30 September, 2009

Gubernur era Otonomi

Ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar ditengah samudra, tentunya membutuhkan seorang nahkoda yang handal. Setidaknya ada beberapa kriteria umum yang harus dipenuhi, mulai kemampuan berenang hingga kemampuan teknis dan kemampuan mengambil keputusan disaat saat kritis. Selain itu, seorang nahkoda pun harus mampu membaca kondisi perairan yang sedang diarungi. Misalnya, karakter lautnya, mulai gelombang ombak dan faktor cuacanya. Sehingga kapal yang dipimpinnya pun dapat tiba dengan selamat di dermaga sebrang.

Tak jauh dari persoalan pemimpin itu, sebentar lagi kapal yang bernama Sumatra Utara akan memilih nahkodanya (Gubernur). Melalui sebuah mekanisme– pemilihannya. Mengibaratkan Sumatra Utara sebagai sebuah kapal, memang ada perbedaan nyata dari masa sebelumnya. Sebelumnya kapal ini berlayar di samudra negara yang berbentuk sentralis--. Namun kedepan kapal ini akan berlayar mengarungi samudra otonomi.

Dimana alur birokrasi pusat - daerah berada pada daerah tingkat II, terjadi reduksi- terhadap peran pemerintah tingkat I. Prinsip utamanya, dalam otonomi daerah terjadi pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah tingkat II, yang merupakan wilayah administratif. Gubernur hanya sebagai pemimpin tertinggi wilayah administrasi otonomi, bukan lagi menjadi pemimpin utama sebuah wilayah administratif. Misalnya kebijakan pembangunan akan lebih banyak berada di daerah tingkat II.

Melihat reduksi atas munculnya otonomi daerah ini, menuntut adanya perubahan paradigma dan visi kepemimpinan. Salah satu bangunan paradigma kedepan, gubernur menjadi penyelaras perjalanan pembangunan masyarakat. Keberadaan otonomi, menempatkan gubernur sebagai pemacu jalannya pembangunan oleh pemerintah kabupaten. Sehingga persoalan krusial yang sesungguhnya adalah perlunya penanganan lintas sektoral, melalui sistem koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi baik yang bersifat horizontal di daerah masing-masing maupun vertikal dengan pemerintahan yang lebih atas, dapat teratasi.

Dengan kemampuan melihat dan membaca relaitas kawasan dan masyarakat Sumatra Utara. Mulai dari melihat potensi yang dimiliki Sumatra Utara. Sehingga konsep pembangunan yang ada tidak lagi membebankan rakyat. Karena bukan rahasia umum lagi bahwa konsep otonomi telah pula mengalami pereduksian makna. Kecendrungan ini pun sebenarnya disebabkan ketidakmampuan birokrasi pemerintah dalam menggali potensi yang ada. Akibatnya melihirkan kebijakan pembebanan pajak pada masyarakat.

Disisi lain, Gubernur selaku pimpinan daerah propinsi lebih menguatkan fungsi monitoringnya. Dengan melihat secara langsung berbagai program pembangunan utamanya yang bersumber dari dana-dana pembangunan propinsi dan pusat. Contohnya penggunaan pembangunan yang bersifat fisik seperti pembangunan gedung, kantor, jembatan dan yang lainnya, maupun nonfisik yang menyangkut peningkatan human development indeks masyarakat di daerah seperti tingkat pendidikan masyarakat, kesehatan dan kesejahteraannya.

Hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk mengevaluasi out put dan out come, termasuk kualitas kinerja pemerintah daerah kabupaten dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan, pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemaknaan sistem monitoring dan evaluasi yang dilakukan, tidak ditempatkan sebagai upaya pengawasan yang parsial.Tetapi, merupakan proses kontinuitas dari perencanaan berkelanjutan. Untuk mengetahui dan mencermati tingkat efektivitas pelaksanaan pembangunan itu yang telah dilakukan.

Upaya reinventing governance sebagai pengembangan paradigma baru dalam sistem birorkasi pemerintahan. Menempatkan pemerintahan propinsi bukan sebagai atasan langsung kabupaten Sehingga membawa konsekuensi perubahan makna sistem pengawasan, yang dilakukan gubernur. Dari struktural ke pengawasan yang bersifat fungsional.
Namun untuk mendapatkan kriteria gubernur yang ideal bukanlah persoalan gampang. Dibutuhkan dukungan semua elemen masyarakat.

Apalagi sistem pemilihannya masih melalui mekanisme DPRD. Untuk itu perlu penguatan bagi lembaga ini sehingga dapat menyalurkan hati nurani rakyat. Untuk menghindari budaya korupsi dan kolusi yang tertanam dan berakar kuat dalam lembaga ini.

Belum lagi, faktor budaya yang menaungi masyarakat Sumatra Utara. Dimana kedekatan hubungan kekerabatan masih sangat kental. Pada runutannya dapat menghasilkan proses pemilihan yang didasarkan pada ‘nepotisme’. Kultur masyarakat yang demikian tentunya membutuhkan penyadaran. Sekaligus dapat mencegah munculnya pemahaman bahwa Gubernur harus orang Sumatra Utara asli. Sebaliknya, mengarahkan pandangan masyarakat menjadi Gubernur adalah orang yang dapat melihat dan mengembangkan potensi Sumatra Utara.

Jogja, 18 April 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!