02 Februari, 2010

Realitas dibalik Pilkada, Sebuah Catatan


Seberapa jauh ia bisa dipercaya, terutama dikaitkan dengan rekam jejak karir politik dan ekonominya? Adakah jejak korupsi politik dan/atau ekonomi dalam karir itu? Seberapa mampu ia membangun kepemimpinan kolektif yang propesional, kompeten dan berintegritas? Demikian Ade Sulistiani memberi pandangan tentang munculnya isu putera daerah dalam Pilkda Kepri. (Batam Pos, 23 Januari 2010) Sebuah sudut pandang menarik sekaligus membanggakan.

Menarik, karena pandangan ini coba membawa kita kembali pada cita-cita luhur founding fathers tentang makna hakiki dari kemerdekaan negeri ini. Kemerdekaan yang didasarkan pada kesamaan hak bagi seluruh warga bangsa. Melepas sekat-sekat individualistik-kelompok maupun etnic dalam kehidupan bernegara. Apalagi dalam konteks kompetisi demokrasi yang bertujuan mencari yang terbaik dalam kepemimpinan.

Menilik pertanyaan Ade Sulistiani diatas, sekilas dapat diartikan sebagai ajakan bagi seluruh masyarakat untuk mengenal lebih jauh tentang kompetensi setiap kandidat dalam prespektif Kepri masa depan. Dengan demikian, lewat referensi yang cukup voter dapat menjatuhkan pilihan yang tepat.

Dari sekian banyak kandidat yang bermunculan, hampir semuanya merupakan wajah lama, yang cukup sering menghiasi media lokal. Mereka adalah tokoh yang punya catatan panjang dalam pembangunan daerah ini. Publik sudah begitu familiar dengan nama dan wajah mereka. Mulai dari duet Ismet-Sani yang sepertinya akan terbelah, Nyat Kadir, Mustofa Widjaya, Syamsul Bachrum hingga Aida Ismeth isteri sang incumbent, merupakan tokoh lama. Sekarang yang menjadi salah satu perhatian kita adalah sejauh mana masyarakat punya referensi kuat akan situasi kekinian dan konsep Kepri masa depan.

Membaca Realitas, Sebuah Prespektif

Kemunculan berbagai kandidat, dengan bekal pengalaman panjang dalam pembangunan propinsi kepulauan ini, tak ada salahnya jika seluruh warga Kepri berharap banyak. Apalagi masih ada sejumlah masalah yang hingga kini menjadi perdebatan publik, belum terselesaikan. Mulai dari isu lingkungan, kesejahtraan hingga pada masalah ketimpangan pembangunan.

Pesatnya pembangunan yang terlihat tidak serta merta membawa pemerataan hasil pembangunan itu sendiri. Realitas ini dapat dengan mudah dibaca lewat pemandangan ketimpangan sosial yang terjadi. Munculnya berbagai perumahan yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil warga. Sementara sebagian lain harus terdesak masuk ke dalam kubangan kawasan hijau, membangun rumah ilegal akibat ketiadaan finansial. Pilihan yang sulit untuk sekedar bertahan di tanah perantauan.

Dampak domino lain mulai mengancam. Sumber air semakin menipis, terlihat dari semakin berkurangnya debit air di seluruh dam. Bahkan ada prediksi yang menakutkan, dimana tak berapa lama lagi berbagai sumber air ini akan habis. Sebuah pertanda yang tak juga memunculkan aksi untuk mencegahnya. Lihat saja sejumlah lahan masih masih didorong untuk disulap menjadi kawasan hunian maupun industri.

Kebijakan tak visioner lain, maraknya pembangunan pusat perbelanjaan ditengah kota. Semisal pembangunan Carrefour di simpang Kabil, Top Seratus di Batu Aji, disamping sekian banyak mall lainnya yang sudah berdiri di pusat perkotaan. Sepertinya, pengambil kebijakan tak pernah belajar dengan situasi Jakarta ibukota negeri ini. Dimana arus kemacetan lalu lintas, ancaman banjir dan juga masalah penyebaran penduduk sudah menjadi beban ibukota yang paling sulit diatasi kini. Tak terbayangkan wajah simpang Kabil, beberapa saat setelah mall itu berfungsi seratus persen. Seberapa banyak kendaraan yang berjubel akibat macet panjang. Berapa banyak bahan bakar yang akan terbuang sia-sia. Seberapa parah kualitas udara yang siap menyerang paru-paru warga kota ini? Suatu dampak yang tak sulit untuk membacanya, bahkan kemungkinan hampir semua pengambil kebijakan mengerti hal ini.

