30 September, 2009

Kini Aku Ada Dimana.

Sekedar merasakan, melihat dan mencoba berbicara, setelah itu entah akan apa yang kulakukan?

“Selamat Datang Mahasiswa Baru” itulah bunyi Slogan yang cukup besar yang selalu di pampangkan hampir semua Universitas menyambut kedatangan mahasiswa baru, Maba. Tak ketinggalan UAJY pun turut menyapa mahasiswanya dengan spanduk yang sama dan tepat ditempelkan di pintu masuk uatama kampus III. Entahlah, mengapa sepintas aku memikirkan kata - kata itu. Apa karena kenangan empat tahun silam, kata yang sama menyambutku kala itu.

Memang kali ini agak berbeda, dulu rasa bangga dengan sambutan semacam itu. Apalagi ada bayangan bahwa kelak aku akan menjadi bagian dari sebuah komunitas akademik yang mampu memperjuangkan hati nurani rakyat. Bergabung dengan manusia yang mampu menumbangkan rezim angkara murka (baca: Suharto), setidaknya ada semangat semacam itu. Itu dulu, tiga tahun lalu!.

Kini tiga tahun lebih berada di UAJY, kampus yang cukup memiliki nama dalam jajaran perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Satu persatu mulai terlihat dan terasa jauh dari harapan. Tak banyak yang mau memiliki peran membangun sebuah komunitas impian itu, yang tinggal hanyalah generasi yang berkutat dengan impian pribadi.

Tak mengherankan jika, mahasiswa yang merupakan bagian terbesar ‘pengisi’ sebuah institusi pendidikan tinggi menelorkan karakter yang tak jauh adalah sama. Manusia yang mengisi ruang dan waktu, tak lebih hanya untuk diri sendiri. Datang kuliah pulang ke kamar kost dan mengharapkan nilai A alias istimewa. Setelah itu dapat melamar kerja dalam sebuah perusahaan atau intitusi yang memiliki pendapatan besar. Tak perlu tahu dan peduli akan nasib orang lain, diluar keluarga dan dirinya. Mau kelaparan, penyakitan, meringis atau sedih yang penting bukan Aku. Setelah itu, Kawin, anakku besok seperti itu lagi. Terus dan terus, itulah impian mereka kini, impian Poltak.

Akhirnya tak berbeda dengan apa yang di uangkapakan YB Mangunwijaya. Apa gunanya kita memiliki sekian ribu alumni sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintarannya.

Tak semua memang mahasiswa memiliki pandangan ataupun kemauan yang semacam itu. Banyak juga pada awal kedatangnya memiliki pandangan yang masih ‘tak terjamah’ kepentingan dan keinginan semacam itu. Mereka ingin tahu dan akhirnya memberikan sumbangan yang besar terhadap komunitas dan lingkungannya. Tapi mau apa lagi, institusi dengan berbagai kebijakannya memaksa mereka harus menjadi manusia yang individualis. Tak mau mengenal lingkungannya. Lihat saja betapa ketatnya aturan yang memaksa mahasiswa untuk bertingkah dan menjadi kost dan kampus sebagai tempat persinggahan untuk sekedar mendapatkan nilai A.

Padahal selain kemampuan dalam bidang akademik masih banyak peran lain yang ‘seharusnya’ di lakonkan mahasiswa. Perannya sebagai lokomotif perjuangan terhadap nasib rakyat. Itu merupakan bagian dari keberaniannya memakai label MAHA di depan kata siswanya. Sebab kini ia bukan lagi hanya manusia yang menuruti kebijakan ataupun tata aturan yang ada.

Tetapi juga mengambil bagian dalam memikirkan setiap kebijakan ataupun tata aturan dan mengkritisi setiap kebijakan yang ada. Kini ia menjadi salah satu motor penggerak demokrasi, bukan hanya orang yang ada untuk ikut serta berdemokrasi. Kini ia tidak hanya belajar tetapi juga mempertanyakan apa yang sedang dan ia pelajari. Kini ia pun harus mampu memberikan perannya terhadap lingkungannya. Ada yang bilang dan memang juga menjadi Agent of Change.

Sehingga seolah olah menjadi sangat sulit untuk mengelak dari pernyataan bahwa mahasiswa telah menjadi bagian dari kelas elit. Bahkan menjadi kalangan elit yang tak kenal satu sama lain. Jangankan kenal dan tahu dengan masyarakatnya, kenal dan tahu dengan lingkungan kampusnya saja mungkin hanya ada sedikit. Menempatkan diri pada strata tertentu yang sulit untuk dijamah. Sayangnya sulit untuk dijamah, tetapi mereka pun tak mau menjamah. Lihat saja betapa masyarakat mulai bosan dengan tindak tanduknya. Lihat saja, bagaimana mereka terasa sangat jauh dari masyarakatnya.

Kemana perginya pemahaman akan arti mahasiswa itu kini. Hilang ditelan apa. Kalau ditelan bumi bukankah bumi yang kita miliki hanya satu bumi yang menawarkan nafas kehidupan yang sedang kita pijak sekarang. Disebelah manakah dari bagian tubuhnya yang bulat ini, ia menempatkanya. Tapi apakah benar bumi dengan sengajanya memakan bagian dari dirinya yang sangat penting itu?

Atau jangan jangan ada planet lain yang datang menyerang dan mirip dengan bumi itu. Atau jangan jangan salah satu dari bagian tubuhnya telah ‘berzinah’. Kalau ‘bisa’ sedikit melihat bagian bumi yang paling dekat dengan mereka, institusi pendidikan. Jika diibaratkan ia menjadi ‘hati’ yang harus terus bekerja dan membersihkan darah ( mahasiswa sebagai out put) dan memprosesnya menjadi darah yang layak untuk mengisi ruang - ruang dalam tubuh(masyarakat).

Sayangnya kini selain tak mampu menghasilkan darah bersih, MAHAsiswa. Ia pun kini menjadi institusi yang mengkelaskan calon mahasiswa. Kemana Bumi ini akan dibawa, ruang dan waktunya masih mungkin. Tapi entah sampai kapan, kamu sekarang mau menempatkan dirimu menjadi apa dan siapa? Salam sobat dan selamat berjuang. Lupa selamat datang juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!