Secara kekerabatan, wilayah ini bahkan sangat dikenal dengan budaya gotong royong, pela gandong-nya. Warganya begitu toleran terhadap sesama. Namun semua ini serasa hilang ditelan waktu. Kini yang tampak adalah wajah manusia miskin yang sarat dengan kebencian.

Secara gampangan, konflik dapat ditimbulkan oleh bentuk ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan. Harapan yang sebenarnya sederhana. Harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan perut ditanah yang begitu kaya. Harapan bersekolah ditengah negeri yang merdeka, harapan akan rumah yang layak dan harapan sederhana lainnya. Sayangnya harapan itu hanya mimpi yang sulit digapai. Tengok saja, sepanjang tahun 2004 saja ada sekitar 133.023 atau setara dengan 46, 34 % keluarga di Maluku masuk dalam golongan rakyat miskin. (Kompas, Rumah Warga, Potret Kemiskinan di Maluku, 29 Juni 2005, hal. 36).

Ada banyak cerita dibalik semua penderitaan yang dialami oleh warga Maluku. Hasil kekeyaan tanahnya yang terkuras namun tak pernah memberikan sumbangan bagi terbangunnya kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Ternyata kini tanah yang dulunya subur itu hari demi hari telah berubah menjadi lahan yang tandus.

Curah hujan anatara 1000 – 2000 mm per tahun bahkan tak mampu lagi menahan rakusnya manusia mengeksploitasi tanah Maluku dan berakibat pada 1,1 juta hektar, sekitar 26,74 % dari seluruh luas wilayah Maluku menjadi lahan yang kritis. Tanah yang dulunya subur untuk ditanami kini hanya dapat menhasilkan debu yang merusak kesehatan paru - paru. Sayangnya ini semua terjadi disebabkan perilaku buruk manusia. Salah satunya kebiasaan negeri ini dalam menebangi hutannya tanpa penuh dengan pertimbangan. Dan pelakunya tak sulit untuk ditebak, mulai dari masyarakat hingga perusahaan penebangan hutan. Anehnya sungguh sulit membedakan mana yang dilakukan dengan legal dan yang ilegal.

Lantas apa memang sungguh sulit untuk menjaga kayu yang ada di hutan? bukankah kayu yang di hutan itu sunggu berat dan sulit untuk dipindahkan? Tapi itu pulalah ciri paling khas negeri ini. Untuk memindahkan harta curian begitu mudah dilakukan, dan sebaliknya begitu sulit untuk dilacak oleh mereka yang berkewajiban. Lihat saja kayu jenis merbau ilegal dari hutan Wae Sarputih, kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah sebanyak 3.738 meter kubik yang sudah tertangkap saja bisa hilang! (Kompas, 3.738 Meter Kubik Kayu Temuan Raib. 13 Juni 2005, hal. 28) Apalagi kayu yang masih berada di hutan sana? Pastilah lebih mudah untuk di curi.

Bayangkan jenis kayu ini memiliki nilai mencapai Rp 700.000 per meter kubiknya, sehingga nilainya mencapai Rp 2.616.600.000. Sungguh nilai yang tak sedikit bagi Wa Amra dan mereka yang miskin dan hidup di bilik – bilik pengungsian. Walaupun nilai yang sebenarnya jauh lebih besar dari angka itu. Karena tanah yang rusak akibat penebangan semacam ini tentunya memiliki nilai yang masih jauh lebih besar nilainya.
Tak cukup berhenti sampai disitu. Hidup dibilik dengan berbagai resiko akan berbagai penyakit tak cukup. Itu semua ternyata tak cukup untuk membuat rasa haru bagi sebagian manusia yang ada di tanah Pattimura sana. Lihat saja dana yang harusnya dibagikan bagi mereka yang tinggal dipengungsian justru ditilep, mereka yang tak bertanggungjawab. (Kompas, Pemalsu Data Pengungsi Dilaporkan ke Polisi. 7 Juni 2005, hal. 20). Sungguh sulit membayangkan mereka akan dapat hidup lebih baik kala orang yang harusnya memiliki tanggungjawab akan hidup mereka justru tak lagi dapat dipercaya.

Tapi ini semua hanya ada di pikiran rakyat yang jelata. Dimana pemimpin dan rakyat memang jelas berjarak. Sekali lagi, ini semua hanya ada di pikiran rakyat yang jelata. Rakyat yang hanya dapat mengerti tanpa dapat bertanya apalagi menggugat mengapa mereka dapat hidup miskin. Sehingga jangan terlalu pusing jika ditanah Maluku kini begitu mudah muncul konflik. Itu semua tak lebih karena mereka miskin. Miskin akan perut, miskin akan kesempatan untuk maju, belajar, dan miskin yang lainnya. Sungguhkah sulit untuk dapat memenuhi itu?

Jogja 25 Sept 2005, saat semua berpadu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!