Padahal ada kesempatan belajar dari daerah lain yang telah lebih dahulu terbelenggu oleh minimnya perencanaan dalam kebijakan pembangunannya. Tidak bermaksud untuk mengulangi, tapi Jakarta, Surabaya, Medan sudah menjadi bagian kongkrit penyimpangan pembangunan kota yang sulit dikendalikan kini. Setiap tahun warganya bersiap layaknya situasi perang untuk menghalau serangan banjir. Bahkan Jakarta harus menghabiskan dana lebih dari lima triliun untuk membangun bendungan kanal timur. Sekedar untuk mengurangi dampak banjir, bukan menghilangkannya! Ntah bakal berhasil? Bukankah kita harus berkaca dengan ini?

Disisi lain hampir seluruh lingkar garis pantai pulau ini telah berubah menjadi kawasan industri galangan kapal. Tepi pantai yang indah dijejali bongkahan baja yang sibuk siang dan malam. Pantai dikeruk, pohon-pohon ditebang, tanah berbukit diratakan. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, demi satu cita-cita mencari sumber baru meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Wajah Batam yang berubah total, dengn segenap eksploitasi yang membungkusnya, wajar jika muncul pertanyaan. Sejauh mana seluruh kebijakan ini membawa kesejahtraan bagi warganya?

Sepertinya, mimpi itu jauh dari pandangan. Tak banyak yang dapat merasakannya. Lihat saja masyarakat kecil yang kian hari kian terjepit di sekat-sekat pembangunan itu sendiri. Gedung-gedung boleh semakin banyak berdiri, kantor-kantor pemerintahan seperti, kecamatan dan kelurahan terlihat megah penuh dengan hawa dingin. Namun pertanyaannya, sejauh mana itu dapat memberi sumbangan berarti bagi masyarakat. Atau jangan-jangan gedung mewahnya megah itu hanya menambah panjangnya jalur birokrasi yang menggeliat didalamnya.

Belum lagi wajah pendidikan di daerah ini yang semakin hari semakin jauh dari keterjangkauan. Hak dasar paling hakiki menjadi barang mewah yang tak terbeli. Setiap tahun ajaran baru, orang tua kebingunan bahkan berdesakan sekedar untuk mencari tempat sekolah bagi putera-puterinya.

Tak sulit mencari sebabnya. Logika pasar bisa digunakan mencari jawabannya. Mahal dan sulitnya mencari sekolah. Jumlah lembaga pendidikan yang minim jika dibandingkan dengan calon anak didik yang terus membengkak. Ntah mengapa begitu sulit untuk menanam uang demi masa depan generasi penerus untuk daerah ini.Mendirikan sekolah baru terasa mahal bagi pengambil kebijakan didaerah ini.

Terkadang hati meringis mendengar cerita ibu-ibu buruh pabrik yang bergelut siang dan malam. Waktu panjang, menguras tenaga, bergelut dengan rengsekan suara mesin pabrik tak cukup untuk memberi biaya sekolah dan susu anak kecilnya. Inikah hasil dari konsep pembangunan selama ini? Inikah jalan baik yang sedang ditawarkan oleh eksploitasi sumber daya lokal yang sedang kita jalani? Saya yakin, sebagian besar dari kita berteriak, Tidak!

Hal ini berbanding terbalik dengan tiang-tiang lampu jalan yang berdiri begitu menawan tapi ntah kapan akan berfungsi dengan sempurna. Sebagian besar hanya menjadi tiang mati tanpa cahaya lampu. Kebijakan yang terburu-buru, tanpa kematangan dalam pertimbangannya. Karena memang semua tahu, jika daerah ini sepanjang tahun mengalami krisis listrik. Seharusnya mereka paham, jika tiang-tiang itu butuh arus yang besar, untuk membuatnya memancarkan cahaya. Duit itu terbuang sia-sia.

Paradigma baru, menjadi sangat penting untuk perjalanan daerah ini kedepan. Melihat segenap potensi dan juga problema aktual yang membingkainya menjadi sangat penting, sebelum semua diarahkan menuju tujuan. Segalanya keluh kesah ini, coba disampaikan bagi kita semua. Terutama dimasa-masa penggodokan calon baru pemimpin daerah Kepri. Referensi kecil, logika berfikir sederhana memndang realitas yang ada, semoga cukup memberi bekal bagi kita untuk menentukan kandidat mana yang terbaik bagi daerah ini. Semoga mereka mendengar, dan menjadikan realiats ini bagian dari titik-titik kecil rangkaian visi mereka akan Kepri masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Horas!!!